Boal dan Rancière: Sebuah Interseksi (Bagian I) -->
close
Pojok Seni
30 September 2024, 9/30/2024 12:15:00 AM WIB
Terbaru 2024-09-30T20:21:37Z
Artikel

Boal dan Rancière: Sebuah Interseksi (Bagian I)

Advertisement


Oleh: Syarif Maulana


Istilah “emansipasi” kerap digunakan untuk menggambarkan salah satu tujuan pendidikan, seni, politik, hingga filsafat. Namun tidak ada salahnya jika istilah tersebut diperiksa kembali supaya pengertiannya menjadi lebih jernih. Dalam tulisan ini, eksaminasi terhadap term “emansipasi” akan dilakukan melalui pemikiran teater Augusto Boal serta gagasan politik dan estetika Jacques Rancière. Meski demikian, dengan meminjam pemikiran teater Boal, bukan berarti tulisan ini hanya memfokuskan kajian pada wilayah seni. Boal tidak menganggap domain seni dan politik sebagai hal yang murni terpisah dan berdiri sendiri-sendiri.  


Pembahasan mengenai pemikiran Boal yang disandingkan dengan gagasan Rancière pernah dilakukan Susanne Shawyer dalam artikel berjudul Emancipated Spect-actors: Boal, Rancière and the Twenty-First Century Spectator (2019). Dengan demikian, tidak dapat dihindari bahwa artikel Shawyer akan menjadi salah satu referensi dalam tulisan ini, meski tetap perlu mendapatkan catatan kritis. 


Tulisan ini akan terlebih dahulu menjabarkan garis besar pemikiran teater Boal sebagaimana ditulisnya dalam buku berjudul Theatre of the Oppressed (2008). Setelah itu, akan dipaparkan gagasan Rancière tentang politik dan estetika terutama yang dituliskannya dalam buku Aesthetics and Its Discontent (2008). Teks ini juga akan menjadikan beberapa sumber sekunder sebagai referensi seperti artikel Shawyer dan artikel berjudul What To Do with Adorno’s Aesthetic Theory? (2019) berisi wawancara dengan Rancière yang ditulis oleh Andrea Allerkamp, Katia Genel, dan Mariem Hazoume. Keseluruhan uraian tersebut akan dijadikan bahan analisis untuk mempertemukan pemikiran Boal dan Rancière berkenaan dengan konsep “emansipasi” dalam tegangan antara seni dan politik. 


Teater dan Emansipasi 


Augusto Boal adalah aktivis sekaligus praktisi teater dan teoretisi drama asal Brasil yang memperkenalkan gagasan tentang teater kaum tertindas (theatre of the oppressed). Teater Boal punya tujuan emansipasi, tetapi tidak dengan cara sama dengan teater epik-nya Bertolt Brecht yang masih melakukan separasi antara pemain dan penonton. Sebelum masuk pada gagasan kunci teater Boal, penting kiranya untuk terlebih dahulu mengurai pandangan Boal terhadap fungsi seni di masa Yunani Kuno. 


Dalam Theatre of the Oppressed, Boal mengurai beberapa pandangan para pemikir dan dramawan Yunani Kuno berkenaan dengan peran seni. Menurut Eratosthenes, fungsi dari puisi adalah untuk memikat jiwa pendengarnya dan bukan untuk menyuruh mereka. Sementara di sisi lain, Aristophanes beranggapan bahwa seorang dramawan seharusnya tidak hanya menawarkan kesenangan, tapi juga menjadi guru bagi moral sekaligus penasihat politik. Sejalan dengan Aristophanes, Strabo menyatakan bahwa puisi adalah pelajaran pertama bagi anak-anak yang mesti diberlakukan oleh negara; puisi lebih superior ketimbang filsafat karena yang terakhir lebih ditujukan pada minoritas sementara yang pertama dialamatkan pada massa. 


Perbedaan pandangan tentang fungsi seni tersebut dapat ditempatkan pada dua posisi. Posisi pertama yakni posisi Eratosthenes yang menempatkan seni sebagai murni perkara keindahan dan tidak punya hubungan dengan aspek moral dan politik. Posisi kedua yakni posisi Aristophanes dan Strabo yang menempatkan seni tidak sebatas fungsi estetik tapi justru harus juga memiliki fungsi moral dan politis. Atas perbedaan posisi tersebut, Boal jelas menolak posisi Eratosthenes yang melihat seni sebagai sesuatu yang terisolasi. 


Boal kemudian masuk pada kritiknya terhadap tragedi Aristoteles yang sekilas justru lebih dekat pada fungsi seni menurut Aristophanes dan Strabo ketimbang Eratosthenes. Pertanyaannya, mengapa Boal menyerang tragedi Aristoteles? Aristoteles menuliskan tentang sifat alam yang selalu mengarah pada suatu tujuan (telos). Manusia, sebagai bagian dari alam, juga memiliki tujuan seperti mencapai kesehatan, kebahagiaan, keterberkatan, keadilan, dan sebagainya. Saat manusia gagal mencapai tujuan, seni tragedi kemudian mengintervensi, melakukan koreksi atas tindakan manusia melalui apa yang disebut Aristoteles sebagai katarsis atau penyucian jiwa.  Sampai pada titik ini, tragedi Aristoteles kelihatan punya intensi ke arah moral dan politik ketimbang murni estetik. Namun Boal enggan berhenti sampai situ. Ia kemudian mempertanyakan lebih jauh, jika katarsis merupakan cara mengoreksi (tindakan manusia), apa yang sesungguhnya dikoreksi? Lantas, jika katarsis juga merupakan purifikasi, apa yang sebenarnya dipurifikasi? 


Boal kemudian memeriksa secara mendalam urutan peristiwa dalam tragedi Aristotelian yang terdiri dari tiga fasa. Pada tahap awal, yaitu peripeteia, terjadi perubahan dramatis dalam takdir sang protagonis akibat sebuah kesalahan fatal yang disebut hamartia. Hamartia ini menjadi pemicu bagi deretan penderitaan dan kesialan yang dialami sang pahlawan, yang pada gilirannya membangkitkan empati dalam penonton. Kemudian, pada tahap kedua, pahlawan tragis berusaha untuk mengenali kesalahannya, yang disebut anagnorisis. Pada tahap kedua ini, pahlawan tragis dengan sungguh-sungguh mencari pemahaman dan penjelasan logis atas kesalahan yang telah ia lakukan. Ia merangkul kesalahannya dan berharap penonton juga akan mengalami perasaan yang sama (menyadari hamartia mereka sendiri). Akhirnya, tragedi Aristotelian mencapai tahap ketiga yang dikenal sebagai catastrophe, di mana Aristoteles tidak menginginkan akhir yang bahagia, tetapi justru berupa bencana atau malapetaka. Aristoteles percaya bahwa melalui ketiga tahap ini, penonton dapat mencapai katarsis, yaitu pembersihan emosional dari hamartia mereka masing-masing. 


Dengan urutan yang mengesankan seperti itu, bagaimana Boal mengajukan keberatan terhadap konsep katarsis Aristotelian yang dianggapnya sebagai penindasan? Boal kemudian mempertemukan hamartia sebagai tindakan individu sang pahlawan tragis dengan ethos sosial masyarakatnya. Aristoteles mengasumsikan bahwa hamartia bertentangan dengan ethos sosial. Misalnya, tindakan salah sang pahlawan tragis seperti perselingkuhan, dianggap sebagai dosa oleh masyarakat. Inilah yang menjadi sasaran kritik Boal: Aristoteles sering melihat masyarakat sebagai sesuatu yang baik dan memiliki kemampuan untuk menghukum kesalahan moral individu. Jika ada ketidakadilan, itu dianggap sebagai masalah pribadi sang pahlawan tragis karena standarnya selalu merujuk pada ethos sosial. Namun, menurut Boal, yang sebenarnya terjadi bisa berkebalikan: ethos sosial yang buruk dan perilaku baik sang pahlawan tragis malah bertentangan dengan apa yang dibayangkan dalam tragedi Aristotelian. Sebagai contoh, dalam masyarakat yang korup, sikap jujur seseorang justru menjadi hamartia (Boal menyebutnya sebagai negative hamartia). 


Boal akhirnya sampai pada kesimpulannya tentang kritik terhadap katarsis: Aristoteles tidak mengizinkan kita melihat permasalahan yang terletak pada ethos sosial dan memilih untuk melulu fokus pada kesalahan individual. Aristoteles mengabaikan bahwa ethos sosial pun bisa keliru, dapat terjadi ketidakadilan di sana dan kunci memperbaikinya bukan pada kesadaran-kesadaran “pahlawan tragis”, melainkan perubahan besar-besaran atau revolusi. Bagi Aristoteles yang memandang ethos sosial ini selalu baik, tentu revolusi menjadi anomali. Disinilah Boal menganggap tragedi Aristotelian bersifat represif. Audiens, bagi Boal, tidak cukup hanya sampai pada menyadari kekeliruan dirinya sendiri. Ia harus sadar akan permasalahan struktural dan ikut melakukan transformasi. 


Dengan demikian, teater dalam versi Boal bertujuan untuk mengubah keadaan, mengubah masyarakat. Penonton bukanlah entitas pasif dalam fenomena teater, melainkan subjek: ia harus menjadi aktor yang bertransformasi menjadi aksi dramatik.  Lebih jauh lagi, Boal menekankan bahwa penonton harus mengasumsikan dirinya berada dalam peran protagonis, mencoba berbagai solusi, mendiskusikan rencana perubahan – singkatnya, melatih dirinya untuk terjun pada sebuah aksi langsung. Hal tersebut yang membuat Boal menyatakan bahwa teater bukanlah revolusi dalam dirinya sendiri, melainkan latihan untuk revolusi (rehearsal for the revolution). 


Sebagaimana telah disinggung, teater Boal berbeda dengan teater epik Brechtian yang membangun pemikiran kritis dengan cara membuka peluang bagi audiens untuk memikirkan dirinya, dengan cara yang bisa saja bertolak belakang dengan si aktor. Teater Brechtian, dalam arti tertentu, sudah setujuan dengan pandangan Boal yang sama-sama menginginkan sikap kritis dari penonton. Namun bagaimanapun, teater Brechtian masih melakukan dikotomi antara pemain dan penonton, sementara Boal terang-terangan menolaknya. Itu sebabnya, Boal menawarkan gagasan “spect-actors” atau penonton-pemain.


Berikutnya timbul pertanyaan: bagaimana mungkin membuat penonton menjadi pemain? Bukankah mereka tidak terlatih dan bahkan sebagian di antaranya tidak punya pengalaman bermain atau bahkan menonton teater sama sekali? Teater Boal tidak menyasar golongan elit yang kita asumsikan sudah melek soal teater, melainkan mesti terbuka pada kaum petani, kelas pekerja, dan warga-warga desa. Itu sebabnya, pendekatan terhadap mereka tidak bisa dilakukan melalui sesuatu yang asing, tetapi lewat “tubuh”. 


“Tubuh” seperti apa yang dimaksud Boal? Setiap orang, menurut Boal, memiliki tubuh yang bersatu dengan aktivitasnya: mencangkul, mengetik, mengangkat senjata, memberikan khotbah, dan sebagainya. Hal paling mendasar yang harus dilakukan oleh orang-orang yang disasar ini adalah menyadari gerak dan otot yang menyertai aktivitasnya. Tujuannya adalah untuk membuat mereka sampai pada kesadaran tertentu, sehingga setiap pekerja, setiap petani, setiap warga, menjadi mengerti, melihat, dan merasakan pada titik mana tubuhnya diperintah oleh kerja-kerjanya. 


Boal menyiapkan ratusan latihan untuk diterapkan pada orang-orang non-aktor ini (ia tuliskan dalam bukunya yang berjudul 200 Exercises and Games for the Actor and for the Non-actor Who Wants to Say Something Through Theater), tetapi ia tetap menekankan bahwa mereka bisa saja mengembangkan latihan sendiri. Intinya, suasana mesti dibuat sekondusif mungkin supaya kreativitas orang-orang menjadi muncul.


Namun mungkin timbul pertanyaan, mengapa teater Boal mengharuskan serangkaian latihan demi latihan? Tidakkah hal tersebut justru membuat ribet dan menyusahkan para orang-orang non-aktor? Argumen Boal berangkat dari kondisi bahwa orang-orang non-aktor ini justru lebih sukar mengungkapkan pendapat dan keresahannya melalui ekspresi verbal. Itu sebabnya, dalam pandangan Boal, mereka harus mampu mengungkapkan pendapat melalui tubuhnya. Tubuhnya harus dibuat lebih ekspresif. Boal menekankan bahwa latihan-latihan ini harus dibuat menyenangkan dan dalam situasi bermain-main, sehingga orang-orang non-aktor tidak merasa tertekan.


Jika serangkaian latihan tersebut telah dilampaui, maka tiba saatnya untuk mempraktikkan dalam bentuk semacam “pertunjukkan”. Boal menjabarkan sejumlah praktik yang bisa dilakukan, tetapi kita akan membahas hanya salah satu implementasinya yaitu teater forum (forum theatre). Teater forum dimoderasi oleh seseorang yang disebut sebagai “Joker” (yang sebisa mungkin dijalankan oleh aktor terlatih). Prosedur pertama, Joker meminta orang-orang non-aktor (berikutnya disebut partisipan) untuk menceritakan suatu kisah yang mengandung problem sosial atau politik yang sukar dipecahkan. Setelah itu, partisipan diberi waktu 10 sampai 15 menit untuk mengilustrasikan problem tersebut (beserta kemungkinan solusinya) dalam bentuk adegan pendek secara sederhana. Saat adegan tersebut selesai dipertontonkan, Joker bertanya kembali pada partisipan apakah mereka setuju dengan solusinya. Jika ada yang tidak setuju, maka partisipan tersebut diminta untuk berperan di dalamnya dan menyuguhkan solusi yang ia tawarkan. Adegan pendeknya tentu diulangi lagi (dengan solusi baru) dan ini bisa berlangsung hingga berjam-jam melampaui durasi teater konvensional.


Boal menekankan bahwa partisipan yang memilih untuk melakukan intervensi harus melakukan aksi fisik untuk menggantikan aktor sebelumnya. Mereka tidak boleh cuma berjalan-jalan di panggung dan bicara, melainkan harus beraksi. Solusi harus ditampilkan di atas panggung dengan bertindak. Lewat teater forum, Boal juga hendak mengkritik orang-orang yang sering menjadi macan podium, berbicara tentang tindakan heroik nan revolusioner di atas panggung, tetapi di sisi lain, sang orator juga sadar bahwa apa yang dibicarakannya tidak bisa dipraktekkan.  Itulah mengapa Boal tidak menyarankan teater yang terlalu banyak cakap. Audiens harus terlibat aktif menjadi aktor dan mereka mengekspresikan segala gagasan lewat tubuhnya. Dalam arti demikian, latihan tubuh memang sangat diperlukan.


Estetika dan Politik


Dalam tulisan ini, pemikiran estetika Rancière lebih banyak diambil dari bukunya yang berjudul Aesthetics and Its Discontent (2009). Estetika, dalam pengertian Rancière, adalah semacam ketidakteraturan baru. Ketidakteraturan ini bukan hanya berarti bahwa hierarki antara subjek dan publik menjadi kabur, tetapi juga menjadikan karya seni tidak lagi merujuk pada mereka yang citranya ditetapkan dan kebesarannya dirayakan. Karya seni, dalam pengertian ini, terkait dengan “kejeniusan” orang-orang yang menampilkan dirinya sendiri untuk menjadi perhatian siapa pun. 


Pengertian Rancière berkenaan dengan estetika tersebut tidak bisa dilepaskan dari pandangannya tentang politik. Politik, bagi Rancière, tidak bisa disempitkan pada semata-mata perebutan kekuasaan. Politik terjadi saat suatu entitas dalam tatanan sosial kemudian meluangkan waktu untuk hadir sebagai masyarakat yang menduduki ruang bersama dan menunjukkan bahwa mereka benar-benar mampu berpendapat terkait kepentingan umum.  Sederhananya, politik adalah tentang membuat sesuatu menjadi tampak dan hadir dalam publik, dari yang sebelumnya “tidak terlihat”. 


Dalam Disagreement: Politics and Philosophy (1998), Rancière menuliskan bahwa politik eksis saat tatanan dominan diinterupsi oleh mereka yang tadinya tidak ambil bagian atau “tidak masuk hitungan”.  Dalam kehadiran dan penampakannya tersebut, seseorang atau kelompok sekaligus menampilkan disrupsi, menciptakan ketidaksepahaman atau disensus. Disensus adalah kata kunci dalam filsafat Rancière. Ia menolak gagasan konsensus karena konsep tersebut selalu dibangun dari kacamata tatanan sosial dominan yang menghapus segala bentuk konflik dan ketidaksetujuan. 


Estetika, menurut Rancière, tidak sebatas dikenali melalui objek seni. Estetika, lebih luas daripada itu, berlangsung saat terjadi pengalaman sensori tertentu terhadap hal yang dihadirkan. Dalam arti kata lain, estetika bukan perkara moda tindakan (mode of doing) yang muncul dari teknikalitas si seniman, melainkan moda keberadaan (mode of being) dari bagaimana suatu karya dilihat oleh siapapun.  Atas pengertiannya tentang estetika tersebut, Rancière tampak enggan membedakan antara seni untuk seni (art for art’s sake) dan seni politis atau seni kritis. Karya yang dikategorikan sebagai seni untuk seni seperti patung Juno Ludovisi atau lukisan Barnett Newman berjudul Vir Heroicus Sublimis, dalam pandangan Rancière yang meminjam istilah Friedrich Schiller, menghadirkan suatu “permainan” yang mendisrupsi tatanan sosial dominan. Politik yang dihadirkan dalam seni bukanlah semacam janji revolusi masyarakat dalam pengertian Marxian, tetapi lebih persisnya, semacam tawaran bagi otonomi persepsi. 


Rancière sebaliknya, mengajukan kritik terhadap seni kritis atau seni politis yang diartikannya sebagai jenis seni yang membangun kesadaran dari para spektatornya untuk menjadi agen yang mawas demi transformasi sosial.  Problem dari seni kritis, bagi Rancière, salah satunya adalah problem asumsi ketidaksetaraan. Artinya, saat seni kritis atau seni politis berusaha menyadarkan penonton, sudah terdapat dugaan bahwa penonton manapun tidak punya kapasitas untuk berpikir dan berbicara. Selain itu, dalam seni kritis juga terimplikasikan ajakan untuk menggunakan logika keseharian yang artinya menjebakkan siapapun pada cara kerja tatanan sosial dominan. Rancière kelihatannya tidak mau melepaskan estetika menjadi hal yang terlampau menyehari, biasa-biasa saja, dan pada akhirnya kehilangan efek sensorinya yang khas. Rancière justru mempertahankan argumen “permainan” menurut Schiller yang artinya mempertemukan seni dan “bukan seni”, hal yang berbeda dari keseharian dan yang keseharian, yang keseluruhannya tampil dalam otonomi yang dipersepsi secara khas. Apakah dengan demikian, pandangan Rancière sejalan dengan gagasan estetika sebagaimana ditawarkan oleh salah satu pemikir penting Mazhab Frankfurt, Theodor Adorno? 


Secara garis besar, Adorno mengajak kita untuk kritis terhadap bentuk musik populer yang menurutnya membuai massa karena dua persoalan yakni standardisasi dan pseudo-individualisasi.  Solusi Adorno bukan mengarah pada aspek sosiologis dari musik, melainkan masuk pada wilayah formal alias bentuk musik itu sendiri. Tawaran Adorno kemudian jatuh pada musik dua belas nada Arnold Schoenberg yang dianggap menginterupsi, mengganggu kenyamanan baik ritmis, melodis, maupun harmonis, sehingga dalam dirinya sendiri punya sifat emansipatoris. (bersambung)

Ads