Pemikiran Teater Augusto Boal (Bagian 1): Kritik Atas Tragedi Aristotelian -->
close
Pojok Seni
26 August 2024, 8/26/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-08-26T01:47:07Z
Artikelteater

Pemikiran Teater Augusto Boal (Bagian 1): Kritik Atas Tragedi Aristotelian

Advertisement
pertunjukan teater augusto boal

Oleh: Syarif Maulana*


Augusto Boal (1931 – 2009) adalah praktisi teater, teoretisi drama dan aktivis politik asal Brasil yang salah satunya mengenalkan gagasan berkenaan dengan teater kaum tertindas (theatre of the oppressed). Pemikiran teater Boal memiliki tendensi politis, tetapi tidak dengan cara yang sama dengan teater-nya Bertolt Brecht yang masih melakukan pemisahan antara pemain dan penonton. Boal lebih banyak melakukan peleburan antara pemain dan penonton, bahkan membolehkan penonton untuk menentukan alur pertunjukkan. Untuk lebih lengkapnya, mari mengurai sejumlah gagasan pokok Boal dalam karyanya yang juga berjudul Theatre of The Oppressed (1979).


Boal memulai argumentasinya dengan mengacu pada pendapat para pemikir dan dramawan Yunani Kuno tentang seni. Menurut Boal, sudah sejak dulu terjadi perbedaan pendapat tentang seni, antara mereka yang menganggap seni mesti sepenuhnya tentang keindahan dan mereka yang menganggap seni mesti punya fungsi moral dan politik. Misalnya, Aristophanes beranggapan bahwa, “seorang dramawan seharusnya tidak hanya menawarkan kesenangan, tapi juga menjadi guru bagi moral sekaligus penasihat politik.” 


Eratosthenes berpendapat sebaliknya, dengan mengatakan bahwa, “fungsi dari puisi adalah untuk memikat jiwa pendengarnya dan bukan untuk menyuruh mereka.” Boal kemudian mengutip Strabo dengan pendapat yang sejalan dengan Aristophanes, “Puisi adalah pelajaran pertama bagi anak-anak yang mesti diberlakukan oleh negara; puisi lebih superior ketimbang filsafat karena yang terakhir lebih ditujukan pada minoritas sementara yang pertama dialamatkan pada massa.” 


Lantas, di mana posisi Boal dalam pertentangan-pertentangan tersebut? Boal kemudian mengurai terlebih dahulu pendapat Aristoteles tentang sifat alam yang selalu mengarah pada suatu tujuan (telos). Saat alam gagal mencapai tujunnya, seni dan sains mengintervensi. Manusia, sebagai bagian dari alam, juga memiliki tujuan: kesehatan, kebahagiaan, keterberkatan, keadilan, dan sebagainya. Saat manusia itu gagal mencapai tujuannya, seni tragedi kemudian mengintervensi, melakukan koreksi atas tindakan manusia melalui apa yang disebut Aristoteles sebagai katarsis atau penyujian jiwa. Sekilas, bagi Boal, katarsis merupakan gagasan yang memikat. Namun di sisi lain, gagasan Aristoteles tersebut juga kontroversial. Mengapa demikian? Boal bertanya lebih jauh: jika katarsis merupakan cara mengoreksi (tindakan manusia), apa yang sesungguhnya dikoreksi? Katarsis juga merupakan purifikasi, tetapi, apa yang sebenarnya dipurifikasi? 


Boal melakukan analisis terhadap alur tragedi Aristotelian yang terdiri dari tiga tahap. Namun sebelum masuk pada tahapan-tahapan tersebut, penting untuk diketahui apa yang dimaksud dengan hamartia sebagai konsep kunci dalam tragedi. Hamartia adalah semacam kesalahan fatal yang membuat pahlawan atau protagonis dalam lakon tragedi mengalami nasib yang tragis. Dalam tahap pertama, yakni peripeteia, terjadi perubahan besar-besaran pada nasib si pahlawan, yang terjadi akibat hamartia. Dalam peripeteia, pahlawan mengalami serangkaian penderitaan dan kesialan, yang turut menimbulkan semacam empati dari para penonton. Tahap kedua, pahlawan tragis mesti melewati apa yang disebut Aristoteles sebagai anagnorisis. Anagnorisis adalah usaha pahlawan tragis untuk menemukan letak kesalahan fatalnya dan menemukan penjelasan berdasarkan nalar. Pahlawan tragis menerima kekeliruannya dan berharap bahwa para penonton juga ikut merasakan hal yang sama (menerima hamartia-nya masing-masing). Tragedi Aristotelian kemudian masuk pada tahap ketiga atau tahap akhir yang disebut sebagai catastrophe. Dalam catastrophe, Aristoteles tidak menginginkan akhir yang membahagiakan, melainkan penutup berupa malapetaka. Melalui tiga tahap itulah, dalam terang pandangan Aristoteles, katarsis dapat dicapai oleh audiens sebagai purifikasi atas hamartia-nya masing-masing.


Dengan tahapan yang mengesankan tersebut, bagaimana Boal mengajukan keberatan terhadap konsep katarsis Aristotelian yang justru dianggap sebagai represif? Boal kemudian menghadap-hadapkan antara hamartia sebagai perbuatan individual dari si pahlawan tragis dengan etos sosial dari si masyarakatnya. Relasi yang diandaikan Aristoteles adalah hamartia yang bertentangan dengan ethos sosial. Misalnya, kesalahan si pahlawan tragis dengan melakukan perzinahan, di tengah masyarakat yang menganggap hal demikian sebagai dosa. Di sinilah Boal mulai melancarkan kritiknya: Aristoteles kerap melihat masyarakat sebagai bagus adanya dan punya kapasitas untuk menghukum kekeliruan moral individu. Jika terdapat ketidakadilan, itu adalah masalah pribadi si pahlawan tragis karena tolok ukurnya selalu mengacu pada ethos sosial. Padahal, menurut Boal, yang terjadi bisa sebaliknya: ethos sosialnya yang justru buruk dan sikap pahlawan tragis yang baik malah menjadi pertentangan yang lain sekali dengan apa yang dibayangkan dalam tragedi Aristotelian. Misalnya, dalam masyarakat yang korup, sikap seseorang yang jujur justru menjadi hamartia (Boal menyebutnya sebagai negative hamartia).


Boal akhirnya sampai pada simpulannya tentang kritik terhadap katarsis: Aristoteles tidak mengizinkan kita melihat permasalahan yang terletak pada ethos sosial dan memilih untuk melulu fokus pada kesalahan individual. Aristoteles mengabaikan bahwa ethos sosial pun bisa keliru, dapat terjadi ketidakadilan di sana dan kunci memperbaikinya bukan pada kesadaran-kesadaran “pahlawan tragis”, melainkan perubahan besar-besaran atau revolusi. Bagi Aristoteles yang memandang ethos sosial ini selalu baik, tentu revolusi menjadi anomali. Di sinilah Boal menganggap tragedi Aristotelian bersifat represif. Audiens, bagi Boal, tidak cukup hanya sampai pada menyadari kekeliruan dirinya sendiri. Ia harus sadar akan permasalahan struktural dan ikut melakukan transformasi. 


Daftar Pustaka

Boal, Augusto. (2008). Theatre of the Oppressed (Emily Fryer, trans.). London: Pluto Press.  


*Penulis adalah pedagang roti dan korban cancel culture.

Ads