Puisi Joko Pinurbo: Semburat Senja Memeluk Realitas Intelektual, Kultural, dan Sosial (Bagian I) -->
close
Pojok Seni
13 June 2024, 6/13/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-06-13T01:00:00Z
ArtikelPuisi

Puisi Joko Pinurbo: Semburat Senja Memeluk Realitas Intelektual, Kultural, dan Sosial (Bagian I)

Advertisement
Joko Pinurbo
Joko Pinurbo

Oleh:  Zackir L Makmur*


Romo Sindhu dalam acara ”Perjamuan Jokpin” untuk memperingati 40 hari berpulangnya sang penyair Joko Pinurbo, di Bentara Budaya Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Sabtu (8/6/2024), menyampaikan pemahaman filosofis terindah terhadap kata: ”Jokpin adalah seorang maestro yang bisa menyelami, bukan hanya makna kata, tapi kekayaan kata-kata. Setiap kata yang bagi kebanyakan orang hanya dipandang sebagai sesuatu yang taken for granted, bagi Jokpin adalah kehidupan, makna, dan mengandung begitu banyak mutiara. ”


Panduan filosofis dari Sindhunata itu menyeruak pula bahwa kata-kata sebagai jendela kehidupan dan kebenaran bisa ditransformasikan oleh puisi. Maka kata-kata, sebagai elemen mendasar dalam komunikasi manusia, yang seringkali dianggap remeh oleh banyak orang –lewat puisi menemui dobrakannya. Di sinilah diolah oleh para penyair dan sastrawan, kata-kata adalah jendela ke dunia yang luas dan kompleks. Kaum perangkai kata-kata ini melihat setiap kata sebagai cahaya yang menerangi makna, kehidupan, dan kebenaran.


Dalam setiap percakapan sehari-hari, boleh jadi, kita sering menggunakan kata-kata tanpa memperhatikan kekuatan dan signifikansinya. Kita mungkin mengucapkannya secara mekanis, tanpa menyadari bahwa setiap kata memiliki bobotnya sendiri, membawa energi dan makna yang unik. Tetapi penyair (dan sastrawan) sejak zaman kuno hingga zaman modern telah menggali kedalaman kata-kata dengan penuh gairah. 


Penyair (dan sastrawan) memandang kata-kata sebagai perwujudan pemikiran manusia, sebuah jendela ke dalam kehidupan batin dan realitas yang kompleks. Dalam kata-kata, mereka menemukan cermin yang memantulkan kebenaran dan kebijaksanaan. Penyair (dan sastrawan) dengan kepekaan seni mereka, membentuk kata-kata menjadi karya seni yang memukau. Mereka melukiskan dunia dengan warna-warna kata, menghidupkan karakter dan peristiwa dalam imajinasi pembaca. Dalam kata-kata mereka, kita menemukan refleksi dari kehidupan yang sebenarnya.


Di sinilah menjadi tegas bahwa kata-kata bukan hanya sekedar alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga bentuk ekspresi diri. Melalui penggunaan kata-kata, manusia menyampaikan emosi, keyakinan, dan pengalaman mereka. Kata-kata memiliki kekuatan untuk menginspirasi, memotivasi, atau bahkan menyentuh hati seseorang. 


Dalam dunia modern yang dipenuhi dengan informasi, kekuatan kata-kata menjadi semakin penting. Kata-kata yang dipilih dengan bijak dapat merubah pandangan, mempengaruhi opini, dan bahkan menggerakkan massa. Di tangan Penyair (dan sastrawan), kata-kata menjadi senjata yang mematikan atau sumber kekuatan yang tak terkalahkan.


Ejekan Dengan Cara Segar


Puisi-puisi Joko Pinurbo dikenal karena kemampuannya menggambarkan dan mengejek berbagai aspek kehidupan dengan cara yang unik dan mendalam. Joko Pinurbo, atau sering disebut Jokpin, merupakan salah satu penyair kontemporer Indonesia yang telah mengukuhkan dirinya melalui karya-karya yang tidak hanya puitis tetapi juga reflektif terhadap kondisi personal, sosial, kultural, intelektual, dan transendental.


Dalam ranah personal, puisi-puisi Jokpin sering menghadirkan gambaran kehidupan sehari-hari dengan nuansa humor yang halus namun tajam. Ia mengeksplorasi berbagai emosi dan pengalaman individu melalui metafora yang sederhana namun penuh makna. Puisi seperti "Celana" menggambarkan pengalaman sehari-hari dengan cara yang akrab namun penuh perenungan. Dengan menggunakan benda sehari-hari sebagai simbol, Jokpin berhasil mengekspos kerentanan manusia dan ironi dalam kehidupan personal.


Sisi sosial dalam puisi Jokpin terlihat dalam caranya mengkritisi fenomena sosial dan kebiasaan masyarakat. Ia sering menyoroti ketidakadilan dan kejanggalan sosial dengan gaya yang subtil namun mengena. Kritik sosialnya tidak disampaikan dengan keras, melainkan melalui ironi dan sindiran yang membuat pembaca merenung. Misalnya, puisi-puisinya bisa berbicara tentang ketidaksetaraan dan ketidakadilan dengan menyisipkan humor yang membuat kritik itu terasa lebih dekat dan relevan.


Kulturalisme dalam puisi Jokpin hadir melalui penggambaran tradisi dan kebudayaan Indonesia. Ia mengeksplorasi identitas kultural dengan cara yang kadang-kadang nostalgik namun sering kali kritis. Jokpin mampu memanfaatkan unsur-unsur budaya lokal dalam puisinya untuk menyoroti perubahan dan pergolakan dalam masyarakat. Dengan cara ini, ia tidak hanya merayakan kekayaan budaya tetapi juga mengajak pembaca untuk mempertanyakan dan merefleksikan posisi budaya dalam konteks modernitas.


Di ranah intelektual, Jokpin sering bermain dengan konsep-konsep filosofis dan refleksi mendalam tentang keberadaan manusia. Puisi-puisinya menantang pembaca untuk berpikir kritis dan merenungkan makna kehidupan, pengetahuan, dan eksistensi. Melalui gaya yang kadang-kadang absurd dan surealistik, ia menggambarkan kompleksitas pikiran manusia dan pertanyaan-pertanyaan besar yang sering kali tidak memiliki jawaban mudah. Intelektualitas dalam puisi Jokpin bukanlah sesuatu yang berat, melainkan hadir dalam bentuk yang bisa diakses dan dipahami oleh berbagai lapisan pembaca.


Aspek transendental dalam puisi Jokpin menyentuh dimensi spiritual dan eksistensial. Ia sering menggambarkan hubungan manusia dengan yang ilahi atau yang tak terjangkau melalui metafora-metafora yang sederhana namun mendalam. Jokpin tidak menggurui dalam menyampaikan pesan spiritual, melainkan mengajak pembaca untuk merenungkan dan mencari makna yang lebih dalam dari kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, puisi-puisinya mampu menjembatani pengalaman material dan spiritual dengan cara yang indah dan reflektif.


Puisi-puisi Joko Pinurbo adalah cerminan dari kepekaan dan kedalaman pandangan seorang penyair terhadap berbagai aspek kehidupan. Melalui gaya yang unik dan penuh ironi, Jokpin berhasil mengejek dan merefleksikan personal, sosial, kultural, intelektual, dan transendental dengan cara yang membuat pembaca merenung dan merasakan keindahan sekaligus kegetiran dalam kehidupan. Karya-karyanya tidak hanya memperkaya khazanah sastra Indonesia tetapi juga mengajak kita untuk melihat dunia dengan perspektif yang lebih luas dan mendalam.


Kritik Transendental Tanpa Tutup


Puisi-puisi Joko Pinurbo, yang akrab disapa Jokpin,  lewat energi filosofis pula menjadikan kata-kata sebagai jendela kehidupan dan kebenaran yang kemudian ditransformasikan menjadi puisi. Hal ini tidak hanya menyentuh isu-isu personal tetapi juga mengandung kritik sosial, kultural, intelektual, dan transendental.  Dan kritikan transenden ini begitu gamblang tanpa tedeng aling-aling lewat puisi  Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya:


Tuhan, ponsel saya rusak dibanding gempa

Nomor kontak saya hilang semua

Satu-satunya yang tersisa ialah nomor-Mu

Tuhan berkata: dan itulah satu-satunya nomor yang tak pernah kau sapa*


Puisi "Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya" ini semacam cermin yang memantulkan kehidupan modern dengan kecepatan dan tekanan yang tak terelakkan. Kritik transendental dalam puisi ini begitu gamblang dan tajam, menyelami kedalaman eksistensi manusia yang tenggelam dalam rutinitas dan kesibukan tanpa henti. Jokpin dengan piawai menggambarkan dilema kontemporer di mana teknologi, yang seharusnya mempermudah hidup, justru memerangkap manusia dalam siklus kerja yang tiada akhir.


Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan esensi dari keberadaan mereka di dunia yang semakin didominasi oleh perangkat digital. Telepon seluler (ponsel), yang pada awalnya dirancang sebagai alat komunikasi, kini telah berevolusi menjadi kantor bergerak yang memaksa penggunanya untuk selalu terhubung dan siap bekerja kapan saja dan di mana saja. Goenawan menyoroti bagaimana fenomena ini mempengaruhi kualitas hidup dan kedalaman relasi antar manusia. Ia mempertanyakan, apakah manusia masih memiliki ruang untuk berhenti sejenak, merenung, dan menikmati keheningan, ataukah mereka telah menjadi budak teknologi yang terus berdering dan bergetar.


Dalam bait-bait puisi tersebut, tersirat kritik terhadap bagaimana manusia modern kehilangan makna dalam kecepatan dan efisiensi yang terus dikejar. Rutinitas dan tekanan untuk selalu produktif menciptakan jarak antara individu dengan dirinya sendiri, seakan-akan kehidupan mereka dikendalikan oleh ponsel yang selalu ada di genggaman. Jokpin dengan cerdas mengangkat paradoks ini, menunjukkan bagaimana upaya untuk mengoptimalkan waktu justru seringkali mengikis kualitas hidup. Manusia yang seharusnya menjadi tuan atas teknologi, kini justru diperbudak oleh perangkat yang mereka ciptakan.


Puisi ini juga menggugah kesadaran pembaca tentang pentingnya keseimbangan dalam hidup. Di tengah desakan untuk terus bekerja dan terhubung, Jokpin mengingatkan bahwa ada aspek-aspek kehidupan yang tak kalah penting, seperti ketenangan batin, kebersamaan dengan orang terkasih, dan momen-momen sederhana yang sering kali terlewatkan. Kritik transendental yang dihadirkan dalam puisi ini mengajak pembaca untuk melihat melampaui kesibukan sehari-hari dan menemukan kembali makna dari keberadaan mereka.


Dengan kata-kata yang sederhana namun sarat makna, puisi-puisi Jokpin selalu  menyampaikan pesan yang mendalam dan relevan. Puisi-puisinya bukan hanya sebuah kritik terhadap pola hidup modern yang sibuk, tetapi juga sebuah seruan untuk kembali kepada esensi kemanusiaan yang sejati. Pada puisi “Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya”, ia mengajak pembaca untuk merenung, apakah hidup yang dikejar dengan kecepatan dan produktivitas tinggi benar-benar membawa kebahagiaan dan kepuasan, atau justru menjauhkan manusia dari makna dan kebahagiaan sejati.


Kritik Sosial "Tembak Langsung" 


Umumnya juga puisi-puisi Jokpin sering kali mengeksplorasi tema-tema yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, namun di dalamnya tersimpan lapisan makna yang mendalam yang mengajak pembaca untuk merenung dan mempertanyakan realitas di sekitar mereka. Termasuk pula terhadap kritikan kultural.  Hal ini dengan jelas terungkap lewat puisi “Keluarga Khong Guan.”


Banyak orang penasaran:

mengapa sosok ayah

dalam keluarga khong guan

tak pernah tampak di meja makan?


Kata anak laki-lakinya,

”Ayahku sedang

menjadi bahasa Indonesia

yang terlunta di antara

bahasa asing dan bahasa jalanan.”


Anak perempuannya

menyahut, ”Ayahku

sedang menjadi nasionalisme

yang bingung dan bimbang.”


Si ibu angkat bicara,

”Ayahmu sedang menjadi

koran cetak yang kian

ditinggalkan pembaca dan iklan.”


Puisi "Keluarga Khong Guan" ini sungguh berhasil mengeksplorasi tema kulutural yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, sambil menyimpan lapisan makna mendalam. Puisi ini pun mengajak pembaca merenung dan mempertanyakan realitas di sekitar kita, di mana melalui puisi ini, gambaran sederhana sebuah keluarga bahagia dalam iklan biskuit Khong Guan digunakan sebagai media untuk menyampaikan kritik kultural yang tajam dan menggugah kesadaran.


Gambaran keluarga harmonis dalam iklan Khong Guan, dengan ibu dan dua anak yang duduk di meja makan tanpa kehadiran seorang ayah, mencerminkan realitas sosial yang lebih kompleks daripada yang terlihat sekilas. Ini tentang bagaimana nilai-nilai keluarga dan peran gender direpresentasikan dan diinterpretasikan dalam masyarakat kita. Di balik kesederhanaan gambar tersebut, tersembunyi pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai absennya figur ayah dan bagaimana peran ibu diidealkan dalam konteks keluarga.


Kritik kultural dalam puisi ini tidak hanya berhenti pada representasi keluarga, tetapi juga menyentuh aspek komersialisasi dan konsumsi. Iklan adalah bagian dari mekanisme kapitalisme yang tidak hanya menjual produk, tetapi juga menjual ide dan citra tertentu yang ideal. Dalam hal ini, iklan Khong Guan menjual konsep kebahagiaan keluarga yang sederhana dan harmonis, yang mungkin jauh dari realitas banyak keluarga. Ini mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana budaya konsumsi mempengaruhi dan mungkin bahkan mendistorsi realitas sosial kita.


Kritik Tajam Berselera Humor 


Sementara itu pada puisinya yang berjudul “Ibu Kopi”: Harum kopinya terbuat dari harum darahnya//Hitam kopinya terbuat dari hitam nasibnya//Ia masih muda, sekian tahun yang silam//Diambil negara di sebuah huru-hara//Dan sampai sekarang masih dicari-cari oleh ibunya", Jokpin mengeksplorasi tema ketidakadilan sosial dengan cara yang sederhana namun menggugah. 


Puisi ini mengangkat suara mereka yang terpinggirkan dan sering kali tidak terdengar dalam narasi besar masyarakat. Melalui penggunaan metafora kopi, Jokpin menghadirkan potret ketidakadilan yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat, mengajak pembaca untuk melihat dan memahami realitas yang mungkin selama ini terabaikan.


Selain ketidakadilan, kesenjangan sosial juga menjadi tema penting dalam puisi-puisi Jokpin. Dalam puisi “Di Atas Meja”: Di atas meja kecil ini//masih tercium harum darahmu//di halaman-halaman buku.// Sabda sudah menjadi saya.//Saya akan dipecah-pecah//menjadi ribuan kata dan suara.” Di puisi ini juga Jokpin tidak hanya menghadirkan kritik sosial tetapi juga menyentuh emosi pembaca. Kesenjangan yang digambarkan dalam puisinya mengingatkan kita akan realitas pahit yang dihadapi oleh banyak orang.


Selain melancarkan kritik, pada sisi lainnya, humor juga lazim digunakan Jokpin dalam puisi-puisinya. Dan ini berfungsi sebagai alat yang efektif untuk menyampaikan kritik –baik kritik sosial, kultural, intelektual, maupun transendental. Di sini humor jadi penuh penuh dengan ironi dan satire, yang membuat pembaca tertawa sekaligus merenung.


Penggunaan humor dalam puisi Joko Pinurbo telah menjadi salah satu elemen yang menonjol dalam karya-karyanya. Salah satu kutipan yang mencerminkan hal ini dapat ditemukan dalam puisinya yang berjudul "Celana," di mana ia menggambarkan objek sehari-hari seperti celana untuk merenungkan tentang identitas dan peran sosial. Dengan gaya yang unik dan penuh humor, Jokpin mengajak pembaca untuk melihat kehidupan dari perspektif yang berbeda dan menemukan makna dalam hal-hal yang tampaknya biasa saja.


Sebagai contoh, dalam puisi "Celana," Jokpin menulis, "Sialnya celana yang bermerek tinggi//tak dapat membayangkan/ /seberapa dalam //perasaan yang tersembunyi // dalam selutut," yang mengungkapkan cara ia menggunakan objek sehari-hari untuk merenungkan aspek-aspek mendalam dari kehidupan manusia. Dengan cara ini, Jokpin mampu menyampaikan pesan-pesan yang mendalam melalui humor yang cerdas dan penuh ironi.


Humor dalam puisi Jokpin tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata, melainkan juga menjadi alat yang kuat untuk menyampaikan kritik sosial. Jokpin mampu mengemas pesan-pesan kritisnya dengan gaya yang penuh ironi dan satire, yang memungkinkannya untuk mengungkapkan ketidakpuasan dan kritik terhadap berbagai aspek kehidupan sosial dan politik di Indonesia.


Sebagai contoh lain dari penggunaan humor untuk menyampaikan kritik sosial dapat ditemukan dalam puisi "Surat Kopi." Dalam puisi ini, Jokpin menggunakan metafora kopi sebagai simbol kehidupan yang singkat dan rapuh, mengajak pembaca untuk merenungkan kedalaman makna di baliknya. Dengan sentuhan humor yang halus, ia menyampaikan pesan bahwa hidup, seperti secangkir kopi, harus dinikmati dan dihargai karena bersifat sementara.


Dalam puisi "Surat Kopi," Jokpin menulis, "Di ujung secangkir kopi yang dingin//menanti sehelai cokelat muda//yang hingga kini belum juga datang," yang menunjukkan cara ia menggunakan humor untuk merenungkan tentang kemanusiaan dan eksistensi manusia secara keseluruhan. Dengan cara ini, Jokpin berhasil membuat puisi yang tidak hanya menyenangkan untuk dibaca tetapi juga menggugah pikiran dan perasaan pembaca.


Penggunaan humor dalam puisi Jokpin juga sering kali mengambil bentuk ironi terhadap kehidupan sosial dan politik di Indonesia. Ia dengan cerdas menggunakan kejadian-kejadian sehari-hari atau stereotip masyarakat untuk menyampaikan kritiknya secara halus namun tajam. Hal ini membuat pembaca terdorong untuk melihat realitas di sekitar mereka dengan mata yang lebih tajam, serta mempertanyakan norma-norma yang ada.


Dengan menggunakan humor sebagai alat untuk menyampaikan kritik sosial, Jokpin menciptakan sebuah dialog antara puisinya dengan kehidupan sehari-hari. Dalam puisi-puisinya, ia seringkali menyoroti berbagai masalah sosial dan politik yang ada di masyarakat, seperti birokrasi yang kaku dan tidak efisien. Dengan gaya yang lucu namun tajam, ia menggambarkan absurditas dari situasi-situasi birokratik, memperlihatkan kepada pembaca betapa sulitnya navigasi dalam struktur birokrasi yang rumit.


Sebagai contoh, dalam puisi "Ketika Laut Bernyanyi," Jokpin menggunakan humor untuk menggambarkan realitas sosial di Indonesia. Dalam bait-bait puisinya, ia menulis, "Laut itu makin hari makin ramai// Suara-suara mulai tertangkap//Dari yang awalnya cuma bunyi ombak //Sampai yang terakhir gara-gara pembangunan Kura-kura (Kulonprogo)." Dalam bait ini, Jokpin menggunakan humor untuk menyindir proyek pembangunan yang tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup nelayan dan masyarakat sekitar.


Puisi-puisi Jokpin bukan hanya sekedar karya sastra yang menghibur, tetapi juga merupakan cerminan dari realitas sosial dan politik di Indonesia. Melalui penggunaan humor yang cerdas, Jokpin mampu mengungkapkan ketidakpuasan dan kritiknya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat dengan cara yang menyenangkan namun mendalam. Dalam hal ini, karya-karyanya tidak hanya menawarkan hiburan tetapi juga memicu refleksi yang penting tentang kondisi sosial dan politik di negeri ini. (Bersambung)


*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads