Advertisement
Bersama Ketua Umum PINKAN Indonesia, Penny Iriana Marsetio di Kantor PINKAN |
Oleh: Ambrosius M. Loho, S.Fils., M.Fil.
Tulisan ini akan membuka sebuah pemikiran terkait pengembangan musik tradisi, berangkat dari dua realitas yang berbeda. Pertama, musik kolintang yang sejatinya telah dianggap sangat berkembang namun tampak sudah modern dalam garapan komposisi, yang sebetulnya tidak lagi memainkan notasi musik tradisi Minahasa. Kedua, bagaimana arti konservasi & inovasi musik tradisi yang sebenarnya, yang serentak harus diterapkan dalam menggarap musik tradisi.
Sebagaimana poin pertama, saat kita berbicara tradisi, secara musikal kolintang saat ini telah beralih ke pemodelan yang modern, atau bilanglah telah bertransformasi/berubah. Garapan-garapan mulai terkesan modern, atau dimodernkan, bahkan jika tidak tampil sedemikian modern, tampilan musik kolintang akan disimpulkan tidak berkembang, 'jadul' atau bahkan jalan ditempat. Itulah fakta kini terkait musik kolintang, yang di saat yang sama, harus kita sadari.
Berbanding terbalik dengan itu, terdapat sebuah fakta yang penulis alami, ketika terlibat dalam sebuah lokakarya musik tradisi yang diselenggarakan oleh Direktorat Perfilman Musik dan Media, Kemendikbudristekdikti bekerja sama dengan Yayasan Musike SJ, bernama Lokovasia (Lokakarya Konservasi & Inovasi Musik Tradisi Indonesia) di Kota Malang, 1 - 8 September 2024.
Lokakarya ini sejatinya mengedepankan musik tradisi yang murni, dan direalisasikan dalam garapan aransemen musiknya. Jadi setiap garapan musik yang ditampilkan berbasis tradisi. Komposisi musiknya pun, harus berangkat dari tradisi budaya setempat. Dan dari sisi alat musik, alat musik lain (modern) seperti gitar listrik, drup elektrik atau yang sejenisnya, tidak bisa disertakan dalam garapan musik tradisi, karena akan menghilangkan nilai tradisi.
Terjadi demikian, karena tujuan utamanya adalah untuk mengeksplorasi sedalam-dalamnya dan sebesar-besarnya baik alat musik maupun notasi musiknya, yang benar-benar berasal dari tradisi. Hal yang bisa dicontohkan adalah musik gamelan, yang mana garapan dan alat musiknya tidak dicampur aduk dengan alat musik lain. Didalamnya tidak ada alat musik lain juga notasi yang dimainkan tidak ada lain selain pelog dan slendro khas Jawa. Demikian juga, karya musik Musisi terpilih Minangkabau, Laila Ali Okta Triani berjudul: Alua Ba Jalua. Karya ini sangat khas Minangkabau, yang berangkat dari sebuah konteks budaya setempat. Kendati yang diangkat adalah sisi vokal, tapi vokal dan cara nyanyi itu, benar-benar vokal etnik khas Minangkabau.
Maka dari fakta ini, kita, khususnya pegiat musik kolintang, akhirnya harus menyadari bahwa, memang baik jika kita berpijak pada pemodelan garapan musik yang modern, misalnya genre jazz, klasik barat, swing, dll., demikian juga notasi musik yang diaransemen dan dimainkan adalah melulu musik barat yang diatonis, namun tetap saja hal itu pada akhirnya tidak menyentuh tradisi.
Di sisi yang sama, hal itu tentu tidak salah, tapi kembali kepada gaya tradiai yang kental, harus dipertahankan, diwariskan dan terus dikembangkan juga. Dengan demikian hal itu, akan mulai menggerakan seluruh komposer musik kolintang, untuk bereksperiman ke akar tradisi, yang sejalan dengan pengembangan yang sudah berlangsung sampai saat ini.
Akhirnya, pola pikir 'yang berpikir global, bertindak lokal' tidak selalu jadul, kuno dan tertinggal, karena hal-hal yang bersifat tradisi, tetap saja merupakan akar budaya, pun juga dalam budaya seni. Maka dari itu, bagaimana tidak musik kolintang untuk berinovasi berangkat dari tradisi penotasian Minahasa?
*Penulis adalah Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Katolik De La Salle Manado.
Baca juga tulisan menarik dari Ambrosius M Loho lainnya:
- Membedah Keniscayaan Inovasi Musik Tradisi: Catatan Singkat dari Lokovasia 2024
- Sisi Lain Dari Pariwisata Berbasis Budaya
- Seni & Tiga Kelas Seniman Menurut Boethius
- Analisa Semantik dalam Kata "Kolintang"
- Simbol Seni & Makna Filosofis Musik Kolintang