Dewan Kesenian: Antara Pembebasan Kreatif dan Jerat Birokrasi di Indonesia (Bagian I) -->
close
Pojok Seni
19 July 2024, 7/19/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-07-19T01:00:00Z
Artikel

Dewan Kesenian: Antara Pembebasan Kreatif dan Jerat Birokrasi di Indonesia (Bagian I)

Advertisement
 Ilustrasi pentas kesenian rakyat. (Foto Mufid Majnun//unspplash)

Oleh Zackir L Makmur*


Dewan Kesenian di Indonesia, dalam perspektif tingkat provinsi maupun dalam tingkatan kabupaten dan kota, umumnya didirikan dengan tujuan mendukung dan mengembangkan kebudayaan dan seni. Tujuan mulia ini mencakup berbagai inisiatif, seperti penyelenggaraan festival, pameran, sayembara penulisan, dan program pendidikan seni. Dewan Kesenian juga berperan dalam mendukung seniman lokal melalui berbagai hibah dan bantuan. 


Dengan demikian, keberadaan Dewan Kesenian diharapkan dapat memperkaya kehidupan budaya di Indonesia dan memberikan ruang bagi seniman untuk berkarya dan berinovasi. Namun, realitanya, Dewan Kesenian sering kali berada di bawah naungan “jajahan” pemerintah daerah. Kondisi ini menciptakan ketergantungan yang signifikan seniman terhadap kebijakan dan dukungan pemerintah setempat. 


Sebagai lembaga yang diatur dan didanai oleh pemerintah daerah, Dewan Kesenian harus menyesuaikan program dan kegiatannya sesuai dengan prioritas dan agenda pemerintah. Hal ini dapat menjadi tantangan tersendiri bagi dewan dan seniman yang ingin menjaga independensi dan integritas karya mereka. Sekurang-kurangnya dari sini, tiliklah pada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang merupakan salah satu dewan kesenian yang aktif mengadakan berbagai acara seni, seperti Jakarta International Film Festival (JIFFEST) dan Jakarta Biennale, maupun Festival Teater Jakarta( FTJ). 


Meskipun begitu, DKJ tetap harus bekerja sama erat dengan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta dalam memperoleh pendanaan dan izin untuk penyelenggaraan acara. Demikian pula, Dewan Kesenian Surabaya (DKS) yang menginisiasi berbagai kegiatan seni, seperti Festival Seni Surabaya, juga bergantung pada dukungan pemerintah kota untuk kelangsungan program-programnya. Ketergantungan ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara dewan kesenian dan pemerintah daerah.


Pendanaan dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) merupakan sumber utama bagi Dewan Kesenian untuk menjalankan berbagai programnya. Meskipun pendanaan ini memberikan peluang bagi dewan untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan seni, ketergantungan pada dana pemerintah ini juga bisa menjadi pedang bermata dua. Dewan Kesenian harus memastikan bahwa penggunaan dana tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan, yang sering kali membutuhkan birokrasi yang rumit dan memakan waktu. 


Struktur Dewan Kesenian yang sangat tergantung pada kebijakan pemerintah setempat juga memiliki implikasi terhadap kebebasan berekspresi seniman. Ketika kebijakan pemerintah bergeser, Dewan Kesenian harus segera menyesuaikan diri, yang bisa membatasi ruang gerak dan inovasi seniman. 


Selain itu, tekanan politik dapat mempengaruhi jenis program yang didukung, sehingga karya-karya yang lebih kritis atau tidak sesuai dengan agenda pemerintah mungkin tidak mendapatkan tempat. Dengan demikian, meskipun Dewan Kesenian memiliki peran penting dalam mendukung dan mengembangkan seni dan budaya di Indonesia, acapkali ketergantungan mereka pada pemerintah daerah demikian kuat. 


Independensi Seniman Sering Dipertanyakan


Dewan Kesenian berada di bawah pengaruh pemerintah daerah, menyebabkan independensi mereka sering dipertanyakan. Ketergantungan ini berimplikasi pada berbagai aspek operasional dan kebijakan yang diambil oleh dewan. Program-program yang direncanakan dan dijalankan sering kali selaras dengan agenda politik serta prioritas pemerintah daerah. Hal ini dapat mengakibatkan pembatasan terhadap kreativitas dan kebebasan berekspresi para seniman yang tergabung di dalamnya.

Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi wadah bagi ekspresi seni yang bebas dan kreatif, independensi Dewan Kesenian sangat penting. Kebijakan yang diambil tanpa intervensi politik akan memungkinkan dewan untuk mengeksplorasi berbagai bentuk seni dan budaya secara lebih luas dan mendalam. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa banyak Dewan Kesenian yang harus menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah daerah untuk mendapatkan dukungan finansial dan fasilitas. Kondisi ini bisa mengarah pada terbatasnya ruang gerak seniman dalam berekspresi dan berinovasi.


Penting untuk dipahami bahwa seni merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya yang memiliki peran vital dalam masyarakat. Seni tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media kritik sosial, refleksi budaya, dan alat untuk menyuarakan berbagai aspirasi masyarakat. Akan tetapi ketika Dewan Kesenian terlalu terikat pada agenda pemerintah daerah, fungsi-fungsi ini dapat tereduksi. 


Karuan saja sejumlah seniman tertekan atau bahkan disensor jika karya mereka dianggap bertentangan dengan kepentingan politik yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk menciptakan sistem yang memungkinkan Dewan Kesenian beroperasi dengan lebih mandiri. 


Salah satu cara adalah dengan meningkatkan pendanaan dari sumber-sumber non-pemerintah, seperti donasi dari individu dan swasta, serta kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional. Selain itu, pemerintah daerah juga harus menyadari pentingnya memberi ruang bagi kebebasan berkesenian tanpa harus mencampuri isi dan arah dari kegiatan seni yang dilakukan.


Melalui pendekatan yang lebih seimbang, di mana Dewan Kesenian memiliki kebebasan dalam menentukan program dan kebijakan seni, diharapkan kreativitas dan kebebasan berekspresi seniman dapat terjaga. Dengan demikian, seni dapat terus berkembang sebagai salah satu pilar penting dalam pembangunan budaya dan intelektual masyarakat. Hanya dengan menjaga independensi Dewan Kesenian, kita dapat memastikan bahwa seni tetap menjadi cermin dari keberagaman dan dinamika sosial yang ada di masyarakat.


Tantangan Seniman Dalam Dewan Kesenian


Seniman yang menjadi bagian dari Dewan Kesenian sering kali menghadapi stigma sebagai individu yang arogan atau merasa superior karena posisinya dalam lembaga tersebut. Pandangan ini mungkin timbul karena mereka memiliki akses ke berbagai fasilitas dan dukungan yang disediakan oleh pemerintah, seperti pendanaan, pameran, dan platform lain yang eksklusif. Meskipun akses ini memberikan peluang yang besar bagi pengembangan karya seni mereka, situasi ini juga dapat mengisolasi mereka dari komunitas seniman yang lebih luas yang tidak memiliki akses serupa.


Akses ke pendanaan dan pameran (dan pementasan) merupakan aspek krusial dalam perkembangan seni. Dengan dukungan ini, seniman dapat mengembangkan karya mereka dengan lebih bebas tanpa khawatir tentang keterbatasan finansial. Mereka juga memiliki kesempatan lebih besar untuk menampilkan karya mereka di berbagai pameran bergengsi yang dapat meningkatkan reputasi dan karir mereka. 


Namun, akses eksklusif ini bisa menciptakan jarak antara seniman dalam Dewan Kesenian dan komunitas seniman independen yang harus berjuang sendiri untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan. Ketika seniman dalam Dewan Kesenian mendapatkan keuntungan yang tidak dimiliki oleh seniman lain, mereka bisa dilihat sebagai bagian dari "elite" yang terpisah dari realitas yang dihadapi oleh mayoritas seniman lainnya. Ini dapat menciptakan ketegangan dan rasa ketidakadilan di antara komunitas seni. 


Seniman independen mungkin merasa kurang dihargai dan diakui, meskipun karya mereka sama berkualitasnya atau bahkan lebih inovatif dibandingkan dengan mereka yang berada dalam lingkup Dewan Kesenian. Maka isolasi ini berdampak pada dinamika sosial dan kolaborasi dalam komunitas seni. Seniman dalam Dewan Kesenian mungkin kesulitan untuk berinteraksi dan berkolaborasi dengan seniman lain yang tidak memiliki akses yang sama. 


Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada upaya untuk menciptakan inklusivitas yang lebih besar dalam komunitas seni. Dewan Kesenian harus lebih proaktif dalam membuka akses dan kesempatan bagi seniman independen. Ini bisa dilakukan melalui program beasiswa, pameran terbuka, dan berbagai inisiatif lain yang melibatkan lebih banyak seniman dari berbagai latar belakang. 


Dengan demikian, Dewan Kesenian dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai kelompok seniman, bukan sebagai penghalang yang memisahkan mereka. Selain itu, penting bagi seniman dalam Dewan Kesenian untuk tetap rendah hati dan terbuka terhadap kritik serta masukan dari komunitas seni yang lebih luas. 

Seniman dalam Dewan Kesenian harus melihat posisi mereka sebagai kesempatan untuk mendukung dan memajukan seni secara keseluruhan, bukan sebagai alat untuk meningkatkan status pribadi. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan kolaboratif, komunitas seni dapat tumbuh dan berkembang bersama, menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan produktif bagi semua seniman. (Bersambung)


*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku “Manusia Dibedakan Demi Politik” (2020).

Ads