Dewan Kesenian: Antara Pembebasan Kreatif dan Jerat Birokrasi di Indonesia (Bagian II) -->
close
Pojok Seni
20 July 2024, 7/20/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-07-20T01:00:00Z
Artikel

Dewan Kesenian: Antara Pembebasan Kreatif dan Jerat Birokrasi di Indonesia (Bagian II)

Advertisement
Ilustrasi seni instalasi. (Foto Nur Athirah Hamzah //unspplash)



Oleh  Zackir L Makmur*



Di Indonesia, keberadaan asosiasi atau himpunan seniman yang kuat dan mandiri masih merupakan tantangan besar. Berbeda dengan profesi lain seperti dokter, wartawan, atau pengacara. Sebutlah pada profesi dokter, yang memiliki Ikatan Dokter Indonesia yang kuat, justru seniman di Indonesia sering kali tidak memiliki wadah yang sama untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka secara efektif. Asosiasi yang ada cenderung kurang memiliki kekuatan tawar-menawar dengan pemerintah atau industri, sehingga sering kali tidak mampu mengadvokasi kebutuhan penting bagi komunitas seniman.

Dari perspektif Dewan Kesenian, tantangan ini tidak hanya berakar pada kelemahan asosiasi seniman itu sendiri, tetapi juga pada dinamika internal dan eksternal yang dihadapi oleh dunia seni di Indonesia. Dewan Kesenian pada mulanya hadir karena melihat bahwa sering kali himpunan, ikatan, dan asosiasi seniman terjebak dalam permasalahan administratif dan birokratis yang menghambat mereka dalam bertindak efektif. 

Selain itu, terdapat pula perbedaan visi dan misi antar asosiasi yang membuat koordinasi dan kerjasama menjadi sulit tercapai. Padahal kekuatan sebuah asosiasi seniman dapat diukur dari seberapa besar dampaknya dalam melindungi dan memperjuangkan hak-hak seniman, termasuk hak atas karya intelektual, akses terhadap pendanaan yang adil, perlindungan sosial, dan pengakuan atas kontribusi seni mereka terhadap masyarakat. 

Namun, Dewan Kesenian hadir pada mulanya melihat bahwa kekuatan tersebut tidak hanya bisa dibangun dari dalam asosiasi itu sendiri, tetapi juga membutuhkan dukungan yang lebih besar dari pemerintah, industri, dan masyarakat luas. Dewan Kesenian berupaya untuk menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai pihak ini, meskipun seringkali upaya ini bertolak belakang dengan pendekatan asosiasi seniman yang lebih berfokus pada perjuangan internal.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak asosiasi seniman di Indonesia masih terbatas dalam kapasitasnya untuk mengatasi tantangan ini. Dewan Kesenian menganggap bahwa salah satu solusi adalah dengan memperkuat jaringan dan kolaborasi antar asosiasi serta dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki visi yang sama. Dengan demikian, perjuangan hak dan kepentingan seniman dapat dilakukan secara lebih terpadu dan komprehensif.

Tantangan Asosiasi Seniman di Indonesia 


Dewan Kesenian ada pada mulanya memandang asosiasi seniman di Indonesia cukup kompleks, salah satu akar masalahnya adalah kurangnya kesatuan dan pengorganisasian yang kuat di antara seniman itu sendiri. Berbeda dengan profesi lain yang mungkin memiliki standar profesi yang jelas dan pengorganisasian yang terstruktur, seniman sering kali bekerja secara independen atau tergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang tidak memiliki kekuatan kolektif yang cukup untuk menghadapi pemerintah atau industri besar.

Selain itu, hubungan yang rumit antara seniman dengan pemerintah dan industri seni, juga mempengaruhi kekuatan asosiasi. Beberapa asosiasi mungkin terlalu dekat dengan pemerintah atau bergantung pada dukungan dari industri tertentu, yang dapat membatasi kemampuan mereka untuk bersikap independen dan kritis terhadap kebijakan.

Pentingnya memiliki asosiasi seniman yang kuat dan mandiri sangatlah besar dalam konteks pengembangan seni dan budaya. Asosiasi yang efektif dapat berperan sebagai penengah antara seniman dan pemerintah, memastikan bahwa kebijakan publik yang diambil memperhatikan kebutuhan dan aspirasi seniman. Mereka juga dapat berperan dalam meningkatkan standar profesi seni, melindungi hak-hak moral dan materiil seniman, serta memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan kolaborasi antar-seniman.

Untuk mengatasi tantangan ini, langkah-langkah konkret perlu diambil. Pertama, seniman perlu lebih aktif dalam mengorganisasi diri dan membentuk asosiasi yang representatif dan kuat. Ini membutuhkan komitmen bersama untuk bekerja sama dan mengatasi perbedaan demi kepentingan bersama. Dan kedua, pemerintah dan industri seni perlu mendukung secara aktif keberadaan dan kegiatan asosiasi seniman, tanpa campur tangan yang berlebihan yang dapat membatasi kebebasan berpendapat dan bertindak.

Dengan membangun asosiasi seniman yang kuat dan mandiri, Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pengembangan seni dan budaya yang inklusif, inovatif, dan berdaya saing global. Hanya dengan mengatasi tantangan ini, seniman dapat memperoleh posisi yang lebih kuat dalam masyarakat dan berkontribusi lebih efektif dalam memperkaya kehidupan budaya bangsa.

Dewan Kesenian Tidak Responsif


Seniman seringkali dihadapkan pada pandangan sebelah mata dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik. Mereka berjuang untuk mendapatkan pengakuan yang layak atas karya mereka tanpa dukungan yang memadai. Kurangnya infrastruktur dan pasar seni yang berkembang juga membatasi peluang mereka untuk mencapai kesuksesan finansial yang stabil.

Di mata masyarakat, seniman kadang dianggap sebagai pelaku yang berkontribusi pada aspek estetika dan hiburan, tetapi sering tidak dianggap secara serius dalam konteks ekonomi dan politik. Posisi ini dapat mengarah pada kurangnya pengakuan atas nilai ekonomi dari karya seni mereka. Tanpa dukungan finansial yang memadai, banyak seniman harus berjuang keras untuk mempertahankan karir mereka secara berkelanjutan. 

Aspek politik juga memainkan peran penting dalam menentukan dukungan yang diberikan kepada seniman. Kebijakan publik dan alokasi dana dari pemerintah dapat mempengaruhi keberlanjutan dan keberhasilan karir seniman. Namun, seringkali ditemukan bahwa anggaran untuk seni dan budaya cenderung minim dibandingkan dengan sektor-sektor lain, sehingga membuat seniman sering kali terpinggirkan dalam prioritas pembangunan nasional.

Infrastruktur seni yang kurang berkembang juga menjadi hambatan besar bagi seniman. Kurangnya galeri seni, ruang pameran, dan pasar yang aktif membatasi akses mereka untuk memamerkan dan menjual karya mereka. Hal ini tidak hanya mempengaruhi pendapatan seniman, tetapi juga mengurangi eksposur publik terhadap seni dan budaya lokal, yang pada gilirannya dapat mengurangi apresiasi dan pemahaman masyarakat terhadap nilai seni sebagai bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya.

Namun demikian, perjuangan seniman bukanlah tanpa harapan. Munculnya platform digital dan media sosial telah membuka peluang baru bagi seniman untuk memperluas jangkauan karya mereka secara global tanpa tergantung pada infrastruktur fisik yang mahal. Seniman juga semakin mengorganisir diri mereka sendiri dalam kelompok-kelompok kolaboratif dan asosiasi untuk memperkuat suara mereka dalam masyarakat.

Sayangnya, dalam konteks ini, peran Dewan Kesenian sering kali dipertanyakan. Dewan Kesenian, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendukung dan mempromosikan seni, sering kali tidak responsif terhadap kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh seniman. Kurangnya inisiatif dan dukungan yang konkret dari Dewan Kesenian dapat membuat para seniman merasa terabaikan dan tidak dihargai.

Untuk mengatasi tantangan ini, perlu adanya komitmen dari berbagai pihak, termasuk Dewan Kesenian. Dewan Kesenian perlu lebih proaktif dalam mendengarkan aspirasi seniman, menyediakan dukungan finansial dan infrastruktur yang memadai, serta mempromosikan karya seni secara lebih luas. Pemerintah harus meningkatkan dukungan terhadap seni dan budaya dengan meningkatkan alokasi anggaran, membangun infrastruktur seni yang lebih baik, dan menciptakan kebijakan yang mendukung perkembangan seniman. Masyarakat perlu lebih memahami pentingnya seni dalam kehidupan sehari-hari dan mendukung inisiatif lokal untuk mempromosikan seni dan budaya.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan seniman dapat mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang layak atas kontribusi mereka dalam memperkaya kehidupan budaya dan intelektual bangsa. Seniman yang dihargai dan didukung secara tepat akan dapat lebih bebas untuk mengekspresikan visi mereka dan berkontribusi secara signifikan dalam mewujudkan masyarakat yang lebih kreatif dan berdaya saing global.

Dewan Kesenian Tidak Menolong Kasus Kebebasan


Pada masa kini, terdapat narasi yang menyuarakan tentang meningkatnya kebebasan berekspresi bagi seniman. Namun, kenyataannya, seniman sering kali masih menghadapi batasan yang signifikan akibat sensor dan regulasi pemerintah. Lebih ironisnya, Dewan Kesenian yang seharusnya menjadi pelindung dan pendukung utama bagi seniman, sering kali tidak menolong mereka dalam menghadapi tantangan ini. Kebebasan yang dijanjikan sering tidak diimbangi dengan dukungan nyata dalam bentuk pendanaan memadai, infrastruktur yang memadai, atau kebijakan yang mendukung seni dan budaya secara menyeluruh.

Seni merupakan medium yang kuat untuk menyuarakan berbagai pandangan dan membangkitkan refleksi dalam masyarakat. Namun, batasan sensor dan regulasi yang diterapkan oleh pemerintah dapat menjadi hambatan signifikan bagi seniman dalam mengekspresikan ide-ide mereka secara bebas. Sensor yang terlalu ketat dapat memaksa seniman untuk melakukan otonomisasi terhadap karya mereka, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi keaslian dan kekuatan pesan yang ingin disampaikan. Dewan Kesenian seharusnya memainkan peran dalam melindungi seniman dari sensor yang berlebihan, tetapi sering kali mereka tidak aktif dalam menghadapi isu ini.

Selain batasan sensor, kebebasan berekspresi seniman juga terbatas oleh kurangnya dukungan infrastruktur dan pendanaan yang memadai. Infrastruktur seni yang terbatas, seperti ruang pameran dan fasilitas seni, dapat menghambat seniman dalam menjangkau audiens yang lebih luas. Dewan Kesenian sering kali tidak menyediakan fasilitas yang memadai atau membantu seniman mendapatkan akses ke ruang-ruang tersebut. Selain itu, pendanaan yang minim dari pemerintah atau sektor swasta juga membatasi kemampuan seniman untuk mengembangkan dan menghasilkan karya-karya berkualitas tinggi tanpa harus khawatir tentang kebutuhan finansial mereka. 

Dewan Kesenian kerap tidak memberikan bantuan keuangan yang signifikan atau berkelanjutan, sehingga seniman harus mencari cara sendiri untuk mendanai karya mereka. Kebijakan publik yang mendukung seni dan budaya secara holistik juga masih menjadi tantangan tersendiri. Meskipun ada upaya untuk menciptakan kebijakan yang mendukung keberagaman seni dan budaya, implementasinya sering kali tidak sesuai dengan harapan. 

Kurangnya koordinasi antara berbagai pihak terkait dan prioritas yang berubah-ubah dalam pembangunan nasional dapat menghambat kemajuan sektor seni dan budaya secara keseluruhan. Dewan Kesenian, yang seharusnya berperan dalam mengatasi masalah ini, seringkali terjebak dalam birokrasi dan tidak responsif terhadap kebutuhan mendesak para seniman. Mereka lebih banyak terlibat dalam kegiatan seremonial daripada memberikan dukungan nyata dan substantif bagi seniman.
Tantangan ini tidak hanya mempengaruhi seniman secara individu, tetapi juga berdampak pada masyarakat secara luas. Seni tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai cermin dari kehidupan sosial, politik, dan budaya suatu bangsa. Tanpa dukungan yang memadai, potensi seni untuk menjadi katalisator perubahan sosial dan kebangkitan intelektual dapat terbuang percuma.

Namun, terdapat juga titik terang di mana beberapa inisiatif dan pergerakan masyarakat sipil telah berkontribusi untuk meningkatkan ruang bagi kebebasan berekspresi seniman. Melalui advokasi yang terus menerus, seniman dan masyarakat sipil dapat memperjuangkan kepentingan mereka untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi seni dan budaya. 

Dengan membangun kesadaran publik dan mendorong dialog yang terbuka antara seniman, pemerintah, dan masyarakat, kita dapat bergerak menuju perubahan positif dalam mendukung kebebasan berekspresi seniman. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat menghapuskan batasan-batasan yang menghalangi perkembangan seni dan budaya, serta memastikan bahwa kebebasan seniman untuk mengekspresikan diri mereka tetap terlindungi dan dihargai di semua tingkatan masyarakat. (Bersambung)

*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku “Manusia Dibedakan Demi Politik” (2020).

Ads