Metode Riset Artistik dalam Penciptaan “Minum Kopi Sembari Tengok ke Belakang (Dramaturgi ke Dramaturg)” -->
close
Pojok Seni
06 August 2024, 8/06/2024 05:26:00 PM WIB
Terbaru 2024-08-06T10:26:12Z
Artikelteater

Metode Riset Artistik dalam Penciptaan “Minum Kopi Sembari Tengok ke Belakang (Dramaturgi ke Dramaturg)”

Advertisement
Salah satu flyer Border Crossing Space Burneh; di Festival Pasca Penciptaan (Dok. Hoirul Hafifi)

Oleh: Arung Wardhana Ellhafifie*


Festival Pasca Penciptaan, yang diselenggarakan Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, pada Jumat-Minggu, 12-14 Juli 2024, di Gedung Teater Kecil, Teater Besar, Teater Kapal Kampus ISI Surakarta, Taman Eden, Taman Gendhon Humardani , dan Pendopo Pura Mangkunegaran, didukung Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dengan mengundang Border Crossing Space Burneh, yang diketuai oleh Hoirul Hafifi, yang mendapatkan bantuan Dukungan Perjalanan, Interaksi Budaya Domestik, Setditbud Kemdikbudristek; dengan delegasi kebudayaan di antaranya; Hoirul Hafifi, Yunita Fenditia Astiti, Agus Zairi, Mahendra Cipta, Abd. Lathif, Moh. Rofayat, Andrian Birril Musthofa, Sri Cicik Handayani, Moh. Rifqi Nur Alif, Agitha Martha Putranti, Adiyanto, Muhammad Firmansyah H., Riean Taurusea Prawira, Abu Chanifah, Septian Adi Wardana; lebih mengedepankan metode riset artistik dalam penciptaan yang saling berkelindan antara satu dengan lainnya. 


Relasi antara penciptaan dan riset dilakukan secara bersamaan, berkelindan, di antara, dan pada ambang batasnya masing-masing, termasuk metode penciptaan dan metode riset artistik yang saling berkaitan dalam karya ini. Border Crossing Space Burneh, yang diketuai Hoirul Hafifi juga memiliki peran banyak, salah satu hal utama adalah seorang periset mengorganisasikan keseluruhan, menganalisis secara sistematis tema-tema yang dibahas, dan berkontribusi terhadap pengetahuan. Lembaga budaya ini juga menyadari bahwa ada tanggung jawab etis tertentu dalam kasus ini, yaitu penyelidikan untuk lebih memahami orang-orang yang berpusat pada trauma orang-orang yang ada di dalamnya dan terus dilakukan untuk memperbaiki diri;  jadi apa yang spesifik tentang penciptaan sebagai metode riset artistik? 


Karya dari Border Crossing Space Burneh dikuratori oleh Dr. Dr. Eko Supriyanto, S. Sn., M. F. A., dan ko kurator oleh Dr. Zulkarnain Mistortoify, M. Hum., di mana keduanya juga bagian dari inisiator dari Festival Pasca Penciptaan. Subjek penciptaan ini adalah penyelidikan, bukan pekerjaan yang hanya sebatas produksi. Semuanya mempunyai prinsip dasar yang sama: metode penciptaan dan riset artistik berkaitan dengan perumusan pertanyaan dan penyediaan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sejak awal percaya bahwa riset bisa menjadi hal terpenting dalam penciptaan, sekadar diupayakan sebagai relasi metodis antara tanya jawab atau jawaban dan pertanyaan – dalam urutan acak. 


Upaya menggeser penciptaan pada perubahan titik acuan hasil riset untuk menghasilkan teori eksperimen umum dan pengetahuan yang unik, specific, dan lebih dikenali lembaga tersebut. Metode riset artistik memberikan peluang terbuka pada sejumlah kriteria riset mendasar, seperti fokus pada komunikasi, sikap kritis (diri), dan penekanan pada riset otonom, sebagaimana ditekankan oleh Niedderer dan Roworth-Stokes bahwa riset artistik adalah penyelidikan kritis; praktik yang dilakukan pencipta melalui refleksi diri (lih. Guntur. 2023, 16: Metode Penelitian Artistik. Surakarta: ISI Press).

 

Metode riset artistik dalam penciptaan ini sangat berpengaruh pada tujuan lembaga budaya untuk berkomitmen terhadap sesuatu, bersifat sosial atas analisis diri yang terkesan anti sosial, dan sangat khas dari seorang praktisi – yang dibawa ke ranah akademis. Hal yang diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai practice as research, yang merupakan bagian dari salah satu metode riset artistik dalam ranah penyelidikan antara pertunjukan dan trauma yang dialami ketua lembaga budaya (khususnya) – dan sepanjang karya ini, trauma terus dihadirkan dalam konstelasi penglihatan yang berbeda, sehubungan dengan ketidaksadaran kolektif dan postcolonial, meski tidak pernah dijelaskan secara detail. 


Ketidaksadaran kolektif dan postcolonial, jika ingin disimpulkan, merupakan presentasi investigasi terhadap trauma yang dialami sejak masa kanak-kanak, untuk mencari informasi yang berbeda. Penciptaan dipersiapkan dan dimaksudkan dalam setiap penyelidikan sebagai riset, untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya, dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman (Guntur 2023, 15) diri sendiri untuk memahami sejauh mana mereka lebih mengenali  diri, objek, dan arsip.  


Hal semacam ini tentu saja tidak banyak dilihat oleh banyak seniman yang lebih ‘mapan’ dalam berproduksi dibandingkan identifikasi terhadap hasil penciptaan itu sendiri, yang juga disadari dan diyakini banyak celahnya. Penciptaan sebagai metode riset artistik digunakan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara spekulatif untuk kepentingan utama diri sendiri dengan mengaktifkan persepsi dan imajinasi tentang blater alternatif. 


Metode riset artistik, seperti practice as research, berbasis proses dalam sistem operasi utamanya, mengutamakan metode eksperimen, dan tidak dapat ditentukan sebelumnya. Lebih merupakan gerakan refleksi diri yang berkesinambungan berdasarkan refleksi trauma, gugatan demi gugatan terus diselidiki melalui banyak praktik sekaligus menandai sejauh mana mereka mampu meningkatkan posttraumatic growth dalam kehidupan sehari-hari. Lembaga budaya ini menganggap perlunya penciptaan sebagai kriteria riset berkaitan secara metodologis, sehubungan dengan setiap materi yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, meskipun hal tersebut tidak dapat dilegitimasi secara apriori.


Practice as Research Berkelindan dengan Practice-Led Research


Salah satu partisipan dari lintas disiplin ikut berpartisipasi (Dok. Hoirul Hafifi)


Metode practice as research dipilih sebagai eksplorasi interaktivitas pengalaman penciptaan sebelumnya yang dipicu oleh “kegagalan” dalam kaitannya dengan teks pertunjukan atau naskah dalam dramaturgi konvensional dan riset. Tema-tema pertunjukan sebelum lima tahun terakhir merupakan hal-hal yang sulit dijangkau terkait dengan naskah, hasil riset, interaktivitas dan waktu, serta pengaruh interaktivitas terhadap pengalaman keterbatasan riset membuat teks cukup besar kesenjangannya. 


Tema sebelumnya yang bisa disebut berpotensi besar atau terkesan ambisius merupakan isyarat dari lembaga budaya ini bahwa tidak menyadari keterbatasan kapasitas, kemampuan, dan keterampilan dalam memandang praktik riset. Riset menjadi kata kunci yang kemudian dialihkan untuk memilih tema individu, yaitu trauma. 


Border Crossing Space Burneh yang diketuai Hoirul Hafifi, yang memiliki latar belakang praktisi sebelum memasuki akademis tidak banyak berurusan dengan buku-buku yang berkaitan dengan penciptaan. Kesenjangan yang paling mencolok adalah riset membuat lembaga budaya berinisiatif melakukannya melalui penciptaan – atau yang disebut dengan practice-led research


Nimkulrat menjelaskan practice-led research adalah riset melalui penciptaan, riset yang mengarah pada penciptaan, riset yang berorientasi pada penciptaan, dan riset yang berorientasi studio (Guntur 2023, 21). Pertanyaan mendasarnya adalah apa perbedaan antara practice as research dan practice-led research? Sebelum menjawab hal tersebut, hal yang perlu digarisbawahi sejak awal adalah bahwa suatu heterodoks cenderung tidak memiliki batasan yang jelas dan selalu menjadi bahan perdebatan antara satu sama lain. 


Hal paling penting digarisbawahi adalah latar belakang ketua lembaga budaya ini dalam menerapkan metode riset artistik, bertolak dari mereka yang tidak dibentuk oleh lingkungan akademis seni dengan segala keterbatasan dan pengetahuannya. Mereka bukanlah seniman yang melanjutkan studi akademis di bidang seni. Menurut Haseman, practice-led research adalah riset yang dimulai dalam penciptaan untuk mengetahui lebih lanjut tentang kesenjangan atau “kegagalan” dalam riset, di mana pertanyaan, permasalahan, tantangan diidentifikasi, dan dibentuk oleh kebutuhan penciptaan dan praktisi; kedua, strategi riset dilakukan melalui penciptaan, terutama dengan menggunakan metodologi seperti akademis dan metode tertentu yang familiar bagi praktisi (Guntur 2023, 21). 


Motif dasar metode riset artistik semacam ini, yaitu kesadaran akan “kegagalan” riset terhadap tema yang dibicarakan, membuat praktisi mengambil peran sebagai periset secara langsung melalui penciptaannya—kemudian dijalin dengan studio-based research, di mana Border Crossing Space Burneh sebelumnya sering menyebut kerja studio, karena keduanya dipahami oleh lembaga budaya tersebut sebagai bagian dari practice as research. Sedangkan kedua metode riset artistik tersebut lebih spesifik isinya dibandingkan practice as research


Hal-hal specific yang dimaksud berkaitan dengan pertanyaan, permasalahan, dan apa yang diidentifikasi seperti seorang periset murni dalam mengurai “kegagalan” risetnya atau seorang akademisi berbasis praktik “hendak” mengurai ulang “kegagalan” pertunjukan-pertunjukan koleganya dalam ranah akademisi maupun praktisi—dan sangat memungkinkan praktisi tersebut untuk lebih cepat ‘memapankan’ dirinya di kalangan mereka dibandingkan dengan praktisi lain yang tidak segera menyadari “kegagalan” penciptaan. 


Selain itu, pada prinsipnya lebih bersifat spekulatif dibandingkan practice as research, dalam melaksanakan kerjasama dengan bidang lain—terutama kajian-kajian yang tidak banyak diketahui oleh banyak orang di lingkungannya, sepanjang masih saling menguntungkan untuk memberikan pemahaman yang lebih terbuka dan luas dengan berbagai macam lembaga, terutama dengan lembaga yang sudah ‘mapan’ untuk saling memanfaatkan. Kerja spekulatif mereka sangatlah kuat sebagai dasar pertunjukan eksperimen dalam praktik riset. 


Kerja spekulatif yang berada di antara penciptaan dan riset, ditempuh Border Crossing Space Burneh dalam penciptaan ini melalui kerjasama dengan banyak bidang, tidak termasuk dengan melibatkan periset murni untuk melakukan penciptaan, yang disadari tidak mungkin dilakukan. Partisipasi merupakan suatu pilihan yang dianggap lebih relevan  dengan karakter ketua lembaga, meskipun bidang disiplin lain tetap ditekuni sendiri tanpa melibatkan orang lain, seperti ketidaksadaran kolektif dan postcolonial—yang merupakan ranah psikoanalisis, tanpa ada kaitannya dengan kerja kolaboratif secara langsung (yang lebih cenderung dipraktikkan dengan metode practice-led research), kecuali kehadiran mereka (undangan lintas disiplin) didudukkan sebagai partisipan.


Subjek seorang praktisi dalam practice-led research tampaknya bergeser seperti periset murni melalui kerja kolaboratif dengan periset lain yang muncul dari disiplin riset tradisional dan konvensional untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan teori baru yang berasal dari praktik mereka (Guntur 2023, 22). Metode ini berafiliasi dengan practice as research yang tumpang tindih dengan studio-based research.

 

Tumpang tindih dalam upaya pengetahuan yang heteredoks, merupakan hal lumrah untuk menghasilkan luaran riset yang dapat ditelusuri “kegagalan” riset sebelumnya, serta proyeksi praktisi yang berbeda dalam riset dilanjutkan dengan penulisan hasil riset layaknya seorang akademisi, menjadi perluasan dari riset. 


Kreativitas dari praktisi bercampur dengan konseptualisasi dan teorisasi dapat muncul sebagai refleksi yang dilakukannya. Tepatnya, menghasilkan suatu bentuk pengetahuan artistik yang cair dengan keunggulan yang dapat didokumentasikan, diteorikan, dan digeneralisasikan sebagai “kehendak”, serta mempunyai daya juang yang besar dalam membuat perbedaan dengan praktisi atau periset lain yang karyanya dipandang sebagai bentuk riset atau diteorikan sebagai pertunjukan (Guntur 2023, 23). 


Istilah “kehendak” di atas lebih besar—dalam practice-led research dibandingkan practice as research, namun dalam karya ini “kehendak” tersebut cukup dapat dikomunikasikan, baik dari muatan kognitif maupun kajian yang dipilih dalam produksi artistik yang menciptakan saling berkelindan antarmetode. Suatu metode antara satu dengan yang lain dalam melihat perkembangan ilmu pengetahuan disiplin lainnya dan perkembangan pertunjukan sebagai ilmu pengetahuan.


Practice as Research berkelindan dengan Studio-Based Research


Salah satu partisipan berargumentasi dalam pertunjukan (Dok. Hoirul Hafifi)

Border Crossing Space Burneh berpendapat tidak semua eksperimen atau penemuan merupakan riset, karena eksperimen yang dimaksud bersifat paradigmatik dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, merekaa sengaja mencari pengetahuan tentang kajian ketidaksadaran kolektif dan postcolonial dengan mendudukkannya dalam penciptaan; practice as research. 


Border Crossing Space Burneh dalam kehidupan sehari-hari bukanlah seorang sejarawan yang berkonsentrasi pada sistem colonialism atau seorang psikiater/psikolog, diperlukan upaya agar mendekati riset ilmiah yang sama dilakukan oleh mereka, meskipun memiliki konsepsi berbeda dalam memandang ilmu pengetahuan, namun ada sesuatu yang samar-samar secara umum. Harus dibawa untuk dihubungkan dengan riset ilmiah, as a noble epistemological ideal, namely the search for truth or the search for objective knowledge (lih. Estelle Barrett, dan Barbara Bolt, ed. 2007, 103: Practice as Research Approaches to Creative Arts Enquiry.  London dan New York: I.B. Tauris & Co Ltd.), seperti halnya mereka menjalankan praktik kerja sehari-hari di ruang masing-masing. 


Teori tentang riset adalah relasi antara kedua aspek tersebut. Bagaimana menghubungkan praktik sehari-hari para sejarawan dan psikiater dengan cita-cita epistemologis? Mereka mencoba mencari tahu kebenaran tentang trauma melalui kedua riset kajian yang belum pernah dieksplorasi secara mendalam untuk mengikuti aturan-aturan tertentu dengan berkonsentrasi penuh pada kajian yang ditelusuri. 


Bertolak dari aturan tersebut, mereka dengan sadar menerima tantangan dirinya untuk terus berelasi dengan perempuan gidher—yang disadari sejak pertemuan pertama merasa terganggu dan diyakini akan menimbulkan masalah. Pendekatan ini diibaratkan seorang psikiater yang menangani pasien gangguan jiwa melalui perilaku banal, berorientasi pada ego, dan materialistis yang dekat dengan tindakan kriminal seperti penipuan. Di sisi lain, lembaga budaya terus berupaya bagaimana untuk meningkatkan pengetahuan objektif – sebagai tujuan umum riset ilmiah? 


Border Crossing Space Burneh dalam posisi menatang diri yang sedang menempuh studi akademis, dapat mengklaim ini adalah bagian dari kerja studionya, melalui sang ketua sebagai seorang dramaturg; proses penciptaan dan latihan kreatif seperti yang disebutkan oleh Sullivan, dalam praktik profesional seni dan desain serta riset pedagogi yang mengkaji aktivitas studi para seniman (Guntur 2023, 27), dan ketiga perempuan gidher dalam kerja studio tersebut secara tidak sadar masuk ke dalam praktik profesional seni dan desain serta riset, yang merupakan sistem kolektif.


Practice as research; secara umum tidak dilakukan dengan beban layaklah ahli teori tertentu seperti studio-based research yang disebutkan oleh Sullivan yang sejak awal sudah dibekali teori dan praktik, seniman-teoretikus adalah praktisi yang menjadi locus of action (Guntur 2023, 27) dalam mendistribusikan dan mensirkulasikan gagasan-gagasan yang terkonfirmasi, meskipun tidak bersifat statis. Dengan kata lain, bukan teori yang tidak bisa diganggu gugat, justru sangat terbuka terhadap intervensi dalam mengidentifikasi serangkaian faktor kognitif dan kontekstual terkait strategi menantang diri sendiri untuk memasuki ranah rawan kekerasan sebagai akar permasalahan trauma. 

 

Informasi tentang gambaran sang ketua lembaga budaya ini sebagai praktisi dalam practice as research bukanlah suatu keharusan seperti halnya ilmuwan mengiklankan apa yang baik dari dirinya ketika bekerja. Jika seseorang mengambil sudut pandang ini dalam memandang riset, dengan memusatkan perhatian pada sirkulasi, maka apa pun yang tidak tersirkulasi tidak dianggap sebagai riset. Jika seseorang tidak mempublikasikan hasilnya, mereka berada di luar sistem riset. 


Karya ini dilakukan dalam practice as research berkelindan dengan studio-based research bermula dari pertunjukan itu sendiri melalui tindakan yang dilakukannya—dapat terus dilacak dan direvisi seiring dengan perkembangan kerja studio melalui buku esai yang diriset. 


Buku esai yang didistribusikan dan disirkulasikan kepada khalayak luas, baik melalui diskusi terbuka maupun soft file, secara tidak langsung merupakan bagian dari studio-based research—termasuk membuka diri secara luas tentang argumentasi nilai dari hasil riset yang dilakukan—juga seperti apa yang dilakukan dalam konsep kerja diskusi performatif; secara tidak langsung menginformasikan karya tersebut merujuk pada kinerja (Guntur 2023, 27) yang menjadi keseluruhan sistem sosial tentang riset ilmiah. 


Hal lain yang dapat dikatakan berkelindan dalam karya ini adalah antara practice as research dan studio-based research; mereka sangat terbuka dalam memaparkan karya karena kurangnya pemahaman tentang kondisi apa yang dilakukan “di sini dan kini”, serta mencari tahu bagaimana cara mendistribusikan dan mensirkulasikan pertunjukan itu sendiri, serta menganalisis kinerjanya sendiri. Di sisi lain, lembaga budaya tersebut ingin berkontribusi terhadap cita-cita objektif atas gugatan trauma, cukup menjadi masalah jika terus diupayakan dalam studio-based research, yang dikesampingkan dalam practice as research; karena setiap riset yang dipelajari adalah tidak perlu dijelaskan secara detail layaknya riset tradisional, di mana kerja studio diharuskan menghasilkan gambar dari senimannya sendiri. 


Perbedaan yang lebih longgar dalam practice as research; objektivitas yang sejak awal ibarat cita-cita luhur sangat diragukan sistem operasinya, apalagi berpotensi melihat perkembangan ilmu pengetahuan yang berbeda, from a creation as a representation and flow of thought of an artist who is not easily satisfied (Barrett & Bolt 2007, 103) yang dipaksa untuk berpikir keras terhadap karya itu sendiri untuk perbaikan, di mana studio-based research menjadi suatu keharusan dan terkesan mutlak, yang terus diupayakan oleh lembaga budaya yang dimaksud.


Practice as Research berkelindan dengan Riset Penciptaan; Penyelidikan Kritis; Refleksi Penciptaan


Kerja studio Border Crossing Space Burneh bersama videografer di rumah migrasi kedua (Dok. Hoirul Hafifi)

Metode riset artistik umumnya bekerja antara penciptaan dan penalaran tentang apa yang diciptakan; relasi antara produksi dan kritik terhadap apa yang dihasilkan harus selalu bergerak dinamis dalam rangka memperoleh ilmu dari disiplin lain atau perbandingan dengan banyak hal sehingga dapat memperluas pemahaman dan pada dasarnya semakin beragam di masa depan. 


Practice as research, dalam memperluas ilmu pengetahuan, tidak diharuskan mempunyai bukti-bukti atau data-data yang telah dikumpulkan secara rinci—menunjukkan bahwa metode ini sangat fleksibel dan sesuai dengan keterbatasan kapasitas mereka– sedangkan riset penciptaan; penyelidikan kritis; refleksi penciptaan adalah kerja investigasi sistematis yang disertai pengumpulan data atau bukti autentik ke dalam pertunjukan (Guntur 2023, 28). 


Hal unik lainnya dalam riset artistik, sehubungan dengan practice as research; apa yang dilakukan sebagai pengungkapan kemungkinan-kemungkinan telah tertanam di dalamnya tentang pengetahuan mendasar lainnya, namun merupakan rangkaian peristiwa kontingen yang polanya sangat sulit ditemukan. Karena peristiwa-peristiwa ini tidak mungkin direduksi menjadi pola atau aturan sederhana.


Metode riset artistik adalah semacam solusi untuk menghasilkan penjelasan berbeda atas banyak “kegagalan”. Ada hal yang bersifat mutlak untuk dilakukan intervensi, ada juga hal yang tidak bersifat mutlak, seperti halnya dalam practice as research, sangat mengadaptasi dari seniman-periset yang memasukkan pertimbangan ilmu lain sebagai instrumen tertentu, sedangkan intervensi merupakan suatu hal yang bersifat mutlak dalam riset penciptaan; penyelidikan kritis; refleksi penciptaan, sebagai kerangka kerja untuk menyelidiki bagaimana praktik dapat ditingkatkan melalui perbaikan. Tujuannya tidak lain untuk menghasilkan kontribusi langsung terhadap kemajuan yang relevan dalam penciptaan (Guntur 2023, 28). 


Perbedaan-perbedaan di atas melengkapi satu perbedaan lainnya; practice as research tidak mengutamakan hasil riset yang diperoleh dalam penciptaan; not used directly to improve practice and observe creation more legible than before (Barrett & Bolt 2007, 103) yang seolah-olah menjadi hal mutlak dalam riset penciptaan; penyelidikan kritis; refleksi penciptaan, untuk menghindari opini pribadi—yang justru sebaliknya dalam practice as research bersifat subjektivitas, karena pada dasarnya yang dituju adalah pengembangan konseptual dari penciptaan yang dilakukan (Guntur 2023, 28). 


Ketiga perbedaan atas kerja-kerja tersebut, sesungguhnya belum tentu berbeda secara signfikan membuat Border Crossing Space Burneh dalam penciptaan ini  dilakukan secara ulang-alik, di ambang batas, di antara keduanya; adanya data yang telah dikumpulkan, kerangka untuk menyelidiki bagaimana praktik dapat ditingkatkan, hasil riset yang diperoleh digunakan langsung untuk meningkatkan penciptaan, di mana lembaga budaya memahami keseluruhan metode riset artistik semacam sinyal yang menegaskan bahwa seni adalah sebuah ilmu yang ditelusuri dari ilmu-ilmu lain—khususnya dimaksud pada faktor estetika yang mempunyai peranan penting dalam ilmu pengetahuan baik pembentukan riset maupun penilaian hasil riset. 


Kriteria estetika memainkan: important role along with logical and empirical criteria in the evaluation of scientific theories and hypotheses (Barrett & Bolt 2007, 103). Pernyataan tersebut sejalan dengan pemahaman lembaga budaya ini bahwa banyak ilmuwan yang menerapkan kriteria logis dan empiris kemudian menunjukkan bahwa suatu teori tertentu konsisten secara logika, disertai dengan argumen—yang sering kali tidak masuk akal ketika mereka berargumentasi, dengan menerapkan kriteria estetis, namun dalam bentuk firasat, terkadang hanya disebut selera estetika para ilmuwan.


Apa yang dilakukan para ilmuwan ini adalah bagian dari penciptaan, yang menurut Niedderer dan Roworth-Stokes merupakan akar dari riset penciptaan; penyelidikan kritis; refleksi penciptaan, tidak lain adalah hasil penciptaan atau karya atau pertunjukan itu sendiri yang harus divalidasi melalui hasil risetnya sendiri (Guntur 2023, 28) untuk menekankan gagasan bahwa pertunjukan atau seni adalah ilmu, validasi hasil didasarkan pada argumen. 


Seniman selalu harus mempunyai argumen untuk menerima atau menolak suatu teori, seperti halnya seorang ilmuwan. Practice as research merupakan suatu bentuk pemberian nalar kritis bahwa pertunjukan, dalam konteks tertentu yang disebut seni, bukanlah soal menyukai atau tidak menyukai sesuatu, melainkan bagaimana menyelidiki keabsahan teori-teori ilmiah secara maksimal dengan memperhatikan faktor-faktor estetis dengan tercapainya tujuan demi lahirnya teori konseptual. 


Pengetahuan lain yang berkaitan dengan teori ilmiah digunakan dalam metode riset artistik, terutama dalam practice as research secara fleksibel untuk menghasilkan argumen terkait penggunaan estetika dalam penciptaan. Lembaga budaya ini menghubungkan dengan riset penciptaan; penyelidikan kritis; refleksi penciptaan, karena bersinggungan dengan practice-based research dan studio-based research, jika bertanya pada diri sendiri, mereka benar-benar yakin bahwa semua argumen para ahli teori menunjuk pada disiplin ilmu lain yang belum selesai dieksplorasi. 


Practice as research memberikan kelonggaran lain tentang suka dan tidak suka, cukup dengan mengatakan: Disliking a theory for the arguments put forward is not disliking a show (Barrett & Bolt 2007, 104). Validitas argumen tertentu didukung teori merupakan ciri umum practice as research yang juga dianut oleh metode riset artistik lainnya, namun lebih cair dalam kaitannya antara sains dan seni, di mana ketidaksukaan tersebut juga disertai dengan anti tesis dari teori yang dimaksudkan untuk mengungkapkan sejauh mana preferensi dan validasi masih bisa diperdebatkan. 


Preferensi dan validasi dalam practice as research juga bersifat fleksibel tentang penciptaan atau karya seni secara umum yang memuat pengetahuan tentang dunia. Pada beberapa karya lain yang menggunakan practice as research, terjadinya kekaburan antara sains dan seni jauh lebih cair, bahkan bisa dikatakan melampaui batas antara keduanya: ilustrasi karya anatomi, botani, dan astronomi—yaitu berkelindan dengan metode riset artistik lainnya, khususnya riset penciptaan; penyelidikan kritis; refleksi penciptaan, klaim pengetahuan secara rinci diuraikan poin demi poin, yang dalam karya ini secara samar ditunjukkan guna memperkuat semua argumentasi yang dibangun selama melangsungkan kerja studio.

Ads