Advertisement
Keterangan foto: Pertunjukan dari Hujan Hijau Dance-Lab di Pekan Nan Tumpah 2019 (Sumber: nantumpah.org) |
Artikel ini ditulis sebagai sebuah komentar terhadap artikel jurnal berjudul: Performing arts and the art of performing – On co-construction of project work and professional identities in theatres*
Oleh: Adhyra Irianto
Dalam satu grup teater, siapa yang paling mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang seniman teater? Sutradara? Dramaturg? Aktor? Penata busana? Penata musik? Penata dekorasi dan properti? Penjaga tiket? Pembuat banner? Atau malah penontonnya?
Agar bisa lebih cepat menjawabnya, kita akan terbiasa menjawab; semua yang terlibat dengan produksi teater adalah seniman teater. Maka pertanyaan berikutnya, apakah orang-orang yang teridentifikasi sebagai seniman teater itu bisa berbicara tentang teater? Atau, apakah mereka akan peduli pada keberlangsungan hidup teater di masa kini hingga mendatang? Bagaimana bila mereka ternyata hanya terlibat dengan produksi teater dalam satu atau dua project saja?
Misalnya, seorang komposer dan pemusik. Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai seorang musisi alias seniman musik. Mereka mencintai musik sepenuh hati, membaca dan berlatih musik setiap hari. Lalu, suatu hari mereka dilibatkan pada produksi teater. Apakah serta merta mereka berubah menjadi seniman teater? Ataukah, mereka adalah pekerja seni yang sedang terlibat dalam sebuah pertunjukan teater.
Teater adalah bagian dari seni pertunjukan (performing art). Sedangkan, kerja kolektif dan kolaboratif dalam sebuah karya merupakan seni dari sebuah pertunjukan (art of performing). Bukankah, keduanya hal yang berbeda?
Karena itu, teater adalah kerja kolektif. Seorang tukang bangunan dan perkayuan, bisa saja terlibat dalam produksi teater menjadi penata dekorasi. Seorang musisi terlibat sebagai penata musik. Seorang penata rias terlibat, seorang desainer baju terlibat, juga seorang desainer grafis yang terlibat sebagai pembuat banner pertunjukan. Seorang yang biasa bekerja sebagai ahli kelistrikan juga bisa terlibat sebagai penata lampu. Dan seterusnya.
Lalu, kenapa identifikasi identitas ini menjadi penting dibicarakan?
Alasan pertama adalah karena ada sertifikasi profesi. Dalam teater, penata lampu juga tersertifikasi. Tidak sembarang orang bisa memasang dan melepaskan lampu. Juga tidak semua orang tahu perbedaan lampu PAR dengan lampu fresnel, misalnya. Salah-salah, justru bisa membahayakan nyawa seseorang ketika berurusan dengan lampu-lampu pertunjukan dengan tegangan listrik yang besar tersebut.
Alasan kedua, individu akan membangun citra diri mereka dalam konteks identitas profesional dalam tujuan dan visi tertentu. Maka, seorang penata dekorasi memiliki visi yang berbeda dengan seorang aktor. Penata dekorasi mungkin mendapatkan pekerjaan dan upah yang setimpal dengan apa yang ia kerjakan. Sedangkan aktor, ingin memperkenalkan dirinya dan kemampuannya pada publik.
Alasan ketiga, adanya persatuan yang mewadahi identitas profesional tertentu. Misalnya, adanya organisasi teater, di dalamnya para pecinta teater bersatu dengan satu visi tertentu. Tapi, pernahkah Anda menyadari, bahwa di dalamnya hanya ada tiga jenis identitas; penulis naskah, sutradara, dan aktor.
Dramaturg berikutnya akan mendirikan organisasi sendiri, begitu juga penata musik dan penata busana. Ada asosiasi komposer, ada juga asosiasi desainer fashion. Sedangkan di dalam asosiasi teater, ketiga profesi tadi; penulis naskah, sutradara, dan aktor akan bersatu dan membicarakan visi yang lebih tinggi. Mereka membicarakan, "bagaimana masa depan teater" alih-alih "bagaimana penyutradraan yang cocok di masa depan". Kenapa? Karena di dalamnya tidak hanya sutradara, tapi juga ada aktor, ada penulis naskah.
Kembali lagi di awal, mari kita rumuskan lagi teater sebagai sebuah kerja kolektif dan kolaboratif. Maka teater adalah karya kolektif dan karya kolaboratif. Musik yang ada di teater, itu bukan "hak milik" sutradara, sehingga sutradara tidak bisa menggunakan musik tersebut di karyanya yang lain tanpa seizin penata musik sebelumnya. Begitu juga desain pakaian yang ada di dalam pertunjukan itu. Karya busana yang ada di dalam satu pementasan tertentu adalah hak cipta dari penata busana. Begitu juga desain panggung, pencahayaan, dan sebagainya.
Memang betul semuanya ditujukan untuk mendukung visi sutradara. Tapi, bukan berarti semuanya milik sutradara. Nah, di mana para desainer ini berbicara dan saling sharing ilmu?
Seorang penata musik teater, akan sangat cocok berkumpul dengan para penata musik (meski bukan teater). Penata busana teater juga akan sangat cocok berkumpul dengan penata busana, meski bukan dari teater. Sutradara berkumpul dengan sutradara, aktor dengan aktor, penulis naskah dengan penulis naskah. Maka, sharing mereka tidak lagi berbicara tentang hal yang abstrak seperti "masa depan teater", "ekosistem berkelanjutan teater", dan sebagainya. Mereka akan berbicara ide, dan hal teknis, yang tentunya akan menambah wawasan bagi masing-masingnya. Ketika Anda berbicara dengan seorang yang memiliki passion yang sama, maka Anda akan saling charge wawasan.
Bukankah, hal itu yang paling dibutuhkan oleh insan pekerja seni hari ini? Akses terhadap ilmu pengetahuan seni yang seluas-luasnya?
* Lindgren, M dan Packendorff, J. 2007. Performing arts and the art of performing – On co-construction of project work and professional identities in theatres. International Journal of Project Management. Volume 25, Issue 4, May 2007, Pages 354-364