Advertisement
Kelas Shirotama Hitsujiya (foto: Kala Teater) |
Oleh: Patmawaty Taibe*
Kelas Shirotama Hitsujiya merupakan workshop penyutradaraan teater yang diselenggarakan oleh Kala Teater dengan dukungan pendanaan dari program Bidang seni budaya Manajemen Talenta Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, program Lab Indonesiana: Kelas Teater diselenggarakan selama sepekan (29 Agustus - 5 September 2024) di Makassar, Workshop penyutradaraan teater ini diikuti oleh 16 orang sutradara dari beberapa kota di Indonesia (Bantul, Sleman, Jakarta, Banten, Bangka Barat, Padang Panjang, Larantuka, Mataram, Mandar, Bali, Solo, Makassar, Palu, Kolaka, dan Madura).
Shirotama Hitsujiya sendiri adalah sutradara, aktor, dan penulis naskah seni pertunjukan teater yang berasal dari Jepang Hokaido, dengan pengalaman dalam seni pertunjukan. Shiro mendirikan Yubiwa Hotel Theater Company dan telah melakukan tur pertunjukan di lebih 20 kota di dunia. Ia juga mendirikan Asian Women Performing Arts Collective (Ajokai), sebuah lembaga Kolektif yang menghubungkan Asia, perempuan dan seni pertunjukan.
Secara pribadi selama berkenalan dan berinteraksi dengan Shiro yang terlihat adalah kepekaannya dalam melihat dan merasakan suatu ruang dan pengalaman, proses mendengar dengan baik diterapkan secara perlahan selama proses pelaksanaan workshop penyutradraan tersebut. Kepekaan harusnya dibangun melalui kesungguhan untuk menjadi pendengar yang baik. Menjadi sutradara tentunya harusnya memiliki kemampuan untuk dapat meluangkan waktu mendengar tanpa harus menjustifikasi atau melabeli setiap cerita ataupun pendapat yang didengarnya. Di zaman yang serba cepat dengan sekumpulan distraksi dimana-mana, kemampuan untuk menjadi pendengar yang baik merupakan sebuah skill istimewa. Kemampuan untuk benar-benar berada di sini dan saat ini (here and now) sebagai pendengar yang baik sangatlah langka untuk diwujudkan.
Playback Theater menjadi teknik atau pendekatan yang dibawakan oleh Shirotama Hitsujiya. Playback theater sendiri dikembangkan oleh Jonathan Fox dan pertama kali dimainkan di New London, Connecticut pada tahun 1975. Dari kaca mata saya sebagai seorang ilmuan psikologi, ketika pertama kali melihat roleplay peserta dalam pengenalan playback theater di workshop ini, sangat menyerupai proses konseling. Ada empat elemen penting dalam proses playback theater ini yakni, conductor (sutradara), tella (narasumber), aktor dan pemain musik. Teller diminta untuk menceritakan kisah yang ingin dibagi, kemudian conductor mendengarkan dan menanyakan hal-hal lebih detail dari kisah tersebut, aktor dipilih oleh teller untuk memainkan setiap tokoh yang ada dalam cerita tersebut, conductor mengarahkan actor dan pemusik berdasarkan cerita yang disampaikan oleh tella. Pada proses ini conductor seperti konselor/psikolog yang mendengarkan kisah tella sebagai seorang klien/pasien.
Prinsip yang sama jelas terlihat yakni proses mendengar tanpa menilai cerita tersebut dan tidak memberikan komentar ataupun solusi dari cerita yang didengarkan. Aktor bermain berdasarkan kisah, proses melihat kembali kisah yang ditampilkan oleh para aktor tentunya menjadi proses terapeutik/ menyembuhkan. Jika kisah itu, setelah proses melihat kembali, tella dan aktor serta pemusik diminta untuk memberikan komentar membagikan perasaan yang dirasakan. Proses reflective ini tentunya menjadi proses therapeutic bagi tella dan mungkin para aktor ataupun penonton yang memiliki kesamaan kisah. Proses ini mungkin sulit untuk dilakukan dalam proses penyutradaraan ataupun penulisan dalam menghasilkan karya pertunjukan teater dalam kaca mata konvensional. Namun teknik ini mungkin dapat menjadi cara bagi para sutradara untuk menemukan ide ataupun bereksperimen dalam menemukan ide pertunjukan yang lebih relevan/ dekat dengan penonton.
Melalui workshop ini Shiro memberikan cara pandang baru dalam berkarya. Tidak banyak model atau teknik dan bahasa yang sulit dipahami dalam proses berkarya. Shiro hanya memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para sutradara untuk saling berdiskusi dan mendengarkan satu sama lain. Walau demikian Shiro sangat peka dalam melihat keberadaan sutradara dan karyanya dalam suatu sesi persentasi peserta pada sesi “sharing method sutradara”. Shiro memberikan komentar dan pertanyaan pada beberapa presenter tentang state point sebagai sutradara teater. Saya sendiri menyadari dari persentasi kekaryaan yang dilakukan beberapa sutradara telah bertemu dengan jalan dan ruangnya sendiri sebagai seorang sutradara seni pertunjukan teater. Di sisi lain beberapa masih mencari-cari posisi mereka sebagai seorang sutradara pertunjukan teater. Hal yang wajar khususnya bagi para sutradara muda. Latar belakang pendidikan juga menjadi penting dalam jalur berkarya, seniman dengan latar belakang pendidikan seni lebih mampu untuk menentukan state pointnya dalam berkarya, cukup akurat dan tidak ragu dalam menentukan arah sebagai seorang seniman pertujunkan teater.
Proses refleksi (reflective process) dalam workshop ini juga memberikan ruang bagi para sutradara untuk dapat saling berbagi pendapat, pengetahuan, dan rasa atas setiap proses yang dilalui selama workshop. Proses ini menurut hemat saya adalah medium untuk menjadikan para sutradara lebih bersikap fleksibel. Kemampuan beradaptasi dalam proses penyutradaan menjadi penting dalam kedewasaan berkarya yang pada akhirnya akan bermuara pada keteguhan, kepercayaan diri, dan identitas. Identitas dan kepercayaan diri adalah hal yang penting sebagai seorang sutradara, menjadi sebuah modal untuk dapat menjadi seorang sutradara yang dapat bersaing dan dikenal dalam dunia pertunjukan baik di kancah nasional ataupun internasional.
Salah satu celutukan peserta dalam workshop ini adalah fakta bahwa ketika sekumpulan sutradara dikelompokkan dalam satu kelompok dan diminta untuk bekerja sama dalam membuat karya yang akan terjadi adalah chaos. Namun pendapat tersebut tidak terbukti selama workshop berlangsung. Hal ini terlihat pada projek akhir peserta yang berhasil mempersembahkan pertunjukan teater yang apik dan baru bagi para penonton. Workshop ini mempersembahkan empat karya yang dihasilkan oleh para peserta workshop. Proses pembuatan karya mengelaborasi seluruh teknik dan pendekatan oleh para peserta sehingga menghasilkan empat cerita yang saling berkesinambungan. Pertunjukan tetaer dilakukan dengan memaksimalkan ruang dan sumber daya yang tersedia. Respon ruang menjadi konsep utama dengan menggunakan situs atau titik di beberapa sudut Fort Rotterdam Makassar. Cerita mengalir dari kisah “mengalami” kota Makassar dari sisi personal para pemain, lalu dilanjutkan dengan cerita ziarah yang merespon perilaku masyarakat kota Makassar yang melakukan proses ziarah di Fort Rotterdam. Sebuah ruang publik yang masih memberi sisi mistis di dalamnya.
Kisah menceritakan bagaimana ziarah menjadi proses renungan kehidupan dan kematian yang tidak dapat terpisahkan dari gegap gempita perkembangan teknologi yang memberi kesempatan seluas-luasnya bagi generasi saat ini untuk membaginya di sosial media. Kisah ini dihantarkan kepada panggung selanjutnya yakni sebuah pulau yang aneh, pulau yang menceritakan perjalanan, perjuangan, kebahagiaan dan cinta, para penonton diminta untuk terlibat langsung dalam pertunjukan tersebut dengan ikut bermain kartu tarot. Di titik selanjutnya sebuah perhentian dari kisah ini penonton disuguhkan dengan sebuah pertanyaan mengenai kebahagiaan, realita kehidupan urban yang sibuk, terburu-buru hingga terkadang orang lupa kapan terakhir bahagia. Sebuah kisah yang lekat dengan masyarakat kita khususnya generasi muda saat ini. Penonton lagi-lagi terlibat untuk menjawab pertanyaan dari aktor yang berperan. Di akhir pertunjukan seakan-akan kita disadarkan bahwa mencari kebahagiaan di tengah isu-isu kesehatan mental, meningkatnya kasus bunuh diri di Indonesia, dan menikmati kebahagiaan adalah hal yang sederhana. Penonton diakhir pertunjukan ikut serta dalam menyanyikan lagu “ambilkan bulan bu” dan meneriakkan tagline pertunjukan “Perjalanan, Perjuangan, Kebahagiaan, Cinta”.
Dari sisi penonton model pertunjukan yang dilakukan workshop ini memberi sisi lain dan cara baru dalam menikmati sebuah pertunjukan teater. Partisipasi penonton dalam sebuah pertunjukan menjadi medium baru bagi penonton untuk lebih dekat dengan karya itu sendiri dan menjadi bagian dari pertunjukan tersebut. Kiranya ini sebuah cara baru untuk bagi para penggiat seni pertunjukan untuk menggunakan ruang publik dan partisipasi penonton dalam setiap pementasan. Walau demikian dukungan dari pemerintah dan stakeholder terkait menjadi hal yang penting dalam penyediaan ruang terbuka public sebagai sarana pertunjukan.
Kurangnya ruang terbuka untuk para pegiat seni menjadi catatan penting dalam workshop ini. Ketika dilakukannya kegiatan mengalami kota Makassar, kami berjalan kaki menelusuri kota Makassar dan sudut kota yang tidak banyak memberikan ruang-ruang terbuka bagi para pegiat seni dan penikmat seni untuk berkreasi dan berekspresi. Perlu kerja sama dari hulu ke hilir dalam proses ini, khususnya dalam menyiapkan talent begitupun penikmatnya. Manajemen talenta tidak akan berhasil jika hanya berfokus pada talent itu sendiri namun tidak memikirkan kemampuan penikmat seni pertunjukan teater itu sendiri. Pemerintah pusat dan kota harusnya sama-sama mulai memikirkan langkah-langkah strategis dalam menciptakan iklim berkesenian yang mendukung bagi para pelaku seni pertunjukan teater dan penikmat seni pertunjukan teater itu sendiri.
Seni dan Budaya adalah bagian dari soft diplomacy suatu negara. Sebuah strategi yang dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi, human capital, kekuatan politik dan tentunya pembangunan identitas sebagai sebuah bangsa. Manajemen Talenta Nasional yang digawangi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, harusnya mulai dengan matang memikirkan model Manajemen Talenta seperti apa yang diinginkan, dan serius dalam melihat ini sebagai suatu proses menuju generasi emas Indonesia 2045, di Indonesia. Berkesenian masih menjadi pilihan kesekian kalinya bagi generasi muda. Demikian pada orangtua umumnya yang masih sulit menerima keinginan anak-anak yang memilih menjadi seorang seniman.
Dalam pandangan teori psikologi hirarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow, apresiasi seni berada pada tingkatan perkembangan (aktualisasi diri), dimana kebanyakan manusia di Indonesia masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan defisiensi (kebutuhan fisik, kebutuhan keamanan, kebutuhan cinta-penerimaan, dan kebutuhan penghargaan). Walau demikian perubahan padangan generasi khususnya pada Gen-Z yang saat ini lebih mampu dan terbuka dalam memberikan pandangannya dan memperjuangkan pendapatnya, seharusnya dapat menjadi celah bagi para pegiat kesenian dan pemerintah untuk memperlihatkan bahwa seni sendiri adalah sebuah kebutuhan untuk dapat menaiki tangga perkembangan sebagai seorang Individu. Workshop ini dapat menjadi salah satu jawaban bagi para sutradara teater, aktor, dan pegiat seni untuk saling berinteraksi, bertukar ide, metode/teknik, isu-isu yang akan diangkat dalam berkarya.
Korea Selatan adalah salah satu negara yang tidak main-main dalam pengurusan manajemen talenta seni budaya mereka, yang kini menunjukkan hasil yang tidak bisa kita sangkal dan dalam perjalanannya menelan biaya yang tidak sedikit, di Indonesia sendiri perlu memperbanyak sekolah seni di Indonesia. Jika ingin mewujudkan generasi emas 2045 yang berempati memperkuat cipta, rasa, dan karsa, kuat dalam identitasnya sebagai orang Indonesia mau tidak mau pemerintah harusnya mulai serius menangani hal tersebut. Bekerja sama dengan komunitas seni yang telah mengakar di masyarakat dan stakeholder lainnya khususnya dalam pendanaan karya pertunjukan. Melalui workshop penyutradaraan ini saya meyakini dengan memberikan peluang dan menggarap kerja sama dengan para sutradara di Indonesia saya yakin akan ada banyak hal bisa kita perbaiki salah satunya adalah peningkatan human capital index manusia Indonesia.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Psikologi Universitas Bosowa