Advertisement
Oleh: Syarif Maulana*
Tidak seperti bentuk teater konvensional yang memisahkan antara pemain dan penonton, Augusto Boal dengan tegas menolak istilah “penonton” (spectator) dan bahkan menyebutnya sebagai kata yang buruk. Teater dalam versi Boal bertujuan untuk mengubah keadaan, mengubah masyarakat. Atas dasar itu, penonton bukanlah entitas pasif dalam fenomena teater, melainkan subjek: ia harus menjadi aktor yang bertranformasi menjadi aksi dramatik (Boal, 2008: 97). Lebih jauh lagi, Boal menekankan bahwa penonton harus mengasumsikan dirinya berada dalam peran protagonis, mencoba berbagai solusi, mendiskusikan rencana perubahan – singkatnya, melatih dirinya untuk terjun pada sebuah aksi langsung. Hal tersebut yang membuat Boal menyatakan bahwa teater bukanlah revolusi dalam dirinya sendiri, melainkan latihan untuk revolusi (rehearsal for the revolution) (Boal, 2008: 98).
Untuk lebih tegasnya, Boal membandingkan “teater orang tertindas” versinya dengan tragedi Aristotelian yang menjadikan aktor sebagai sosok sentral yang memikirkan apa yang terbaik bagi dirinya dan juga penonton. Penonton dihanyutkan oleh pembawaan si aktor yang berujung pada apa yang disebut sebagai “katarsis” atau penyucian jiwa. Teater Boal juga berbeda dengan teater Brechtian yang membangun pemikiran kritis dengan cara membuka peluang bagi audiens untuk memikirkan dirinya, dengan cara yang bisa saja bertolak belakang dengan si aktor. Teater Brechtian, dalam arti tertentu, sudah setujuan dengan pandangan Boal yang sama-sama menginginkan sikap kritis dari penonton. Namun bagaimanapun, teater Brechtian masih melakukan dikotomi antara pemain dan penonton, sementara Boal terang-terangan menolaknya. Itu sebabnya, Boal menawarkan gagasan “spect-actors” atau penonton-pemain.
Berikutnya timbul pertanyaan: bagaimana mungkin membuat penonton menjadi pemain? Bukankah mereka tidak terlatih dan bahkan sebagian di antaranya tidak punya pengalaman bermain atau bahkan menonton teater sama sekali? Teater Boal tidak menyasar golongan elit yang kita asumsikan sudah melek soal teater, melainkan mesti terbuka pada kaum petani, kelas pekerja, dan warga-warga desa. Itu sebabnya, pendekatan terhadap mereka tidak bisa dilakukan melalui sesuatu yang asing, tetapi lewat “tubuh” (Boal, 2008: 103).
“Tubuh” seperti apa yang dimaksud Boal? Setiap orang, menurut Boal, memiliki tubuh yang bersatu dengan aktivitasnya: mencangkul, mengetik, mengangkat senjata, memberikan khotbah, dan sebagainya. Hal paling mendasar yang harus dilakukan oleh orang-orang yang disasar ini adalah menyadari gerak dan otot yang menyertai aktivitasnya. Tujuannya adalah untuk membuat mereka sampai pada kesadaran tertentu, sehingga setiap pekerja, setiap petani, setiap warga, menjadi mengerti, melihat, dan merasakan pada titik mana tubuhnya diperintah oleh kerja-kerjanya (Boal, 2008: 104).
Boal menyiapkan ratusan latihan untuk diterapkan pada orang-orang non-aktor ini (ia tuliskan dalam bukunya yang berjudul 200 Exercises and Games for the Actor and for the Non-actor Who Wants to Say Something Through Theater), tetapi ia tetap menekankan bahwa mereka bisa saja mengembangkan latihan sendiri. Intinya, suasana mesti dibuat sekondusif mungkin supaya kreativitas orang-orang menjadi muncul.
Namun mungkin timbul pertanyaan, mengapa teater Boal mengharuskan serangkaian latihan demi latihan? Tidakkah hal tersebut justru membuat “ribet” dan menyusahkan para orang-orang non-aktor? Argumen Boal berangkat dari kondisi bahwa orang-orang non-aktor ini justru lebih sukar mengungkapkan pendapat dan keresahannya melalui ekspresi verbal. Itu sebabnya, dalam pandangan Boal, mereka harus mampu mengungkapkan pendapat melalui tubuhnya. Tubuhnya harus dibuat lebih ekspresif. Boal menekankan bahwa latihan-latihan ini harus dibuat menyenangkan dan dalam situasi bermain-main, sehingga orang-orang non-aktor tidak merasa tertekan.
Jika serangkaian latihan tersebut telah dilampaui, maka tiba saatnya untuk mempraktikkan dalam bentuk semacam “pertunjukkan”. Boal menjabarkan sejumlah praktik yang bisa dilakukan, tetapi kita akan membahas hanya salah satu implementasinya yaitu teater forum (forum theatre). Teater forum dimoderasi oleh seseorang yang disebut sebagai “Joker” (yang sebisa mungkin dijalankan oleh aktor terlatih). Prosedur pertama, Joker meminta orang-orang non-aktor (berikutnya disebut partisipan) untuk menceritakan suatu kisah yang mengandung problem sosial atau politik yang sukar dipecahkan. Setelah itu, partisipan diberi waktu 10 sampai 15 menit untuk mengilustrasikan problem tersebut (beserta kemungkinan solusinya) dalam bentuk adegan pendek secara sederhana. Saat adegan tersebut selesai dipertontonkan, Joker bertanya kembali pada partisipan apakah mereka setuju dengan solusinya. Jika ada yang tidak setuju, maka partisipan tersebut diminta untuk berperan di dalamnya dan menyuguhkan solusi yang ia tawarkan. Adegan pendeknya tentu diulangi lagi (dengan solusi baru) dan ini bisa berlangsung hingga berjam-jam melampaui durasi teater konvensional.
Boal menekankan bahwa partisipan yang memilih untuk melakukan intervensi harus melakukan aksi fisik untuk menggantikan aktor sebelumnya. Mereka tidak boleh cuma berjalan-jalan di panggung dan bicara, melainkan harus beraksi. Solusi harus ditampilkan di atas panggung dengan bertindak. Lewat teater forum, Boal juga hendak mengritik orang-orang yang sering menjadi macan podium, berbicara tentang tindakan heroik nan revolusioner di atas panggung, tetapi di sisi lain, sang orator juga sadar bahwa apa yang dibicarakannya tidak bisa ia praktikkan (Boal, 2008: 117). Itulah mengapa Boal tidak menyarankan teater yang terlalu banyak cakap. Audiens harus terlibat aktif menjadi aktor dan mereka mengekspresikan segala gagasan lewat tubuhnya. Dalam arti demikian, latihan tubuh memang sangat diperlukan.
Contoh Kasus: Eksploitasi oleh Perusahaan Ikan di Chimbote
Boal memberi contoh lewat sebuah kasus eksploitasi di perusahaan ikan di Chimbote, Peru. Bos di perusahaan ikan tersebut meminta pekerjanya untuk bekerja dari jam delapan pagi hingga delapan malam, disambung jam delapan malam hingga delapan pagi, tanpa henti sehingga masing-masing pekerja bekerja selama dua belas jam untuk setiap shift-nya. Persoalannya adalah bagaimana strategi para pekerja untuk bisa melawan eksploitasi tidak manusiawi ini? Setiap partisipan mempunyai usulan: ada yang mengusulkan untuk bekerja dengan sangat lambat, terutama saat bosnya tidak memperhatikan. Kemudian ada juga yang mengusulkan untuk bekerja dengan cepat, mengisi mesin dengan ikan sebanyak mungkin hingga kelebihan beban. Jika mesin kelebihan beban, maka memerlukan waktu dua hingga tiga jam untuk memperbaikinya, sehingga para pekerja bisa beristirahat. Solusi mana yang terbaik, inilah yang dicari dalam teater forum.
Adegan seperti yang diceritakan di atas dipresentasikan oleh para partisipan. Ada yang berperan menjadi pekerja, ada yang berperan menjadi bos, ada yang berperan menjadi mandor, juga ada yang menjadi mata-mata (“stool pigeon”). Panggung kemudian dibuat sedemikian rupa supaya kira-kira menggambarkan pabrik ikan dan segala kegiatannya: seorang pekerja membongkar ikan-ikan, lainnya menimbang, lainnya mengantarkan pada mesin, dan seterusnya. Sembari bekerja, mereka terus berbincang, menawarkan solusi, dan mendiskusikannya sampai akhirnya para pekerja setuju untuk membuat rusak mesinnya; bos datang dan para pekerja beristirahat saat teknisi memperbaiki mesin. Saat perbaikan selesai, pekerja kembali bekerja. Itu adalah adegan pertama. Joker kemudian mengajukan pertanyaan: adakah solusi lainnya? Ternyata ada: partisipan lain menawarkan untuk langsung membom pabriknya saja; ada yang menawarkan untuk mogok kerja; ada yang menawarkan untuk membangun serikat pekerja, dan lainnya.
Apapun itu yang diusulkan oleh partisipan, mereka sendiri harus mencobanya dalam adegan. Bahkan kalaupun ada yang mengusulkan agar pabrik tersebut dibom saja, mereka harus memikirkan bagaimana cara merakit bom, bagaimana konsekuensinya jika orang-orang menjadi pengangguran karena pabriknya luluh lantak. Semua itu tidak bisa dijelaskan hanya lewat kata-kata, melainkan dipraktikkan dalam tindakan tubuh. Kalaupun ada partisipan yang mengusulkan pembentukan serikat kerja, lalu mencoba mengatasi semua persoalan lewat negosiasi, semuanya mesti diperankan, termasuk menghadapi berbagai kemungkinan lewat pertemuan dengan para bos, mandor, mata-mata (yang semuanya juga mesti diperankan). Lewat teaternya, Boal enggan mendikte audiens tentang apa yang seharusnya mereka lakukan dalam mengatasi eksploitasi. Boal meminta mereka sendiri, para pekerja, yang mencoba alternatif-alternatif solusinya sebagai latihan menuju “revolusi sebenarnya”.
Teater Boal memang tidak bisa dikatakan sebuah “pertunjukkan” dalam arti menghibur sebagaimana disuguhkan oleh teater konvensional. Kita tidak bisa menikmatinya sebagai sebuah hiburan atau bahkan katarsis sekalipun. Karena bagi Boal, teater adalah sarana untuk menumbuhkan kesadaran kelas dengan menjadikan penonton sebagai partisipan. Dalam teater forum, jangan harap kita bisa menyaksikan hal-hal seperti akting yang memukau, musik yang megah, atau latar panggung yang mempesona. Aspek-aspek yang sudah dieliminasi oleh teater Brechtian tersebut ditarik secara lebih radikal oleh Boal: bahkan semua itu tidak penting jika hanya sekadar menjadi tontonan. Penonton harus terlibat. Penonton harus menjadi protagonis atas persoalan sosial yang dialaminya dan turut memecahkannya. Bukan dengan pikiran dan kata-kata saja, tetapi oleh serangkaian tindakan yang distimulasi oleh tubuh terlatih.
Aktivisme Boal ini tentu menimbulkan persoalan lainnya: jika teater hanya dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan sosial, lantas, di mana teaternya? Di mana letak seninya? Boal seolah sudah mempersiapkan jawaban atas pertanyaan semacam itu dengan menekankan: orang-orang non-aktor atau calon partisipan haruslah melalui serangkaian latihan olah tubuh terlebih dahulu. Mereka tidak bisa “ujug-ujug” berperan, tidak bisa “ujug-ujug” main teater, melainkan mendapat serangkaian asupan estetik terlebih dahulu. Kesadaran akan tubuhnya sendiri, tubuh yang bekerja, tubuh yang dieksploitasi, adalah prasyarat penting untuk menciptakan “kondisi estetik” dalam teater Boal.
Dalam arti demikian, kita bisa sekaligus mengatakan: revolusi adalah suatu usaha transformasi dari kondisi ketimpangan menuju kondisi yang lebih adil; kondisi penindasan menuju kondisi yang lebih setara; dan kondisi tidak estetik menuju kondisi yang lebih estetik. Para pekerja harus terlebih dahulu menyadari: tubuh yang dieksploitasi, bukanlah tubuh yang estetik.
Daftar Pustaka
Boal, Augusto. (2008). Theatre of the Oppressed (Emily Fryer, trans.). London: Pluto Press.
*Syarif Maulana adalah pedagang roti dan korban cancel culture.