Advertisement
Catatan Rudolf Puspa
Melihat perjalanan sejarah kehidupan politik ekonomi sosial budaya dan teknologi di tanah air dan Eropa menemukan perbedaan yang sangat mencolok khususnya seni teater Indonesia modern. Ada tantangan yang cukup besar dalam hal tekanan hidup yang sama. Jika di Eropa tertekan oleh gerak industrialisasi akhir abad 19 maka di Indonesia hingga hari ini masih berkutat pada ekonomi, sosial, politik bahkan agama yang menjadikan gerak kebudayaan khususnya seni dan lebih menjurus seni teater terasa berada dalam suasana kebatinan yang megap-megap.
Jika melihat mundur agak jauh ke zaman kekuasaan orde baru 32 tahun maka sepertinya di tengah perjalanannya sekitar tahun 1974 dengan adanya penahanan WS Rendra tanpa proses pengadilan akibat keberanian Rendra dalam memberikan kritik pada penguasa yang menurut penilaiannya telah terjadi tirani kekuasaan. Mungkin sejarah ini sudah banyak terlupakan bahkan ketika WS Rendra dibebaskan lima tahun kemudian kehadirannya sudah lemah. Anak muda tak kenal siapa dia karena telah dihilangkan entah sengaja atau tidak selama lima tahun.
Tidak selalu namun pengaruh diasingkan akan ada dampak pada daya kreatifitas dalam berpikir. Namun Rendra masih banyak menghasilkan karya2 puisi hingga hari akhir hidupnya. Bangsa yang tak pernah dididik menghilangkan penyakit pelupa tentu saja tidak bisa disalahkan bila lupa siapa Rendra.
Tercatat dalam sejarah sastra masih ada seorang penyair yang punya keberanian melawan yakni Wiji Thukul yang tahun 1998 hilang tanpa diketahui rimbanya hingga saat ini berbarengan dengan hilangnya aktifis dari kalangan kampus. Suasanapun semakin tidak kondusif bagi kehidupan seni teater walau tak ada aturan atau perintah yang dapat dibuktikan bahwa ada larangan pertunjukkan teater. Namun ada rasa takut untuk berkarya sehingga pertunjukkan teater di seluruh Indonesia semakin sepi.
Katakanlah hidup segan matipun tak mau sehingga jika masih ingin terus berkarya diperlukan nyali yang kuat. Diperlukan kemampuan mencari celah sehingga menemukannya di antara tembok2 bersenjata yang tak kasat mata tapi ada dimana-mana. Pementasan harus menjaga kata dan kalimat, expresi ucapan yang tidak membuat para penjaga keamanan curiga ada perlawanan terhadap penguasa. Paling tidak pengobaran perlawanan bersama atau kata indahnya “pemberontakkan”. Hidup zaman itu sepertinya dihantui rasa takut yang seolah-olah tak akan ada yang mampu membebaskannya. Walaupun langka namun masih ada samar2 berharap ada mujizat datang.
Tahun 1998 ternyata datang sinar terang dari ufuk timur yang tiba-tiba mengubah orchestra politik yang kemudian dikenal sebutan orde reformasi. Segala pintu yang selama ini tertutup dibuka lebar dengan dicabutnya undang-undang yang mempersulit “kebebasan” menyampaikan pendapat yang bagi seniman adalah kebebasan berkarya. Tumbuh kembali si anak hilang dan mulai di sana-sini pertunjukkan teater kembali hadir.
Dalam kebebasan berkarya ini ada yang terlupakan atau kurang awas melihat Indonesia kebanjiran berbagai produk dari luar terutama teknologi. Begitu cepat hingga mencapai abad digital yang benar2 menguasai pasar besar Indonesia terutama anak2 muda yang adalah calon2 pemimpin bangsa. Keluar dari gerbang penjara yang sudah kehilangan harapan hidup mendadak langsung dihadapkan lampu2 sorot ribuan watt yang belum pernah dilihat menjadikan kegalauan akibat kehilangan jati diri. Inilah tantangan yang tidak disadari sehingga tidak ada persiapan melalui pendidikan seni disekolah yang akan mengantarkan bakat2 anak2 Indonesia dibidang kesenian sehingga lahir pelaku2 seni yang handal.
Begitu kuat terasa cengkeraman gaya hidup baru dari derasnya sepak laku kawanan ekonomi, teknologi dan politik. Sementara para seniman dan budayawan semakin sepuh sehingga daya penyerapan banjir besar karya2 baru dari luar hilang dan justru hanya menjadi peniru atau lebih baik sedikit penyadur belaka. Bahkan lebih tampak mudah menjadi sekedar penterjemah atau membuat foto copy yang jelas lebih cepat. Lupa bahwa karya foto copy tetap tidak akan lebih baik dari aslinya. Munculah “pakar2” seni yang arah kiblatnya ke Broadway, Korea. Padahal Korea juga adalah hasil kerja keras mereka meniru Broadway dan mampu membungkus seolah-olah karya asli Korea. Untuk itu mereka kabarnya didukung pemerintahnya yang selama kurang lebih 25 tahun memberi jalan terang sehingga berhasil mendunia seperti sekarang.
Pelan tapi pasti banyak anak2 muda kita yang dengan caranya sendiri belajar keluar dan umumnya ke Broadway dan pulang membawa lisensi seperti yang juga dilakukan orang muda zaman orde baru. Mereka yang karena kekuatan dana orang tuanya bisa sekolah ke negeri paman Sam dan pulang membawa lisensi sehingga merebaklah makanan2 siap saji dan sebangsanya. Bukan bekerja sesuai yang dipelajari di kampusnya di sana namun menjadi pengusaha dengan modal lisensi dan dana warisan ortunya.
Seniman atau lebih tepatnya sutradara2 teater di barat sudah melanglang buana keluar dari negerinya mencari bentuk kesenian yang tak ada di negerinya lalu dipelajari dikembangkan dan dengan kekuatan daya inovasinya justru mampu menciptakan karya2 baru. Bahkan tidak sedikit yang mendunia seperti cerita Mahabarata dari India dan Ila Galigo dari Sulawesi selatan. Ironis sekali Ila Galigo digarap dengan pemain2 dari Indonesia namun pementasannya justru di mancanegara dan paling dekat di Singapura. Baru sekian tahun kemudian atas jasa Jusuf Kala maka bisa pentas di Jakarta.
Teater Indonesia berjalan meloncat-loncat tanpa landasan sejarah karena memang tidak ada pelajaran sejarah teater di ruang2 pendidikan di sekolah. Dengan terbukanya pintu masuk negeri maka semakin gencar masuk berbagai warna bentuk gaya seni pertunjukkan. Kini kita bisa lihat sedang gencar pengaruh musikal teater. Maka raksasa Broadway pun cepat mencium gelagat anak muda ini dan langsung merekrut anak2 muda dan dibuka workshop untuk menjadi pelaku teater musikal. Yang beruntung dikirim kesana melihat dan sedikit belajar lalu pulang bawa sertifikat atau lisensi dan kemudian berkarya.
Namun yang tidak disadari adalah ada agenda senyap dibaliknya yakni tetap yang namanya cuan mengalir dengan menjual lisensi. Kalau bahasa marketingnya saham. Kesenianpun dapat dijual atau menjadi bahan untuk dunia persahaman. Sementara entah dari mana mulainya namun kita disuntik ajaran bahwa seni itu tidak boleh komersil karena itu merendahkan martabat atau harga diri seniman. Sambil lalu ditekankan bahwa apa yang datang dari luar adalah yang bergengsi. Gengsi itulah jualan utama para saudagar besar dari negeri jauh di seberang.
Belajarlah sampai kenegeri Cina, sebuah petatah petitih yang manjur. Jadi benar bahwa untuk belajar dari manapun tidak salah jika bisa melihat sisi positifnya. Yang jarang kita lihat atau sadari yakni membangun kesadaran baru mulai dari diri sendiri bahwa dengan ilmu baru yang didapat menjadi alat penggali seni budaya yang ada di dalam negeri sendiri. Miris rasanya melihat kita sibuk hanyut ke barat sementara pada saat yang sama diam2 barat mempelajari milik kita dan diboyong kenegerinya diolah dan menjadi sebuah pertunjukkan teater musikal modern yang mengagumkan. Tentu sangat berhasil karena ada dukungan masyarakatnya yang selalu suka melihat hal baru. Rupanya kebiasaan menerima karya2 teknologi baru yang sebenarnya lebih memberi kenikmatan badani terasa ada yang kurang yakni kenikmatan rohani sebagai penyeimbang kenikmatan baru jasmaniah. Salah satu adalah lebutuhan karya2 baru dari seniman.
Jika mau melihat ketambang2 seni yang tersebar di seluruh persada nusantara maka akan diketemukan beragam seni pertunjukkan yang sudah terkubur lama atau yang masih ada namun terengah-engah nafasnya. Boleh dikatakan bahwa secara umum seni pertunjukkan rakyat nusantara dapat masuk kategori musikal. Selalu ada dialog, tari, nyanyi, silat, musik. Jika kuliner dan fashion sudah mulai digali dan terbukti memang memiliki kehebatan2 yang unik maka musikal teater rakyat nusantarapun demikian pula. Dibutuhkan keberanian dan kemauan menggalinya dan dibawa ke laboratorium seni sehingga menemukan rohnya dan hidup kembali namun melalui tatanan baru. Hasil inovasi adalah sesuatu yang baru, yang belum ada sebelumnya dan tidak salah melalui jalan mengolah bahan lama menjadi karya baru. Dengan demikian jika mau bicara pendidikan nasionalisme ada keyakinan jalan ini bisa menjadi salah satu jalan menuju Roma.
Melihat suasana yang sedang berlangsung maka tak perlu mencari kesalahan siapa namun merenung dan melihat kedalam diri masing2 sambil bertanya apa kah kita punya ketertarikkan menggali sumber daya kesenian yang beragam dari Sabang – Merauke? Jika memang tertarik mari bergandeng hati menggalinya dan mengangkatnya keatas. Bukan tidak mungkin dapat berdiri sejajar dengan yang sedang mencuat di dunia internasional.
Kuliner dan fashion sudah bisa berpamer diri dan mendapat apresiasi yang tinggi di mancanegara. Bahkan kini mendapat dukungan kuat dari Menparekraf maka dalam kesempatan ini mohon maaf bila berharap pemerintah ikut cawe-cawe memberikan solusi karena perjalanan seni teater Indonesia masih gagap dalam mencari dan mendapatkan asupan finansiil yang dibutuhkan untuk waktu barangkali satu generasi bekerja full time.
Salam jabat merdeka berkarya.
Pondok Dewi Cisarua 16 Juni 2024.
Rudolf Puspa
Email: pusparudolf29@gmail.com