Monolog Sang Kembang Bale: Kemolekan Ronggeng yang Berbalut Getir -->
close
Pojok Seni
14 August 2024, 8/14/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-08-14T17:28:12Z
teaterUlasan

Monolog Sang Kembang Bale: Kemolekan Ronggeng yang Berbalut Getir

Advertisement
Pertunjukan Monolog Sang Kembang Bale
Pertunjukan Monolog Sang Kembang Bale (foto: Ilham Haruna)

Oleh: Ilham Haruna*


Sebuah pertunjukan teater monolog produksi Titimangsa sebagai karya ke-79, pertunjukan ini dihelat pada Sabtu dan Minggu, 10-11 Agustus 2024, 19:30 WIB, di NuArt Sculpture Parak, Bandung, Jawa Barat. “Sang Kembang Bale” yang dibawakan oleh aktor "populer" Indonesia, Ariel Tatum dan sebagai produser kawakan Happy Salma yang juga sebagai pendiri yayasan Titimangsa. Karya ini disutradarai oleh Heliana Sinaga, naskah monolog ditulis oleh Wida Waridah dan Toni Lesmana. Kisah yang diangkat adalah seorang Ronggeng Gunung, sebuah kesenian tradisi asal Ciamis dan Pangandaran -sekarang masuk WBTB- dan sudah cukup langka.


Selain itu beberapa pendukung yang memprakarsai pertunjukan “Sang Kembang Bale” diantaranya penata musik dari Swarantara; penata artistik, Iskandar Loedin dan Adri Pradipta; penata cahaya, Deray Setyadi; penata suara, Imam Maulana; penata kostum, Retno Ratih Damayanti; penata rias, Yudin Fakhruddin; penata gerak, Rachmayati Nilakusumah; pelatih vokal, Mayang Krismayanti; manajer panggung RR Firsty Dewi; pimpinan produksi, Angelina Arcana.


Sinopsis


Sang Kembang Bale (Nyanyian yang Kutitipkan Pada Angin) ini berkisah tentang kehidupan seorang ronggeng (kembang bale). Di Panyutran, sebuah kampung di Padaherang, Pangandaran, Jawa Barat, seorang Kembang Bale terlahir dari perih kehidupan masa kecilnya.


Memasuki masa remaja, ia terpilih oleh para ronggeng gunung sepuh untuk menjadi penerus sebagai ronggeng sejati. Kemiskinanlah yang mendorongnya untuk memasuki dunia ronggeng. Tapi dunia yang dimasukinya itu semakin hari semakin menariknya untuk lebih dalam memaknai bagaimana semestinya sikap seorang ronggeng (kembang bale).


Dalam monolog ini segala kegelisahan, konflik batin, ketakutan, keinginan, dan harapan sang Kembang Bale akan ditampilkan bersama dengan tembang- tembang ronggeng gunung. Penonton akan melihat bagaimana sang ronggeng juga adalah manusia, yang seringkali meragu. Namun, ia berusaha lurus dalam pilihannya menjadi perempuan terpilih yang dicintai sekaligus disegani di masyarakatnya.


Sang Kembang Bale: Tubuh Ronggeng


Asap menyan menyeruak di atas panggung seperti halnya setiap pertunjukan yang saya saksikan pada panggung-panggung di Bandung, tak ayalnya juga pada malam pertunjukan monolog Sang Kembang Bale yang dilakonkan oleh Ariel Tatum yang berperan sebagai ronggeng itu, saya menyaksikan hal yang serupa di mana menyan-menyan taklekang dalam kontinum pertunjukan yang membawa inisial ritual sebagai landasan karya. Bersyarah mengenai pertunjukan ini, monolog Sang Kembang Bale memang di kelindan dari titian tradisi ronggeng tepatnya ronggeng gunung, dimana laku spiritual masih melekat pada praksisnya.

 

Ditarik ke belakang, kesenian ronggeng memang melekat erat dalam rantai kehidupan masyarakat sebagai kesenian rakyat, terutama yang erat pada ekologi pertanian. Seperti halnya malam itu, pertunjukan monolog Sang Kembang Bale ini sangat dekat dengan penonton. Penonton seolah-olah ditarik oleh atmosfer ronggeng yang memang dulunya difungsikan sebagai penarik massa pada setiap perhelatannya. Lingkaran panggung itu seyogyanya memusatkan setiap tikungan mata kepada sang Nyi ronggeng.


Sang ronggeng yang berida dalam menembang -walau harus dikatakan suaranya sumbang-, untaian kata-kata keluar lewat dialog sang aktor, melontarkan setiap kalimat dalam naskah monolognya. Rupa dan gelagatnya membumbung dalam lingkaran pertunjukan. Tandangnya sebagai pelakon, menelisik setiap tubuh-tubuh yang hening. Sejatinya, ia sebagai ronggeng menghardik setiap penontonnya, yang sedikit menjemukan di adegan awal. Namun selanjutnya sang aktor mulai membius dan memberikan saya maksud dari setiap celotehannya sebagai ronggeng sepuh.


Pertunjukan Monolog Sang Kembang Bale
Pertunjukan Monolog Sang Kembang Bale (foto: Ilham Haruna)


Tubuh ronggeng menjelma dalam setiap laku hidupnya. Sang kembang Bale telah memantaskan diri menjadi sepuh ronggeng. Tampuk sepuh ronggeng tidaklah mudah didapatkan, sebagai puan yang hidupnya yang pelik dengan kehidupan sosialnya. Sang Kembang Bale yang dulu selalu menyerukan kegelisahannya, di mana dirinya pelik dengan arus belukar permasalahan hidup -kemiskinan, salah satunya- sehingga membuat ia menjelma sebagai ronggeng. 


Yah, ini adalah titisan tubuh ronggeng yang menjadi takdir untuknya, ronggeng menjadi titian dalam melanjutkan tradisi yang melekat dalam ekologi yang ia pijak. Getirnya hidup menjadi cambuk untuk terus melangkah, panggung demi panggung ia jejaki, menghasad setiap manusia dengan tembang yang membuai. Sang ronggeng harus terus semerbak untuk terus mengapung di antara kehidupannya yang sungsang.


Kehadiran tubuh puan dalam ruang-ruang ronggeng yang diterima sebagai titisan moyangnya, tubuh itu diturunkan melalui praksis spiritual seperti yang dituturkan dalam naskah monolog Sang Kembang Bale, hal ini seakan-akan berbanding terbalik terhadap stigma yang dibangun oleh masyarakat , mereka memiliki pandangan miring terhadap tubuh-tubuh puan yang dibalut kemolekan Sang ronggeng.

 

Tubuh ronggeng yang terpatri dalam raga dan sukmanya menjadi momok bagi masyarakat disekitarnya, stigma miring menjadi rundungan baginya. Jiwanya kian terjajah, di sisi lain sang ronggeng harus kuat seperti layaknya tembang yang ia lantunkan sebagai pengharapan atas keberkahan Tuhan. Sebagai aktor, saya cukup menyangsikan kemampuan menembang Ariel Tatum sebagai Sang Kembang Bale, Walaupun memang ada sinden Mayang yang dengan baik mengisi alunan-alunan merdu yang dibutuhkan dalam monolog tersebut. Mungkin, sudah ada negosiasi antara sang aktor dengan sutradara untuk batasan kemampuan menembang dalam pertunjukan tersebut.


Hal ini mungkin bisa ditelisik juga, sebagai suara-suara puan yang hilang akibat dari stigma- stigma miring masyarakat. Pun bisa saja ini ekuivalen dengan perjalanannya sebagai ronggeng yang dimana harus mampu melebur dari berbagai situasi dalam lingkaran kehidupan sosial yang penuh semak belukar. Sang ronggeng adalah tubuh yang rentan akan penjajahan, itikad baik dalam meramu keberlangsungan ritual kesuburan sebagai identitas tradisi yang bergulir dalam masyarakat tak ubahnya sebagai laku subversif yang penuh dengan kepelikan.


Sang Kembang Bale: Tubuh Hierarki Sang Ronggeng


Ekologi tubuh dalam entitas kesenian ronggeng gunung merupakan jati diri perempuan yang melampaui batas-batas dan berkamuflase dalam setiap ruang-ruang masyarakatnya di balik tubuh ronggeng. Tubuh ronggeng seyogyanya mengalir arus nalar yang ekuivalen terhadap liukan naluri dan drianya, secara sadar bahwa tubuh-tubuh sosial dalam ronggeng dapat memuarakan norma- norma kebaikan dan kebajikan dalam mengelola seluruh aspek kehidupan. 


Ketika tubuh ronggeng melekat dalam sukmanya perseturuan sosial kehidupan menjadi godaan, tubuh ronggeng sebagai hierarki yang telah memegang tradisi kesuburan menjadi bagian yang urgen untuk mengendalikan diri dalam mengartikulasikan inklusivisme baik dari spiritual dan simbol-simbol ronggeng itu sendiri sebagai salah satu hal penting dalam melintasi periode atas segala perubahan dan pembaruannya.

 

Kembang bale tidak ubahnya sebagai hierarki seorang puan, tersembunyi di balik ronggeng tersohor maupun sebagai ronggeng sepuh ataupun ronggeng terpilih. Apapun "status" ronggengnya, ia memiliki tanggung jawab besar terhadap label yang disandang. Maka, timbul pertanyaan apakah sebenarnya tubuh ronggeng itu adalah ujian hidup bagi perempuan yang melakoninya? Ataukah karena ia menjadi seorang ronggeng hidupnya hanya menjadi bunga yang memikat setiap lebah?


Pertanyaan itu menggeliat dalam arus nalar saya, ketika menyaksikan pertunjukan monolog Sang Kembang Bale. Bisa jadi, ketika ditarik penjelasan bahwa jalan puan dalam kehidupan sosial memang banyak alai-belai (bujuk rayu). Paradigma perempuan juga banyak merasuki khalayak, seperti; kemampuan puan dalam memimpin tak dapat ditampikan, layaknya ronggeng yang penuh dengan aura mistis nan memikat mata manusia. Namun ketika itu menguasai sukmanya, seyogyanya inilah hierarki yang menjadikan tubuh-tubuh haus akan keserakahan, ketamakan, dan kekuasaan. Inilah ujian sesungguhnya bagi tubuh-tubuh yang sedang berada di awan-awan hierarki.


Bagi saya titisan tubuh hierarki ronggeng merupakan entitas kekuatan yang dapat menjadi titian dalam kehidupan, sebagai sumber pengetahuan dalam kehidupan manusia, sebagai tameng untuk diri sang puan dan orang-orang disekitarnya. Seperti dulu ronggeng digunakan sebagai kamuflase ratu Rengganis untuk melawan musuh-musuhnya guna melindungi pengikut- pengikutnya. Hanya saja marginal kehidupan sosial yang pelik dalam masyarakat mengubah esensi dari stigma tubuh-tubuh ronggeng.


Pertunjukan Monolog Sang Kembang Bale
Pertunjukan Monolog Sang Kembang Bale (foto: Ilham Haruna)

 

Sang Kembang Bale: Sebuah Risalah Ronggeng


Tak terasa sudah hampir sejam saya ditemani kabut malam di area NuArt. Di antara permainan cahaya lampu panggung yang menyirami setiap spektakel dalam monolog Sang Kembang Bale. Babak demi babak terurai dari lakon aktornya. Menjelang ke fragmen akhir, sejatinya mungkin tidak semua dilakonkan oleh sang aktor (Ariel Tatum) ada pelakon yang lain, ada empat aktor pendukung yang muncul di sela-sela penonton pada malam itu. Mereka melakukan dialog dengan berbahasa Sunda, sambil menari.


Seperti yang lumrah saya saksikan sebagai pertunjukan ala tanah Pasundan yang sangat lekat pada sensasi humor, pertunjukan ini pun tak luput dari bodoran (lucu-lucuan). Pun saya menilik itu sebagai paradoksal kehidupan sosialnya, hiruk-pikuk dan sungsangnya kehidupan masyarakat, kesenjangan sosial yang tak pernah lekang oleh zaman, membuat masyarakatnya mencari sandaran humor agar tidak terbebani pelik belukar permasalah kehidupannya.


Laku aktor pendukung itu cukup memekik tawa pada malam itu, yah walaupun juga aktor utama sesekali mencubit gelak tawa penonton lewat dialognya di sepanjang pertunjukan monolog tersebut. Namun demikian hal ini yang saya maksud bahwa gelak humoris sangat lumrah dalam pertunjukan di tanah Sunda.


Putaran maut selendang ronggeng Sang Kembang Bale, begitu kiranya aku sematkan pada bagian sekuel itu. Arus batin dan pelik kehidupan seolah-olah terus berputar, mengitari setiap ruang-ruang kehidupan Sang Kembang Bale. Dan kemudian ambruk bersama getir kehidupannya, pada saat itu barulah sang aktor kembali berkidung dengan bahana sumbangnya seperti pada awal pertunjukan tadi, hingga lampu panggung senada dengan warna malam yang pekat di ruang terbuka NuArt.

 

Seyogyanya inilah pertunjukan Sang Kembang Bale, antusiasme penonton dan riuh tepuk tangan menjadi saksi pertunjukan kedua di tanggal 11 Agustus 2024, yang kurang lebih dimulai pada pukul 19:30 WIB dan berakhir di pukul 21.30 WIB pada malam itu. Saya yang hadir pada malam itu, mewakili Pojok Seni memberikan apresiasi setinggi-tingginya pada semua yang terlibat dalam perhelatan “Sang Kembang Bale”. 


Saya kutip dari buklet yang dibagikan malam itu, Happy Salma selaku eksekutif Produser menuturkan bahwa, “Sebagai ragam pertunjukan, 'Sang Kembang Bale' adalah bagian dari idealisme Titimangsa yang selalu kami pegang teguh, yaitu menghadirkan seni pertunjukan yang bertemali kuat dengan karya sastra. Pertunjukan yang bukan semata hiburan, tetapi menyimpan gagasan yang jadi ikhtiar menjembatani kekayaan tradisi di masa lampau dengan relevansi maknanya di masa kekinian. Selama proses produksi, saya merasakan bagaimana antusiasme semua tim yang terlibat. Ada kegembiraan yang lain manakala bintang atau artis populer seperti Ariel Tatum terlibat penuh dalam produksi ini. Ia mau belajar dan membuka diri untuk pengalaman- pengalaman baru dalam perjalanannya di dunia seni pertunjukan. Terutama perkenalannya dengan Ronggeng Gunung yang berbasis tradisi Sunda”. Hal ini menjadi inisiasi bagi seniman-seniman selanjutnya untuk merawat keberlanjutan tradisinya.


* Penulis adalah seniman asal Sulawesi Selatan, saat ini baru menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana ISBI Bandung, jurusan Penciptaan Seni konsentrasi Tari.

Editor: Adhyra Irianto

Ads