Advertisement
Foto pentas Teater Keliling di Bali Jani V 2023 |
Catatan Rudolf Puspa
Di setiap zaman sejak bumi tercipta entah berapa ribu
tahun lalu hingga hari ini selalu di setiap perjalanan zaman ada orang-orang
yang memiliki kelebihan dari masyarakat umum. Lalu dari mereka muncul ide
gagasan baru yang bisa jadi belum pernah ada atau yang merupakan hasil dari
pengembangan adopsi karya yang sudah ada. Hal ini terjadi disemua bidang
kekaryaan manusia dalam bentuk yang berbeda-beda. Misalnya teknologi, industri,
transportasi, komunikasi, ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan kebudayaan. Merekalah
yang kemudian menjadi penggerak kebangkitan baru atau katakanlah sebagai alat
pencuci darah sehingga tumbuh warna dan aliran segar sehat. Tumbuhlah aliran
baru atau darah baru yang menjadi pengaruh besar terhadap lingkungannya.
Akhirnya lingkungan yang sudah baru tersebutpun mempengaruhi kelahiran2 baru
yang segar untuk bertumbuh kembang.
Melalui kertas ini saya lebih memilih teater sebagai
bidang kesenian yang saya geluti lebih dari 50 tahun belum dihitung ketika
merasa senang dalam kegiatan kesenian di tingkat sekolah dasar hingga menengah
atas. Ketika masih sekolah dasar memilih belajar seni karawitan gamelan Jawa.
Kini baru sadar bahwa saya tinggal di kampung di mana di sana ada sekolah
karawitan yang dari pagi hingga malam terus terdengar suara gamelan berbunyi.
Rupanya suara itu punya pengaruh yang kuat hingga ada panggilan kuat untuk
menggaulinya. Sekolah menengah pertama
pergaulan sudah berubah dan sepertinya bawah sadar saya mendesak ingin tampil unjuk
diri. Hal yang tentu saja lumrah bagi anak remaja awal. Maka pilihan pun
berubah ke seni pertunjukkan dan karena ada pandangan umum remaja yang mau
tampil modern jadinya melihat seni teater adalah seni modern. Masuk SMA semakin
kuat dengan teater yang sengaja atau tidak memberikan kepuasan menjadi tokoh
manusia yang bukan abstrak seperti wayang misalnya. Sifat hero yang nyata
sesuai dengan gejolak ke “hero” an jiwa remaja.
Terlihat bahwa lingkungan mempunyai pengaruh sangat
besar bahkan menjadi utama dalam setiap perjalanan kehidupan manusia sejak
lahir bahkan sejak berada dalam kandungan. Jika kita menyetujui hal tersebut
maka katakanlah “guru” pertama bagi manusia sejak lahir adalah ibu bapaknya.
Walau entah kenapa para cerdik pandai mengatakan bahwa pendidik utama adalah
ibunya. Barangkali itu salah satu sebab ketika terjadi perceraian maka hak asuh
anak selalu diputuskan pengadilan diserahkan ke ibu anak2 mereka.Diperlukan
alasan yang tak terbantahkan jika harus diserahkan kepada bapaknya. Betulkah
memang ibu memiliki kewajiban tersebut karena ibu dinilai memiliki kelebihan
dalam mendidik anak? Rehatlah minum dan selanjutnya kita berbincang kemudian.
Yang pasti ibu memiliki daya rasa pertama terhadap
gejolak anaknya. Dimulai ketika janin yang diberikan bapaknya mulai berproses
di kandungan ibunya. Disitulah ibu mulai berperan merasakan perubahan janin
dari hari ke hari bahkan bisa jadi dari menit ke menit atau lebih jauh dari
detik ke detik. Dari hanya denyut jantung hingga gerakkan2 bayi dalam kandungan
ibulah yang merasakan. Sering kemudian sang bapaknya disuruh ibunya menempelkan
telinga ke perut ibu mendengar denyut detak jantung anak dan selanjutnya ketika
sudah mulai ada gerakkan2. Bahkan semakin besar akan kelihatan gerakkan tersebut
di perut ibunya. Puncak perasaan, emosi sang ibu berada terkuat ketika saat
melahirkan. Kekuatan daya dorong melalui tekanan aliran nafas harus disiapkan
agar sekali hembus kelahiran terjadi tanpa harus lewat jeda sesaat bahkan
lebih. Baru kemudian hal utama yang dilakukan adalah sang bayi ditengkurepkan ke
pelukkan ibunya. Sementara pemotongan puser dilakukan. Puser yang tersambung
dengan ibunya inilah penyaubung makanan untuk sang bayi selama di kandungan.
Betapa menyatunya kehidupan dari ibu dan anak.
Lalu apa hubungan cerita kelahiran ini dengan kegiatan berkesenian? Terutama bidang teater modern yang sedang berlangsung? Saya merasakan bahwa hubungan anak dan ibu memang sangat dekat sehingga ketika memulai kehidupan sang anak akan selalu sadar atau tidak membutuhkan ibu tanpa mengabaikan kebutuhan kehadiran bapaknya. Dengan melihat catatan tersebut yang saya temukan bahwa sangat logis bila seorang ibu dapat dipastikan sejak anak lahir bahkan mungkin ketika masih di kandungan secara feeling merasakan apa bakat si anak. Mungkin belum jelas banget namun dapat merasakan tanda2nya. Jadi kewajiban sang ibulah mengawasi secara terus menerus perkembangan si bayi menjadi anak dan seterusnya. Memfasilitasi kebutuhan anak bukan mengarahkan sesuai keinginan sang ibu. Dai bayi janganlah disuruh2, dibantu, tapi biarkan ia menemukan dirinya sendiri. Mau apa, ingin apa biarkan menemukan cara mendapatkan . Kalau minta diajari apa yang dia ingin barulah berikan dan jika ternyata kemudian tidak dia pakai karena menemukan caranya sendiri tak perlu menyesal. Dukung terus hingga berhasil. Anak bukan komoditas tapi manusia yang punya jiwa dan pikiran merdeka. Berikan kemerdekaan nya.Tidak ada aturan anak harus menjadi pewaris bakat ortuya. Anak Chairil Anwar ahli hukum dan jadi notaris. Sedikitpun tak ada kegiatan kepenyairan seperti bapaknya.
10 ekskul teater SMA di Jakarta asuhan Teater Keliling
Jika melihat suasana kebatinan wanita Indonesia yang
memiliki bahkan bisa dikatakan mewarisi adab budaya yang masih feodalistik
dimana kedudukan ibu masih tetap dibawah kendali suami maka tentu saja kita
masih memerlukan perjuangan memerdekakannya. Kartini sudah memulai dan tidak
berhasil di zamannya untuk meraih kebebasan anak wanita dalam hal pendidikan.
Itu baru hal yang menyangkut bisa baca tulis. Bagaimana yang kini telah
terhampar adanya berbagai bentuk kehidupan yang sangat beragam. Katakanlah
salah satunya adalah kebebasan berkesenian dan menyangkut pengamatan saya
khususnya teater. Saya merasakan kendala terbesar untuk berlangsungnya seni
teater adalah justru datang dari lingkungan keluarga. Tidak sedikit dengar
cerita bagaimana anak2 Indonesia terlebih wanita sangat sulit untuk mendapat
dukungan utama dari lingkungan keluarga jika ingin berkiprah di dunia teater.
Belum lagi bila mau meneruskan kuliah ke jurusan teater.
Namun dengan usaha yang keras yang justru datang dari
si anak sendiri dalam melawan “tiran” dari lingkaran satu terlihat ada banyak
hasil2 yang membanggakan. Padahal jika dilihat di sekolah TK hingga SD banyak
orang tua bangga dan sangat mendukung bahkan hingga finansiil yang dibutuhkan sekolah
dalam memproduksi teater di sekolahnya. Berduyun2 saling membanggakan anaknya.
Namun ketika masuk tingkat SMP mulai kendor karena mulai melihat kedepan bahwa
perlu ijazah yang berguna nantinya diterima dikampus2 ternama yang jurusannya
menjanjikan untuk cepat menjadi kaya dalam arti profit. Apalagi ketika SMA maka
tidak mudah lagi perjalanan “bakat” anak karena makin jauh keluarga bicara soal
bakat tapi lebih kepada jabatan tinggi sebuah perusahaan atau pemerintahan
sehingga mendapat julukkan keluarga sukses karena dapat mendidik anak sehingga
sekolah tinggi bahkan keluar negeri dan bergelar sarjana.
Sebagai ilustrasi ada seorang anak sma peserta ekskul.
Ia ingin ikut main di grup saya dan karena perlu ijin ortunya maka ia datang
bawa ayahnya kerumah. Setelah banyak ngobrol yang kesannya si ortu meneliti
siapa saya dan grup saya lalu mereka pulang. Tak berapa lama saya terima WA si
anak dan mengatakan bapaknya tidak ijinkan. Ia harus jadi pengganti pemimpin
perusahaan ayahnya karena ia anak laki2 tertua. Titik. Sudah tak ada lagi
pebincangan selanjutnya dan betapa sedih anak itu dalam tangis tiap datang ke
ekskul. Ia masih berusaha ketika mendapat piagam pemain terbaik dari festival
dia pajang di ruang tamu. Pulang sekolah piagam sudah tak ada dan ditaruh
ayahnya di kamar tidurnya. Pukulan dahsyat dan akhirnya ketika kini sudah
bekerja di perusahaan dimana ia jadi ahli hukum barulah bisa bernafas dan hanya
bisa menjadi penonton teater dan sudah bahagia.
Jadi pengaruh pertama adalah pengaruh rumah dan kedua
adalah pengaruh lingkungan hidup yang besar sekali dapat mengubah “bakat” anak
yang selanjutnya sering disebut “bakat” terpendam. Syukur bila suatu hari yang
terpendam bisa mendapat kemerdekaannya namun jika tidak hanya akan jadi impian
yang redup. Namun dari banyak penonton yang saya temui ada cerita2 miris
seperti ini. Senang kini bisa jadi penonton setelah kerja dan punya uang bisa
beli tiket. Tersalurlah pendaman cita2 sejak kecil untuk ke panggung namun
gagal karena bla bla bla itu. Ada yang ketika diajukan proposal begitu melihat
dari teater langsung dibantu karena ceritanya bla bla bla tadi. Ternyata orang2
semacam ini jumlahnya tidak sedikit dan jika rajin mencari maka akan banyak
berarti bagi penghidupan teater modern Indonesia.
Lingkungan hidup makin cepat berubah dengan semakin
gencarnya perubahan2 teknologi ke digital dan selanjutnya terus menghasilkan
karya2 digital yang semakin cepat juga perubahannnya. Mau tidak mau lingkungan
berkesenian yang di tanah air semakin sepi peminat karena memang tak ada yang
menghidupkan lagi akhirnya berakibat menipisnya pengaruh berkesenian pada
anak2. Barangkali masih ada juga seperti di Bali yang tiap kelurahan bahkan
RT/RW ada ruang kumpul warga dan kegiatan utama berkesenian. Menabuh gamelan,
menari, sinden dan hebatnya jika ada warga yang dua tiga kali tak hadir akan
didatangi untuk dilihat apa ada kesulitan hidup misal sakit? Dengan demikian
kesneian Bali masih terawat sehingga memiliki kegunaan nyata bukan hanya
mengasah kepekaan rasa namun juga mampu menjadikan karya yang menghasilkan bagi
kehidupan sehari2nya. Terlebih lagi didukung dengan kegiatan keagamaan yang
tidak memisahkan dengan seni. Justru menyatu menjadi adab budaya kehidupan
sehari2nya.
Kesimpuan yang saya dapatkan adalah adanya kenyataan
bahwa seni teater modern Indonesia kehidupannya ditentukan oleh sepak terjang
seniman2nya sendiri. Jika sepakat
menerima kenyataan ini maka kerjasama sangat diperlukan bagi mempercepat
bangunan seni teater modern Indonesia semakin megah menuju puncak2 dunia. Salah
satu langkah kuat adalah berusaha menerobos kegelapan hingga masuk ke kancah
panggung teater di Eropa Amerika. Kehadiran disana akan sangat berarti bagi
kegiatan didalam negeri. Mau tidak mau memang itulah adab yang sedang
berlangsung puluhan tahun bahwa apapun kalau sudah bisa keluar negeri maka
pulang akan punya harga. Walau itupun toh masih perlu kerja kuat lagi karena
juga tak mudah “menjual” apa apa yang kita nilai baru ternyata belum juga
diterima. Tapi percayalah bahwa semangat
saya datang saya melihat saya menang dari filosofi Perancis itu dapat
diterapkan. Barangkali padanannya adalah semangat “gerilya” meraih kemerdekaan
bangsa dapat digunakan.
Pesan mas Hilmar dirjen kebudayaan yang saya hormati
begitu kuat menjadi daya picu untuk berderap terus. “Siapkan barangnya dan
jangan berpikir soal dana”.
Salam jabat merdeka berkarya.
Cakung Jakarta 14 Juni 2024.
Rudolf Puspa
Email :pusparudolf29@gmail.com