Advertisement
Pentas tari Calon Arang (foto. indonesiakaya.com) |
Pernyataan Presiden Republik Indonesia terpilih, Prabowo Subianto, dalam penutupan Kongres PAN ke-VI, di Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, Sabtu (24/8/2024) malam, karuan saja menyengat pihak-pihak yang “gila” kekuasaan. Dikatakannya bahwa ada pihak yang terlalu haus dengan kekuasaan. Sehingga menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara yang tidak semestinya.
Dalam konteks politik kontemporer, peringatan tersebut sangat relevan, mengingat bahwa kekuasaan yang dipegang tanpa pertimbangan moral dan etika dapat dengan mudah berubah menjadi alat penindasan dan korupsi.
Kecemasan semacam itu sebenarnya bukanlah perkara baru; ia merupakan refleksi dari tantangan yang telah lama ada dalam sejarah manusia, sebagaimana tergambar dalam mitologi-mitologi besar dari berbagai budaya, termasuk Nusantara dan Yunani.
Melalui mitologi ini, kita dapat memahami lebih dalam bagaimana kekuasaan, ambisi, dan kontrol telah menjadi tema sentral yang melampaui batas waktu dan budaya.
Salah Menggunakan Kekuasaan
Telisiklah pada mitologi Nusantara kerap memberikan banyak contoh di mana kekuasaan yang tidak terkendali mengarah pada kehancuran. Salah satu kisah yang relevan adalah cerita tentang Calon Arang, seorang dukun sakti dari Bali.
Calon Arang menggunakan kekuatannya untuk menciptakan teror karena merasa tidak dihormati oleh masyarakat. Kekuasaan yang dimiliki Calon Arang, yang seharusnya digunakan untuk kebaikan, malah berubah menjadi alat balas dendam pribadi yang berujung pada penderitaan rakyat.
Ketika akhirnya kekuasaannya dihancurkan oleh Mpu Bharadah, cerita ini pun mengajarkan bahwa kekuasaan yang digunakan untuk kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan kesejahteraan umum akan membawa kehancuran bagi semua pihak yang terlibat.
Dalam konteks pernyataan Presiden Republik Indonesia terpilih, Prabowo Subianto, maka cerita Calon Arang memberikan refleksi mendalam tentang bahaya kekuasaan yang dikejar untuk tujuan yang tidak selaras dengan kepentingan rakyat.
Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kekuasaan yang "dibeli" atau dimanipulasi oleh ambisi pribadi atau kekuatan eksternal. Ini sangat relevan dengan pesan dari kisah Calon Arang, di mana kekuasaan yang tidak diarahkan pada kebaikan bersama berujung pada ketidakstabilan dan penderitaan.
Maka pernyataan Prabowo menggarisbawahi pentingnya kepemimpinan yang berakar pada moralitas dan integritas, sebagai fondasi untuk menciptakan stabilitas dan kesejahteraan bagi rakyat.
Kisah Calon Arang bukan hanya sebuah mitos, melainkan sebuah peringatan yang terus relevan dalam konteks politik modern. Ia mengingatkan kita bahwa kekuasaan yang tidak dilandasi moralitas akan membawa kehancuran, baik bagi pemimpin maupun masyarakat yang dipimpinnya.
Oleh karena itu, kepemimpinan harus selalu berorientasi pada kebaikan bersama, dengan menempatkan integritas dan moralitas di atas ambisi pribadi. Hanya dengan cara ini, kekuasaan dapat menjadi kekuatan yang konstruktif dan bukan destruktif, yang memajukan kesejahteraan rakyat dan menjaga stabilitas bangsa.
Pentingnya Menjalankan Kekuasaan
Sementara itu dalam mitologi Yunani, tema serupa muncul dalam kisah “Oedipus” dan tragedi “Troy”. Oedipus, yang tanpa sadar membunuh ayahnya dan menikahi ibunya, menjadi simbol ambisi manusia yang mencoba melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh para dewa. Ambisinya, meskipun awalnya didorong oleh niat baik untuk menghindari takdir, akhirnya membawa kehancuran bagi dirinya dan rakyatnya.
Maka kisah “Troy” ini menunjukkan bagaimana kekuasaan yang diatur oleh kekuatan eksternal, seperti kecerdikan bangsa Yunani dalam menciptakan kuda Troya, dapat mengakibatkan kehancuran total. Kedua kisah ini menggambarkan bahwa kekuasaan yang dikejar atau dikendalikan tanpa kebijaksanaan dan integritas moral akan selalu berakhir dengan malapetaka.
Ketika kita mengaitkan pernyataan Prabowo dengan mitologi Nusantara dan Yunani ini, kita melihat bahwa kekuasaan, ambisi, dan kontrol telah menjadi tema universal yang terus relevan sepanjang sejarah.
Baik dalam konteks mitologis maupun dalam kenyataan politik modern, kekuasaan yang tidak diimbangi dengan tanggung jawab moral akan membawa bahaya besar, tidak hanya bagi pemegang kekuasaan tetapi juga bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Dengan demikian, kekhawatiran Prabowo mengingatkan kita pada pentingnya kebijaksanaan dalam menjalankan kekuasaan. Seperti yang diajarkan –antara lain-- oleh mitologi-mitologi besar tersebut, kekuasaan yang dikejar demi ambisi pribadi atau dipengaruhi oleh kekuatan eksternal tanpa memperhatikan kepentingan rakyat hanya akan membawa kehancuran.
Pelajaran dari masa lalu ini sangat penting bagi para pemimpin di masa kini. Tentu saja untuk memastikan bahwa kekuasaan digunakan sebagai alat untuk kebaikan bersama, bukan sebagai sarana untuk memenuhi ambisi pribadi atau kelompok.
Dengan memegang teguh prinsip-prinsip moral dan etika, para pemimpin dapat memastikan bahwa kekuasaan mereka menjadi kekuatan yang memajukan, bukan menghancurkan, masyarakat yang mereka pimpin.
Refleksi Mitologi Nusantara dan Yunani
Lebih lanjut ketika kita menganalisis pernyataan Presiden Republik Indonesia terpilih, Prabowo Subianto, melalui lensa mitologi Nusantara dan Yunani, kita menemukan bahwa kekuasaan telah lama dianggap sebagai pedang bermata dua.
Dalam kedua tradisi mitologi ini, kekuasaan yang dikejar demi ambisi pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat hampir selalu berakhir dengan kehancuran. Hal ini terlihat jelas dalam kisah Calon Arang dari mitologi Nusantara dan tragedi Oedipus dari mitologi Yunani.
Kedua kisah tersebut mengajarkan bahwa kekuasaan yang tidak dilandasi oleh kebijaksanaan, moralitas, dan orientasi pada kebaikan bersama akan membawa malapetaka, baik bagi pemimpin maupun masyarakat yang dipimpinnya.
Dalam refleksi ini, kita melihat betapa relevannya kisah-kisah mitologis dalam memahami tantangan politik kontemporer. Prabowo, dalam pernyataannya, mengingatkan tentang bahaya kekuasaan yang dikendalikan oleh kekuatan eksternal atau yang dikejar demi ambisi pribadi.
Jelaslah ini sangat selaras dengan pesan yang ditemukan dalam mitologi, dimana kekuasaan yang tidak dipegang dengan bijaksana selalu berakhir dengan kehancuran. Dalam konteks politik modern, di mana pengaruh eksternal sering kali berusaha untuk mengarahkan jalannya kekuasaan, maka penting bagi para pemimpin untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip moral dan etika.
Pernyataan Prabowo juga dapat dilihat sebagai panggilan untuk kembali mengingat pelajaran dari masa lalu, khususnya dari kisah-kisah mitologis. Bahwa kekuasaan bukanlah tujuan akhir, tetapi alat yang harus digunakan dengan tanggung jawab besar.
Pemimpin Bijak Mempertimbangkan Dampak
Ada yang bisa dipetik keteladanan dari Presiden Republik Indonesia terpilih, Prabowo Subianto, bahwa pemimpin yang baik harus selalu mempertimbangkan dampak dari setiap tindakannya, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk rakyat yang dipimpinnya.
Dengan demikian, moralitas dan kebijaksanaan menjadi pilar utama dalam memegang kekuasaan, demi menghindari kejatuhan yang telah dialami oleh banyak tokoh dalam mitologi. Dalam mitologi Nusantara, contohnya adalah kisah tentang Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran, yang dikenal dengan kebijaksanaan dan kepemimpinannya yang adil.
Menurut legenda, Prabu Siliwangi menghadapi banyak tantangan dalam memimpin kerajaannya. Salah satu cerita terkenal adalah bagaimana ia harus menghadapi ancaman dari musuh serta menjaga kesejahteraan rakyatnya. Prabu Siliwangi selalu mempertimbangkan dampak dari keputusan yang diambilnya, berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan negara dan rakyat.
Dengan kebijaksanaan dan moralitasnya, ia mampu menjaga stabilitas dan kesejahteraan kerajaannya. Kisah ini mengajarkan bahwa pemimpin yang baik harus mampu memikirkan dampak jangka panjang dari tindakan mereka, bukan hanya keuntungan sesaat.
Di sisi lain, mitologi Yunani juga menyajikan banyak contoh pemimpin yang mengalami kejatuhan karena gagal mempertimbangkan dampak dari tindakan mereka. Salah satu contohnya adalah Raja Midas, yang terkenal dengan kisah "Sentuhan Midas".
Raja Midas menginginkan kemampuan untuk mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Meskipun tampaknya sebagai berkah, keinginan ini akhirnya menjadi kutukan. Semua yang disentuhnya, termasuk makanan dan bahkan anak perempuannya, berubah menjadi emas, menyebabkan kelaparan dan kesedihan.
Kisah Raja Midas menggambarkan betapa pentingnya bagi seorang pemimpin untuk mempertimbangkan dampak dari permintaan dan keinginannya. Moral dari kisah ini adalah bahwa kekuasaan yang tidak bijaksana dapat berakibat buruk bagi diri sendiri dan orang lain.
Dalam perspektif politik kontemporer, pernyataan Presiden Republik Indonesia terpilih, Prabowo Subianto, juga mencerminkan pentingnya moralitas dan kebijaksanaan dalam kepemimpinan.
Kisah-kisah dari mitologi Nusantara dan Yunani soal kekuasaan dan kepemimpinan itu, mengajarkan bahwa moralitas dan kebijaksanaan adalah aspek krusial dalam keteladanan kepemimpinan yang efektif.
Pemimpin yang mampu mempertimbangkan dampak dari setiap tindakannya, secara bijaksana dan adil, akan lebih mampu menjaga kestabilan dan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya, sekaligus menghindari kejatuhan yang telah dialami oleh banyak tokoh dalam sejarah dan mitologi.***
* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).