Secara Ontologis, Apa Itu Musikalisasi Puisi? -->
close
Pojok Seni
04 June 2024, 6/04/2024 01:39:00 AM WIB
Terbaru 2024-06-30T15:16:29Z
Ulasan

Secara Ontologis, Apa Itu Musikalisasi Puisi?

Advertisement
apa itu musikalisasi puisi

Oleh: Adhyra Irianto


Musik memiliki hubungan yang erat dengan bahasa, terutama dengan puisi. Tapi pertanyaannya, secara ontologis, apa itu musikalisasi puisi? 


Musikalisasi adalah kata kerja, artinya "menjadikan sesuatu menjadi bentuk musik" atau secara simpel bisa kita artikan sebagai "memusikkan". Maka, "musikalisasi puisi" berarti sebuah kata kerja, bukan kata benda. Pertanyaan dasarnya, hasil dari proses musikalisasi puisi itu disebut apa? Puisi musikal atau musik puitik? Karena berbeda kata yang berada di depan, berbeda pula substansi dan konvensi dari karya tersebut.


Saya beri contoh, apa perbedaan mendasar antara "drama tari" dengan "tari dramatik"? Jawaban paling pertama, drama tari dibuat oleh sutradara, sedangkan tari dramatik dibuat oleh koreografer. Dari jawaban pertama, bisa dilihat bahwa langkah pertama dari kedua jenis karya tersebut adalah dua hal yang sangat berbeda. Dua karya yang dihasilkan juga akan sangat berbeda.


Untuk kasus karya sebagai hasil dari musikalisasi puisi, bila "ia" disebut puisi musikal maka artinya karya tersebut dibuat oleh sastrawan (yang kebetulan suka musik). Unsur sastra akan sangat kental di sana, sedangkan musik adalah unsur pendukung, sebagaimana tari dalam drama tari. Tapi, kalau karya itu disebut musik puitik, itu artinya karya itu dibuat oleh komposer (yang kebetulan suka puisi). Unsur musikal akan sangat kental di karya ini, sedangkan sastra menjadi "titik awal", seperti novel menjadi film lewat proses ekranasi. 


Penafsiran puisi, menurut saya, adalah batu lompatan dari puisi menjadi musik (teks ke audio). Ini yang menjadi premis alias "niat" atau visi musikal dari konstruksi karya. Dan itu berarti, ini adalah karya musik puitik. Perspektif musik adalah hal yang menjadi pijakan dasar proses penciptaan karya "jenis ini".

proses musikalisasi puisi
Proses musikalisasi puisi

Perdebatan dan perbedaan pendapat memandang "musikalisasi puisi" sampai saat ini, menurut saya, karena secara ontologis, karya hasil dari musikalisasi puisi itu di Indonesia masih belum "duduk" (settle bukan sit down). Karya ini harus dinilai dari perspektif apa? Perspektif musik atau perspektif sastra? Mari perlahan-lahan kita coba jabarkan, bagaimana "benda ini" dilihat dari perspektif musik, juga dari perspektif sastra.


Perspektif musik


Perlu dicatat bahwa musik, bahkan semua jenis musik, dibuat dengan tujuan mengaktualisasikan sebuah "niat". Karena itu, ada tujuan dan finalitas untuk menyiratkan itu. Bahkan untuk musik simbol, semacam ritual simbolis tertentu untuk memanggil hujan misalnya, maka "musik" didesain untuk menirukan suara hujan. Di satu sisi, manusia juga mampu melakukan dekontekstualisasi dari konstruksi musik yang terlepas dari apapun konteksnya. Sebab, sistem referensi dalam musik bersifat mandiri, terlepas dari "penanda-petanda" seperti di dalam bahasa. 


Secara umum, musik dibuat dan diproses dengan sebuah konvensi yang diwujudkan dalam "proses formal". Dalam proses formal yang dimaksud ini, musik sudah terdistingsi dengan "lingkungan suara" secara universal. Musik menjadi semacam karya yang dibuat dari apa yang mendahuluinya (di bagian atas tadi, saya menyebutnya dengan 'niat') dan apa yang menjadi visi penciptaannya, kemudian semuanya "dikurung" dalam satu kerangka waktu (temporal rasio). Dalam kerangka waktu ini, substansi musik diartikulasikan dengan proporsional. Proporsional berarti; musik akan tunduk pada "denyut temporal" yang isokronis universal. Sebagian akademisi berpendapat bahwa musik yang "terukur" tersebut lebih sering dikaitkan dengan aktivitas kolektif, khususnya yang berkontribusi pada kehidupan sosial, terutama yang bisa "dijogetin".


Di Afrika misalnya, musik yang tidak bisa ditarikan, tidak dianggap sebagai musik. Justru dikategorikan sebagai lamentasi (ratapan). Beberapa lain dikategorikan sebagai isyarat bunyi, meski memiliki nada. Itu berarti, di Afrika, musik diformalisasi dengan gagasan periodisitas. Hal itu juga berlaku di sejumlah budaya daerah lain, apalagi budaya Barat. Musik dibangun dengan konsep yang formal; punya ketukan, proporsional, dan dibangun dengan prinsip simetri. Misalnya, untuk chord C, dibangun dari not 1-3-5 (do-mi-sol), maka suara satu - dua - tiga dalam chord C di paduan suara juga dimulai dari scale not 1-3-5 juga. Dalam hal ini, prinsip simetris dan paralel ini menjadi pondasi keseimbangan konstruksi sebuah karya musik secara umum. 


Konstruksi melodi yang disusun dalam sebuah karya musik dipilih dari kontinum suara yang berisi rangkaian nada yang kontras. Rangkaian nada itu yang kemudian menjadi sebuah scale (skala) yang kemudian menjadi sistem dasar melodi. Setiap bagian musik merupakan sebuah interaksi yang teratur, juga simultan. Setiap detail dalam struktur musik akan memberikan makna simbolis, entah itu chord yang dipilih, scale, organisasi metrik, ritme, tempo, melodi, dan lain-lain.


Melihat puisi dalam perspektif musik berarti mengubah dimensi tekstual menjadi dimensi auditif. Apa yang dipersepsi secara estetis dari seorang pembaca puisi, mesti bisa ditransposisikan menjadi persepsi estetis yang sama ketika mendengarkan musik puisi. 


Perspektif Puisi


Mari kita membicarakan sastra sebagai dimensi tekstual. Sejumlah artikel ilmiah telah membuka kemungkinan konstruksi dan komposisi teks multimodal, entah itu dari gambar, musik, suara, narasi, dan benda-benda dalam berbagai lapisan sebagai sebuah ensembel kreatif. Ada banyak proses mentransmisikan puisi ke dalam video, musik, narasi, (bahkan gabungan semuanya) dalam sebuah karya. Semuanya berangkat dari pemikiran bahwa puisi adalah jenis sastra yang membangkitkan imajinasi yang terkonsentrasi dalam kesadaran dan respon emosional tertentu melalui media bahasa, yang dipilih diksinya, diatur maknanya, bunyi, ritme, dan sebagainya.


Puisi bisa saja sebagai cara berpikir, bisa juga pikiran itu sendiri. Apa yang diduga sebagai puisi di awal-awal adalah mantra magis dari ritual di peradaban atau masyarakat bercocok tanam awal. Yah, ini seakan-akan tampak seperti definisi puisi, padahal hanya keinginan kita untuk bisa membedakan puisi dengan prosa, seperti orang-orang membedakan mana asap dan mana uap air. Bahkan TS Eliot misalnya, bingung dengan istilah teknis "syair" yang menurutnya lebih cocok dan lebih mudah didefinisikan ketimbang "puisi". Karena itu, di Indonesia pun lebih dikenal istilah "penyair" (pe-sair/syair) alih-alih "pemuisi" (pe-puisi). Mungkin definisi yang paling simpel seperti kata Paul Valery; puisi itu menari, sedangkan prosa itu berjalan.


Maka, proses transformasi puisi ke bentuk lainnya, akan melibatkan sumber daya semantik. Lihat bagaimana Ray Anderson membuat film berjudul Songs From the Second Floor pada tahun 2000, yang merupakan film dengan "pijakan dasar" puisi berjudul Stumble Between Two Stars karya César Vallejo. Puisinya hadir dalam bentuk teks di layar hitam, kemudian muncul fragmen-fragmen yang dibuat berdasar puisi tersebut. Susunan fragmen inilah yang menjadi film berjudul Songs From the Second Floor tersebut. Film ini disebut di sejumlah sumber sebagai "film puitik" bukan "puisi sinematik". Tangkapan pemaknaan yang menjadi premis dan pondasi dari konstruksi film tersebut. 


Kesimpulan


Sebagai contoh proses musikalisasi puisi yang pernah dilakukan sebelumnya adalah apa yang dilakukan oleh Ralph Vaughan Williams pada tahun 1958 ketika memusikkan puisi karya William Blake dari buku kumpulan puisinya berjudul Songs of Innoncence and of Experience (terbit tahun 1794). 


Karya ini diberi tajuk Ten Blake Songs. Ada total 10 lagu salah satunya berjudul Infant Joy. 


Infant Joy

oleh William Blake


I have no name

I am but two days old.—

What shall I call thee?

I happy am,

Joy is my name,—

Sweet joy befall thee!


Pretty joy!

Sweet joy but two days old,

Sweet joy I call thee;

Thou dost smile.

I sing the while

Sweet joy befall thee.


Bentuk musik puisi ini bisa didengar di bawah ini:




Bisa kita dengarkan bahwa Ralph Vaughan Williams "memindahkan" efek yang didapatkan secara tekstual ketika membaca puisi William Blake, menjadi efek yang didapatkan secara audio. Maka, kita bisa menyimpulkan bahwa proses musikalisasi puisi adalah proses transformasi semantik dari dimensi tekstual ke dimensi auditif. Artinya, ini adalah karya musik yang disusun komposisinya lewat perspektif musik.

Ads