Benang Tipis Rekaan: Catatan pameran Me(reka) di Galeri Taman Budaya NTB -->
close
Pojok Seni
24 June 2024, 6/24/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-06-24T01:00:00Z
SeniUlasan

Benang Tipis Rekaan: Catatan pameran Me(reka) di Galeri Taman Budaya NTB

Advertisement
Lukisan Kris Tambora: Era Wula
Lukisan Kris Tambora: Era Wula


Oleh: Nuraisah Maulida Adnani*


Pojok Seni/Mataram - Kali ini Galeri Taman Budaya NTB tampak hidup. Pameran seni rupa Me(reka) diselenggarakan oleh Dikbud provinsi NTB berlangsung 14—21 Juni 2024. Ketika saya di sana pada hari kedua pameran, dari luar dan dalam terlihat sepi, hanya beberapa pengunjung yang datang. Walau begitu tidak ada kesan sepi di dalam galeri, karya yang dipajang seolah berbicara penuh percaya diri kepada pengunjung yang melihat mereka.


Pembuka sekaligus penutup pameran memperlihatkan “82.5.29” karya Wisnu Aji Kumara, sebuah mix media yang menginterpretasikan surah An-Nisa ayat 29, di bagian tengah ayat itu tertulis menggunakan warna merah. Ayat ini berbicara tentang peringatan dan nasihat pada orang-orang beriman agar tidak memakan harta sesama dengan hal yang batil (jelek), dan tidak membunuh diri sendiri. Baik jauh dan dekat terlihat objek daun-daun pisang membungkus mata, usus, hati, jantung, dan otak yang mentah. Darah divisualkan dengan rapi dan mengkilap, tidak melebihi batas dari dalam piring besi. Tentu semua itu hanyalah rekaan. Tidak ada yang benar-benar atau sungguh-sungguh nyata, walau dari kejauhan karya ini terlihat nyata dan sungguhan. Piring-piring diurutkan dari yang terbuka-tertutup-terbuka, sebagaimana ketika seseorang akan memakan nasi bungkus.


Selanjutnya, para pengunjung dapat menikmati berbagai macam lukisan, dari yang abstrak, abstrak figuratif, surrealis pop art, potret, dan sebagainya. Begitu bergeser ke lorong sebelah, lukisan-lukisan terlihat begitu esa (besar dan berkuasa), mata-mata seolah dibuat hanya tertuju pada mereka. Mungkin hal ini dikarenakan ruangan, pencahayaan, dan penataan yang pas. Tidak kurang dan tidak berlebihan.


Pameran ini seperti mencampurkan berbagai perasaan yang tak terjelaskan, penyusunan beberapa lukisan yang berbentuk selalu disandingkan dengan yang tidak berbentuk. Anggap saja yang berbentuk adalah sesuatu yang dapat kita kenal, manusia, tumbuhan, hewan, mata, dan sebagainya. Dan yang tidak berbentuk adalah sesuatu yang tidak kita ketahui atau kenali, goresan, tumpahan cat, garis tebal atau tipis. Saya mencoba membagi lukisan-lukisan dari yang berfigur banyak, figur tunggal, dan abstrak.

Lukisan Ade Dhinus: "Mete Langan Uleq"


Lukisan berfigur banyak dapat dijumpai pada karya Akhmad Dhinus Afaqhi (Ade Dhinus) “Mete Langan Uleq”, garis-garis tegas membentuk sosok empat lelaki dan seekor kuda, dan objek-objek lain sebagai latar seolah menyimbolkan sesuatu, menggunakan warna hitam-putih. Melihat karyanya saja, langsung mengingatkan pada lukisan-lukisan gaya yunani kuno. Lukisan ini mencampurkan gaya lukis kuno dengan cerita lokal NTB yang mana Mete Langan Uleq berarti mencari jalan pulang, sebagai eksperimen saya rasa hal ini berhasil menjadi sesuatu yang baru. Sedangkan “Inen Gumi” yang berarti ibu bumi, lukisan yang berpusat seorang perempuan berpakaian adat sasak, lebih mengarah atau dominan pada simbol dan surealistik, mimpi dan kenyataan yang berpadu. Warna-warna dan detail kecil digarap sabar dan serius, dari kejauhan lukisan ini seperti mengisyaratkan doa dan harapan.


Selanjutnya, lukisan Arbi “Untitled”, membentuk empat orang lelaki yang sedang mengangkat sesuatu, seperti kayu atau besi. Mungkin figur itu sedang berbaris, mungkin sedang bergotong royong. Memakai warna-warna yang sederhana; hitam, kuning keemasan, hijau, dan sedikit kemerahan. Mungkinkan pemberian judul tanpa judul itu berarti sesuatu? Atau sebenarnya tidak bermaksud apa-apa?


Plot Yourself” yang dibuat oleh Kris Tambora, kumpulan dari potret-potret karakter abstrak figuratif. Dalam tiap kotak-kotak beberapa menangkap ekspresi karakter yang tidak ekspresif, beberapa menangkap warna dan campuran tekstur. Sosok ini seperti teman imajiner yang memvisualkan perasaan-perasaan berbeda dari hari ke hari lainnya.


Kemudian lukisan Dulhayi, “She Is Different From Another Women”. Menangkap peristiwa seorang lelaki yang sedang merayu perempuan di depannya. Karya ini terasa amat pribadi, dan hal ini dijelaskan dalam katalog, memang benar adanya, pengalaman asmara menjadi tema utama. Wajah dua manusia itu sengaja dihilangkan, latar kampung dengan pohon dan rumah kayu, penggambaran suasana senja yang romantis dan melankoli.


Lukisan berfigur tunggal dapat ditemukan pada potret hewan-hewan oleh Oji Bangunpagi. Potret kucing pada “Sebuah Kejadian” dan potret burung gagak pada “Habil’s Revenge”. Keduanya sama-sama merujuk pada referensi cerita, baik cerita pribadi atau pengalaman Oji dengan kucing yang tragis dan cerita yang pernah kita dengar mengenai Qabil dan Habil.


Berbeda dengan lukisan “Plot Yourself”, “Era Wula” oleh Kris Tambora terasa lebih matang. Figur karakter seolah hidup, mungkin karena konsep yang diambil lebih menantang, merealisasikan mitologi dengan imajinasi sosok dari daerah Maumere.


Potret figur imajiner Phalonk, “Kahlo Mualaf” seperti sebuah pemaksaan yang “mengganggu”, menciptakan nuansa ganjil. Sedangkan potret figur abstraknya pada “Unknow Figure” dengan empat panel yang hampir sama, yang membedakan hanyalah warna yang digunakan. “Dekkebadekbadek” yang dibuat M Syarif Hidayatullah memotret kompleksitas wajah yang beraneka bentuk geometri khususnya kubisme, mengingatkan saya pada gaya lukis Picasso. Harmoni warna-warna menyatu dalam satu potret, wajah yang membingungkan.


Kemudian lukisan Dulhayi, “She Is Different From Another Women 2”. Potret perempuan tanpa wajah yang sama dari “She Is Different From Another Women” nuansa warna-warna romantis sangat terasa. Lukisan ini seolah pengunjung dapat melihat bagaimana seniman memandang perempuan yang dicintainya.


Dua lukisan Firmansyah yang saling melengkapi, perempuan berjilbab yang dimaknai sebagai seorang ibu. “Melihat Cara Ibu Bekerja” dan “Melihat Cara Ibu Menangis”, satu berwarna-warni dan satu membiru-pilu. 


Babat Nifus: Mengosongkan Diri#1
Babat Nifus: Mengosongkan Diri#1


Terakhir pada kategori figur tunggal, lukisan Babat Nufus, “Mengosongkan Diri #1” dan “Mengosongkan Diri #2”. Samar-samar dengan warna hitam-kelabu-putih membentuk sebuah tubuh yang pada bagian tertentu terlihat tengkorak dari tubuh itu. Warna hitam yang dominan dan tulang mengingatkan saya pada foto X ray, namun pada lukisan ini terlihat lebih artistik.


Hanya dua orang yang membuat lukisan abstrak. Mizan Torek dan L. M. Agus Noviandi. Keabstrakan Mizan Torek terasa lebih romantis dan feminim karena berawal dari tema cinta yang baginya ambigu dan rumit, baik pada “21951015129” dan “Z & N 919119912”. Sedangkan keabstrakan L. M. Agus Noviandi sangat emosional, dia seperti meledak-ledak dan melampiaskan sesuatu pada “Tentrem” dan “Suwung”-nya.


Pada catatan kuratorial, tidak ada penjelasan kaitan yang kongkrit antara kuratorial dan karya pameran (mix media dan lukisan-lukisan) yang disuguhkan, ada sesuatu yang kurang dalam pengaitan tersebut, mungkin karena tulisan itu terlalu padat, pendek, kurang atau belum dieksplorasi lebih dalam, terlebih hanya dua paragraf saja. Tidak terjelaskan mereka atau rekaan macam apa yang dibuat oleh seniman, bagaimana atau apa benang merah dari tiap lukisan ke lukisan lainnya.


Dalam katalog terdapat keterangan seniman-seniman menggunakan berbagai referensi untuk karya mereka, dari ayat dalam kitab suci, mitologi, folklore sasak, tokoh terkenal, pengalaman hidup, dan sebagainya. Bagaimana mereka memilih refesensi dan mengkaitkan pada karya mereka tentu menjadi terasa berbeda sebelum membaca keterangan tersebut. Mungkin berbeda bukanlah kata yang tepat, melainkan lebih kaya dalam melihat sisi yang lain, walau ada bagian teks tertentu seolah dibuat-buat. Bisa jadi referensi itu yang dimaksud “reka”, tapi hal itu terasa amat tipis sekali.


Begitu keluar dari pameran ini  saya merasakan kepuasan yang ganjil. Lukisan-lukisan yang dipajang punya karakter dan gaya yang matang. Mungkin suatu saat masing-masing dari 10 perupa itu akan mengadakan pameran tunggal, mungkin sudah saatnya, kita tinggal menunggu.


Biodata Penulis


Nuraisah Maulida Adnani lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Januari 2001. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Mataram. Menyukai sastra dan seni rupa. Saat ini bergiat di komunitas Akarpohon, juga mengelola perpustakaan Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Ads