Advertisement
Oleh: Nuraisah Maulida Adnani*
Catatan untuk pameran tunggal Alba Carinena, di Segara Space, Kota Mataram, NTB.
Melihat hasil karya seorang dari negeri jauh, memandang sekaligus merespons Kota Tua Ampenan memanglah suatu ide yang cukup menarik. Tentu orang-orang lokal seperti kita punya imajinasi dan pertanyaan tersendiri sebelum melihat karya tersebut. Sebagaimana diri yang kadang penasaran bagaimana orang lain merespon, hal itu juga berlaku dengan bagaimana jika tempat kita direspon orang luar.
Alba Cariñena, perempuan berdarah Spanyol untuk pertama kali datang dan berpameran di Indonesia. Pameran itu berjudul “La Cara” yang berlangsung 4—10 Juni 2024 di Segara Space. Bagaimana Alba Cariñena dapat bertemu dengan Paerstud (sebuah perusahaan kreatif di Mataram yang berkecimpung dalam usaha ilustrasi, gambar, mural, grafis, dan sebagainya) sampai-sampai magang selama 3 bulan, dari Maret hingga Juni.
Intinya, dia sedang menempuh program internship dari kampusnya guna memperdalam pengetahuan tentang desain dan seni lukis cat air. Pihak kampus mempersilakan Alba untuk memilih tempat. Entah mengapa dia penasaran dengan pulau kecil (Lombok) di Indonesia, hingga memilih Paerstud menjadi tempat magang dan mereka memutuskan untuk mencoba pendekatan residensi, lalu memilih kota tua Ampenan sebagai latar perspektif karya-karyanya.
Ronieste, mentor sekaligus kurator Alba, menggunakan sudut pandang matematika dan seni dalam memandang dan mengkurasi karya pameran ini. Dengan kalimat yang agak terengah-engah, dia menjelaskan dalam catatan katalog apa yang dimaksudkan, mengenai sejarah seni dan matematika, juga kata dari bahasa Spanyol “La Cara” sebagai judul pameran ini yang berarti sisi, serta menjelaskan mengenai La Cara A, B, dan In Between.
Catatannya lebih banyak membicarakan bagaimana hal-hal sebelum pameran terjadi dibandingkan membicarakan karya Alba sendiri, hal itu menunjukkan bahwa karya Alba sebenarnya memang tak banyak membicarakan Ampenan. Itulah salah satu pendapat dari seseorang ketika melihat pameran, dan hal itu benar adanya.
Walau pemeran kecil ini berada di dalam ruangan berbentuk segi empat, ada tiga sisi yang digunakan menjadikannya lebih bernuansa sebagai bentuk segi tiga.
La Cara A menghadirkan tiga lukisan cat air, di bagian ini dia memperlihatkan bayangan atau imajinasinya mengenai kota tua Ampenan. Warna yang dipakai sangat berwarna-warni, dominan cerah dan lembut, bangunan tempat ibadah yang saling berdekatan, bersih, dan terlihat damai, koran yang memberitakan Ampenan yang indah dan bersejarah. Secara tak sengaja atau mungkin sengaja, Alba menghadirkan warna-warna Spanyol dalam memandang Ampenan.
La Cara B menghadirkan 9 karya kolase fotografi, di sisi ini barulah Alba melihat Ampenan yang sebenarnya, yang tentu tak sesuai dengan apa yang dilukiskannya dengan cat air. Sembilan foto itu punya kesamaan, sama-sama bernuansa suram, menangkap wajah-wajah yang penuh pikiran, sampah-sampah yang menumpuk, dan latar tempat-tempat seolah sunyi dan “terpenjara”.
Pada La Cara In Between, Alba mengajak pengunjung untuk berinteraksi dengan karyanya. Lukisan besar itu dilapisi sampah-sampah, di bagian bawah lukisan itu terdapat tempat sampah yang kecil dan jika dibayangkan pasti tak muat untuk menopang berbagai jenis sampah yang memenuhi lukisan itu.
Beberapa kotak lantai bertuliskan “Apa yang kamu pikirkan? Apa yang akan kamu lakukan?” tentu pertanyaan itu mendorong seseorang untuk berpikir dan bertindak sesuatu. Beberapa orang hanya memandang karya itu, berdiri dan perpikir begitu lama, beberapa mencopot sampah kemudian menempelkannya kembali, beberapa yang lain memindahkan sampah-sampah ke tempat sampah yang kecil itu, lukisan itu sedikit demi sedikit mulai menampakkan wujud utuhnya, mungkin bentuk utuhnya belum terlihat di hari pertama pameran.
Sisi A dan B yang sangat kontras seperti dua garis segitiga yang berseberangan, sedangkan sisi In Between seperti garis yang menggabungkan keduanya.
Sebagai orang Spanyol yang tak begitu fasih berbahasa Inggris, apa lagi bahasa Indonesia, Alba mengalami kendala berbahasa, khususnya saat berkomunikasi. “Jika tidak ada kendala, mungkin karya saya akan jadi lebih mempunyai kedalaman,” ucapnya.
Membaca katalog, catatan kurator, mendengar berbagai cerita tentang pameran ini, dan melihat karya seni yang disajikan mengingatkan saya pada Walter Spies yang jalan ceritanya sedikit mirip dengan Alba. Dia seorang pelukis dari Jerman yang tinggal di Bali, menggabungkan teknik seni rupa Bali dan Jerman hingga menciptakan suatu nuansa baru. Namun sepertinya Alba belum melebur dengan Kota Tua Ampenan hingga masih menggunakan “matanya” sebagai orang Spanyol.
Alba Cariñena berhasil menghadirkan pandangannya melihat kota tua Ampenan, tentu kejujurannya amat terasa ketika melihat karyanya. Pemilihan ruangan persegi panjang yang kecil, membuat pengunjung dapat merasa lebih intim dengan karya yang diciptakan oleh perempuan Spanyol itu.
Biodata Penulis
Nuraisah Maulida Adnani lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Januari 2001. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Mataram. Menyukai sastra dan seni rupa. Saat ini bergiat di komunitas Akarpohon, juga mengelola perpustakaan Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.