Bali: Kemerdekaan, Baliseering, dan Tameng Invansi Religi -->
close
Pojok Seni
17 August 2024, 8/17/2024 11:11:00 PM WIB
Terbaru 2024-08-17T16:11:18Z
ArtikelBudaya

Bali: Kemerdekaan, Baliseering, dan Tameng Invansi Religi

Advertisement

Baliseering dan tameng invansi religi


Oleh: Adhyra Irianto


Pojok Seni - Bali adalah destinasi wisata favorit di dunia. Bahkan, Bali lebih terkenal dari Republik Indonesia itu sendiri. Total penghasilan dari pajak dan pariwisata dari pulau dewata adalah lebih dari US$ 20 Miliar per tahun, hanya kalah dengan Migas. Jauh lebih besar dari devisa negara dari ekspor nikel, tembaga, dan sebagainya. 


Bayangkan saja, dari total 11 juta wisatawan ke Indonesia pada 2019, lebih dari 6,23 juta di antaranya berkunjung ke Bali. Target 14,3 juta kunjungan turis ke Indonesia tahun 2024, dan 7 juta di antaranya berkunjung ke Bali. 


Banyak daerah yang mencoba untuk meniru keberhasilan Bali. Tapi, ada dua hal yang harus disadari yang membuat pulau lain tidak bisa menjadi seperti Bali. Dan, keduanya terkait dengan "penjajahan" yang terjadi dulu dan 'sekarang' tanpa disadari. 


Meski kedua hal ini pahit untuk dikatakan, tapi dua hal inilah yang menjadikan bali menjadi seperti saat ini. Apa saja dua hal tersebut.


Baliseering (Balinisasi) tahun 1920


Tahun 1864, Belanda mencoba menguasai Bali dengan menggelar kampanye militer besar-besaran. Bali mencoba melakukan pertahanan semaksimal mungkin, yang menyulitkan Belanda. Karena itu, perang berdarah di tanah Dewata dimulai dan semakin meruncing di tahun 1900-an.


Kerajaan-kerajaan yang ada di Bali melakukan perlawanan habis-habisan, yang dikenal dengan istilah "puputan" (post vactum). Perang puputan adalah perang yang dilakukan sampai titik darah penghabisan. Tidak ada kata menyerah, meski menyerang secara sporadis dan mengorbankan banyak nyawa. Mati atau menang, hanya itu pilihan dalam puputan. 


Tiga puputan yang paling besar dan menyulitkan Belanda adalah Puputan Buleleng, Puputan Badung, dan Puputan Klungkung. Tiga puputan tersebut, berakhir dengan selesainya Puputan Klungkung yang menewaskan Raja Ida Dewa Agung Jambe tahun 1908. Raja Klungkung beserta keluarga, prajurit kerajaan, hingga seluruh rakyat, melakukan perang habis-habisan hingga gugur seluruhnya.


Genosida yang dilakukan Belanda di Bali membuat mereka merasa bersalah. Di sisi lain, Belanda melihat eksotisnya budaya Nusantara hanya tertinggal di Bali. Keindahan budaya lokal Nusantara yang tadinya ada di Majapahit, saat ini telah menghilang karena pengaruh invansi agama Abrahamik (Islam & Kristen). 


Belanda akhirnya melakukan Baliseering (Balinisasi) di pulau Dewata untuk menjaga konservatisme budaya Bali dengan sangat ketat. Meski sedikit "kebobolan" tapi Belanda menjaga penuh Bali dari proses Islamisasi dari Jawa (Kerajaan Demak) dan Kristenisasi dari missionaris barat. Kepercayaan Hindu khas Bali juga ikut menjadi tameng pelindung konservatisme budaya Bali dari serangan "invansi" kultural dari luar sampai hari ini. 


Tanpa Baliseering, Bali kemungkinan besar akan menjadi "pulau biasa". Semua kebudayaan pribumi akan segera dihancurkan karena "musyrik". Kebudayaan pribumi yang "bertentangan dengan akar tauhid" akan dihapuskan. Dan apa yang tersisa di Bali hanyalah hal-hal biasa yang bisa ditemukan di pulau lainnya. Apalagi, Bali tidak punya tambang dan hal lain yang bisa dijual seperti pulau lain. Apa yang terjadi pada Bali? Kemungkinan akan menjadi pulau yang miskin, atau mungkin jadi daerah tertinggal. 


Daya tarik kebudayaan Bali semuanya bernafaskan "Hindu" yang tersinkretisasi dengan budaya lokal. Itu daya tarik Bali yang mendatangkan 6,23 juta wisatawan ke Indonesia, dari total 11 juta. Memberikan penghasilan terbesar kedua setelah Migas untuk Indonesia, yang akhirnya dipakai untuk membangun seluruh Indonesia (bukan hanya Bali), termasuk jalan raya di depan rumahmu.


Bertahan dari Invansi Kultural dan Religi


Perlu diketahui bahwa "Hindu" yang ada di Bali itu bukanlah Hindu yang sebenarnya, seperti di India. Agama yang dipercaya oleh orang Bali adalah ajaran lokal seperti Sunda Wiwitan di Sunda, Kejawen di Jawa, Kaharingan di Dayak, dan sebagainya. Agama lokal di Bali sering disebut "Tirta". Kemudian, kepercayaan pribumi inilah yang "di-Hindu-kan" menjadi Agama Tirta Bali seperti yang kita kenal saat ini. 


Hindu sebenarnya juga bukan sebuah agama. Tapi, diperlukan standar agama (ala Abrahamik) sehingga Hindu dan Buddha yang tadinya adalah filosofi hidup, dibakukan menjadi sebuah agama. Lengkap dengan kitab suci, tempat ibadah, praktik ibadah yang periodik, dan sebagainya.


Pasca kemerdekaan RI tahun 1945, maka agama yang diakui negara hanya ada dua yakni Islam dan Kristen (dua-duanya Abrahamik). Karena itu, Hindu dan Buddha yang ada di Indonesia segera melakukan perlindungan dengan mempelajari bagaimana cara "membakukan" agama Hindu di India, yang kemudian ditiru di Indonesia.


Sat itu, lantunan doa suci Hindu Bali seperti Puja Tri Sandya, disusun pasca kemerdekaan RI. Mantra-mantra dalam Veda, baik dalam RegVeda, Upanisad, dan teks agama lainnya, direkam dan disebarkan ke masyarakat. Percayakah Anda, semua itu baru dimulai pada tahun 1950-an. Pribumi Bali yang sebelumnya memegang daun lontar berisi "informasi" kegiatan agama dan ibadah, sekarang disatukan. Berikutnya RegVeda, Upanisad, Bhagavad Gita, dan kitab suci Hindu lainnya segera didatangkan dari India dan diterjemahkan ke Bahasa Bali.


Tahun 1980-an dilakukan standarisasi busana adat sembahyang, yakni menggunakan ikat kepala dan dominasi warna putih. Apa tujuan standarisasi ini? Yah untuk mengukuhkan Hindu sebagai agama, sehingga tidak bisa dihapuskan oleh pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan.


Invansi kebudayaan dan religi dimulai dari ketika Majapahit runtuh, dan Demak berdiri menjadi sebuah negara yang kuat. Utusan Demak datang ke Bali untuk mengislamkan Bali. Belanda dengan Baliseering, serta raja-raja Bali juga mencoba mempertahankan Bali dari invansi religi dan kultural.


Pemuda-pemuda Bali yang datang dari luar, karena belajar di Jawa, datang dengan semangat pembaharuan. Mereka datang dengan ide jabawangsa yang sebenarnya sangat bertentangan dengan ide konservatisme triwangsa yang dilakukan Belanda. Ideologi jabawangsa yang bernafas nasionalisme dan "penyeragaman" datang menyerang Bali, mulai dari fesyen, sampai pemikiran. Penutup kepala khas Bali ingin digantikan dengan peci yang lebih oriental. Apalagi, peci saat itu menjadi ciri khas Soekarno yang menjadi ikon perjuangan.


Maka Baliseering dianggap pembodohan, penguatan feodalisme, dan penghambat reformasi kebudayaan Bali. Mereka (para pemuda revolusioner) ini menganggap apa yang dilakukan Belanda adalah hal yang membuat Bali tetap mundur ke belakang, saat semua daerah lain di Nusantara perlahan berubah jadi lebih "modern".


Yah, Belanda pada hakikatnya ingin menjadikan Bali sebagai destinasi wisata dan menguntungkan mereka. Proyek ini dilabelkan pula pada budaya dan agama. Itu yang ditentang oleh para pemuda revolusioner yang mengharapkan Bali membuka pintu bagi perubahan.


Belanda bersikeras, kaum adat dan budayawan juga bersikeras menjaga Bali. Modernisasi mungkin terjadi, tapi tidak dengan invansi kultural dan religi. Hasilnya, Bali tetap menjadi seperti saat ini. 


Luis Copernicus mengatakan (dalam de Stille Kracht), di Bali, semuanya adalah seni. Namun ketika ia ke Surabaya, ia mengatakan semuanya adalah materialistik. Bali adalah syair, seperti syair lainnya di Asia yang penuh warna. Tapi, tidak dengan daerah lainnya di Indonesia.


Jadi bagaimana kita menyimpulkan perjalanan Bali ini sebagai kacamata kemerdekaan? Daerah lain, sudah terpapar modernisasi, invansi kultural, dan (yang paling kuat dampaknya) adalah invansi religi. Tentu saja ada banyak yang menolak, dan menyebut bahwa agamanya adalah agama paling damai di semesta. Tapi, apa yang mereka katakan pada Bali? Lihat screenshoot di bawah ini.



Di satu sisi, sisa-sisa kolonial berpengaruh baik bagi Bali. Maka, selamatlah Bali dari semua yang bisa merusak peradaban asli Nusantara yang masih ada di sana. Dan, beruntunglah Indonesia, setidaknya tidak berada di deretan bawah negara termiskin di dunia berkat Migas (penyumbang devisa nomor satu) dan Bali, serta rokok.


Selamat menikmati hari kemerdekaan Indonesia.


Ads