Persiapan Gelar Musikal "Aku Chairil" Oleh Teater Keliling Generasi Kedua -->
close
Pojok Seni
31 May 2024, 5/31/2024 07:00:00 PM WIB
Terbaru 2024-05-31T12:00:00Z
Ulasan

Persiapan Gelar Musikal "Aku Chairil" Oleh Teater Keliling Generasi Kedua

Advertisement
pentas aku chairil Teater Keliling




Catatan Rudolf Puspa



Tanggal 25 Mei 2024 di auditorium Galeri Indonesia Kaya teater keliling generasi kedua pimpinan Dolfry Inda Suri (Oi) menggelar karya terbaru musikal “Aku Chairil ” karya Dolfry dan Rudolf Puspa yang disutradarai Rudolf Puspa. Pertunjukkan dilaksanakan pukul 15.00 dan 19.00 wib. Galeri Indonesia kaya (GIK), adalah sebuah auditorium yang dibangun oleh Djarum Foundation untuk menampung kegiatan seni budaya Indonesia.  Grup kesenian apapun boleh mengajukan pemakaian tempat yang tentu saja melalui akurasi dari team khusus. Namun setiap hari Sabtu adalah khusus untuk kegiatan yang disponsori Galeri Indonesia Kaya. 


LATAR BELAKANG PEMIKIRAN


Ketika Dolfry berbincang dengan pengelola GIK akhir 2023 tercapai kesepakatan untuk kerjasama gelar teater di auditorium GIK. Pihak GIK mengajukan gagasan untuk menampilkan cerita yang membawa pesan tentang sastra Indonesia. Maka kamipun langsung berselancar mencari tokoh2 sastra Indonesia yang cukup banyak jumlahnya sejak zaman pra kemerdekaan hingga kini. Akhirnya kami sepakat memilih penyair Chairil Anwar.  Tim produksi berkumpul disebuah resto Nomi Nomi di Rawamangun berembug dan akhirnya memilih 8 puisi Chairil yang akan menjadi dasar pembuatan skrip. 


Puisi2 tersebut adalah 1. Ajakan (1943). 2. Ibu . 3. Sajak Putih (1944). 4. Siap sedia (1944). 5. Karawang-Bekasi (1948). 6. Kabar dari laut (1946). 7. Aku (1943). 8. Derai-Derai Cemara (1949)

Pada bulan Januari 2024 mendapat jadwal kepastian pertunjukkan 25 Mei 2024. Maka langsung bergegas menyiapkan skrip. “GAZZZZ.......”  istilah anak now yang di team artistik.


PENULISAN SKRIP


Rudolf Puspa mendapat kepercayaan untuk menyusun skrip bersama Dolfry Inda Suri. Maka segera mencari buku2 yang berbicara tentang Chairil Anwar . Kemudahan beli bukupun sudah tersedia lewat Shopee. Empat buku kami beli melalui online sebagai bahan utama menulis skrip tentang Chairil. Tentu terasa banyak kesulitan menggali siapa Chairil yang jika dihitung tahun ini sudah berumur 102 tahun. Sementara tokoh2 sastra yang menjadi saksi hidup pun sudah tiada. Penulis ditantang untuk berselancar secara imajinatif melihat Chairil sedetail2nya dalam menjalani kehidupan.


Pada bulan Januari 2024 kami sedang sangat sibuk menyiapkan pentas 50 tahun teater keliling yang akan diadakan di Gedung Kesenian Jakarta 25 dan 26 Pebruari 2024 sehari dua kali manggung. Masih ditambah satu hari sebelumnya 24 Pebruari 2024 khusus undangan untuk teman2 seniman dan wartawan serta keluarga pemain dan crew artistik dan produksi. Oleh karenanya masih terlalu rumit otak untuk menyusun skrip “Aku Chairil” saat itu.  Sementara hiruk pikuk kampanye pilpres dan pileg menambah ketegangan batin dan pikiran. Bersyukur latihan2 terus berjalan lancar dan tiket sold out.


pentas aku chairil Teater Keliling


Namun toh diantara kesibukan menyiapkan drama “Mega Mega” yang dimusikalisasikan penulis tetap meluangkan waktu membaca buku2 tentang Chairil. Baru pada bulan Maret mulai merangkai-rangkai jalan cerita yang sudah sama-sama disusun tim produksi.  Suasana ketenangan batinku sudah pulih dan kembali ke nol maka tanggal 18 Maret 2024 subuh bangun dan buka laptop menulis skrip Chairil.  Hanya ada istirahat sarapan, makan siang saja sehingga sore hari skrip sudah selesai. Kukirim ke Dolfry untuk dipelajari dan diperbincangkan lagi hingga menjadi sebuah skrip hasil karya berdua. Terjadilah revisi bersama sampai empat kali dan final skrip “Aku Chairil” adalah 5 April 2024.


SINOPSIS


Dari kehidupan seorang penyair selama 27 tahun dan mendapat gelar pelopor angkatan 45 oleh HB Yasin maka akhirnya dapat tersusun sebuah cerita sepanjang 1,5 jam sesuai dengan perjanjian dengan GIK.  Dimulai dengan cerita narator yang menjadi dalang sehingga merupakan tokoh yang menciptakan kaitan rantai dari adegan ke adegan berikut sehingga terasa mengalir nyata. Lanjut masa remajanya yang sudah memilih menjadi penyair di umur 15 tahun namun selalu ditolak puisi2nya oleh penerbit2 di Medan. Kecewa namun teman2nya mendukung hingga iapun bangkit. Melalui puisi “Ajakan” yang dinyanyikan dan tarian tergambar bagaimana ia tumbuh dengan keyakinan akan kesenimanannya.


Awal hidup mudanya dilingkari oleh suasana kedua orang tua walaupun punya kedudukan yang tehormat dan mewah namun tiap hari hanya menyaksikan pertengkaran ayah ibunya. Tak ada yang mengalah bahkan diakhiri dengan perceraian. Pukulan berat bagi Chairil yang sedang tumbuh dan membutuhkan bimbingan ayah dan ibu.  Walau Chairil menahan ibunya namun ibunya sudah memilih berpisah dan meninggalkan rumah. Chairil semakin menjadi dekat dengan hati ibunya hingga menuliskan dalam sajak berjudul “Ibu”. Nyanyian sendu puisi tersebut tentu menjadikan suasana perpisahan anak dan ibu terasa menyayat hati.


Ia tak betah dirumah hingga memutuskan merantau ke Batavia menyusul ibunya sambil meneruskan cita2 menjadi penyair. Iapun berkenalan dengan tokoh2 sastra yang lebih senior seperti HB Yasin, Rivai Apin dan Asrul Sani. Merekalah sahabat2 dekatnya hingga hari kematiannya selain tentu saja bukan hanya sastrawan namun ia bergaul dengan musikus, teaterawan, koreografer serta pelukis. Chairil yang memang charming sejak sekolah selalu disenangi gadis2 indo maka tak ayal lagi di Bataviapun banyak kenalan gadis2 yang memiliki arti lebih tidak sekadar percintaan anak muda. Melalui kisah ini hanya satu yang kami tampilkan yakni Sumirat gadis desa Paron Madiun yang suka melukis. Pertemuan diawali di pantai Cilincing dan merekapun pacaran dan satu sajak untuk Sumiratpun ditulisnya yakni “Sajak Putih”. Sumirat menyanyikan sambil berdansa wals dengan Chairil. Bapaknya kurang setuju dan menolak lamaran Chairil sebelum punya kerja dan gaji tetap.


Sebagai pelopor angkatan 45 ia membawa bentuk baru puisi yang berlawanan dengan gaya dan pakem angkatan pujangga lama dan baru. Suasana saat itu sangat menyentuh hati Chairil yang benci penindasan dalam bentuk penjajahan. Ia ingin kebebasan yang memiliki kerjasama erat. Melalui puisinya berjudul “Siap Sedia” ia mempengaruhi sahabat2nya untuk bersama melawan penjajah merebut kemerdekaan. Maka dalam tarian semangat dan nyanyi mengawali sebuah perjuangan baru yang bukan bersenjata mesiu namun kata-kata.


Ketika sedang bercanda dengan bayinya yang lahir dari pernikahannya dengan Hapsah Wirareja gadis dari desa Jawa Barat namun memiliki kecerdasan yang baik bahkan termasuk intelektual karena hingga pensiun ia bisa kerja di kemendikbud; Chairil segera meninggalkan anak istrinya mendengar dari radio ada penyerbuan tentara Belanda ke Karawang-Bekasi. Banyak nyawa melayang sehingga Chairil berangkat merasa terpanggil. Iapun mencatat menjadi puisinya yang terkenal “Karawang-Bekasi”. Dilagukan dengan derap mars perjuangan sehingga menunjang adegan sebuah peperangan yang memakan korban jiwa rakyat tak bernama.


Ia telah memilih untuk hidup sepenuhnya hanya berkarya dan hidup dari hasil karyanya. Tentu saat itu penghasilan penyair tak cukup untuk menghidupi keluarga dan kesulitan ekonomi ditambah Chairil yang lebih banyak diluar rumah akhirnya istrinya minta cerai.  Puisi “Kabar dari laut” pun menggema menjadi simbol perpisahan mereka. Betapa terpukul Chairil karena anak nya dibawa Hapsah dan ia tak boleh jumpai juga dirinya. Ia sering mengendap ke kantor istrinya hanya untuk mengintip Eva putri terkasihnya. Iapun semakin terserang sakit yang ternyata menyerang paru2nya yang semakin parah. Semakin merosot dalam berkarya yang artinya tak punya penghasilan sehingga bergantung pada kebaikan teman2nya.


Betapa semakin terpukul ketika mendapat kabar ayahnya yang sudah menjadi bupati di Rengat Indragiri Riau wafat ditembak Belanda karena tak mau lari namun tetap berada didepan memimpin rakyatnya dalam bergerak menuju pengungsian. Sang bupati yang tegar itupun melantunkan puisi “Aku” yang merupakan cikal bakal kebesaran Chairil sebagai penyair pemberontak terhadap segala bentuk penjajahan. Nyanyian yang begitu menghentak hati setiap pendengar selesai dinyanyikan tepat dengan tersungkurnya sang ayah Chairil oleh peluru tajam dari penembak jitu yang tersembunyi.


Chairil tak mampu lagi menahan kesakitan batin dan raganya yang merupakan gumpalan amarah, kecewa, tindihan peristiwa2 pribadinya sehingga  didepan teman2 karibnya ia menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit Cipto Mangunkusumo dan dikubur di Karet sesuai dengan apa yang pernah dia ucapkan jauh sebelum meninggal. Istri setianya untuk pertama kali hadir sejak perceraiannya. Ia mulai menyanyikan Puisi “Derai-Derai Cemara” yang disambut seluruh yang hadir. Begitu syahdu nyanyi bersama penuh balutan rasa haru namun terselip kebanggaan memiliki seorang petarung bagi kemerdekaan bangsanya.


Sang naratorpun akhirnya membuka siapa dirimya yang adalah putri Chairil Anwar yang tak pernah dia kenal karena umur 1 tahun 10 bulan sudah ditinggal pergi selamanya. Ia menceritakan kisah ayahnya atas kesadaran untuk menularkan semangat ayahnya sebagai orang muda yang revolusioner, nasionalismenya kuat sehingga mampu menjadi petarung dengan senjata urtamanya puisi yang mendobrak menembus segala rintangan. Iapun membacakan puisi karya Dedy salah seorang pemain sebagai puisi dari rakyat Indonesia bagi penghormatan kepada Chairil sang sumur abadi yang tak akan habis ditimba pesan moralnya untuk mencintai bangsa dan negerinya.


PEMLIHAN PEMAIN


Waktu yang tersedia untuk latihan hanya Maret April dan Mei. Maka segera tim produksi membuka audsi intern artinya hanya para pemain yang pernah ikut produksi teater keliling saja yang akan diterima.  Ternyata cukup banyak yang daftar sementara ada aturan dari GIK bahwa rombongan teater keliling dibatasi hanya 30 orang. Jumlah ini sudah mencakup pemain dan tim produksi serta artistik. Kalau bicara produksi bagi saya sebagai sutradara bukan hal yang mengejutkan karena selama keliling terbiasa dengan jumlah peserta yang maksimal 10 orang yang siap kerja rangkap pemain dan artistik hingga urusan produksi. Bukankah nafas seni teater adalah hasil kerja kolektif?  Tidak jarang keliling hanya 2 hingga lima orang saja. Mengikuti festival teater internasional sering cuma bertiga saja dan bekerja keras hingga bisa menggegerkan publik. Jadi generasi pertama justru kuat daya kreatifitasnya untuk mengecilkan jumlah pemain dari naskah yang banyak perannya namun generasi kedua bagaimana yang sedikit jadi bisa banyak hingga kolosal. Namun jika keliling tetap membatasi hanya 15 orang yang artinya mampu kerja rangkap. Nafas kerja teater keliling sejak awal masih hidup.


Tim produksi menyaring dan terpilihlah 15 untuk pemain dan 15 untuk tim produksi dan artistik. Selanjutnya langsung disusun castingnya. Saya sebagai sutradara hanya mengajukan satu pemain sejak awal audisi. Ada keyakinan besar pemain yang baru bergabung sejak produksi Mega Mega ini punya apa yang sering disebut “bakat alam”. Produser menyetujui dan selanjutnya segera ada pertemuan awal latihan.  Semua yang terpilih hadir dengan berdebar akan dapat peran apa. Tentu berharap mendapat peran utama ataupun peran2 yang bukan sekadar lewat. Padahal dalam teater tak ada peran kecil. Celotehnya dikatakan yang ada pemain kecil.


Begitu diumumkan casting maka bersoraklah semuanya mendapat peran. Terlebih yang dapat peran Chairil sampai terucap ini sudah jadi idaman main peran utama di teater keliling. Langsung reading pertama dilakukan. Betapa terkejutnya sang pemeran utama yang ternyata dari awal sampai akhir tidak ada dialognya. Inilah ide experimen saya selaku penulis yang sekaligus sutradara. Seolah-olah jika tak ada dialog lalu jadi tidak menonjol? Justru ini tantangannya bagaimana menggunakan kehebatan olah tubuh dan suaranya sehingga Chairil muncul bukan sebagai peran bisu tapi bicara lewat gerak atau jika bunyi hanya geraman saja.  Sementara peran dalang lah yang dari awal hingga akhir mendominasi adegan dengan kata-kata terbanyak.  Inipun punya tantangan yakni bagaimana mampu menciptakan irama yang tidak monoton yang berakibat membosankan? Non verbal dan verbal sama sama memiliki kesulitan dan kegairahannya. Inilah tantangan aktor aktris teater experimen. Bukan mudah juga bagi sutradara dalam mengemas dan memberikan bentuk2 latihannya. Apalagi para pelatih yang bertanggung jawab melatih.


PROSES LATIHAN


Proses latihan teater yang aku alami di zaman generasi milenial, genZ hingga alpha ini memang membutuhkan kesabaran yang lebih. Abad internet, digital merupakan abad dimana teknologi semakin bergerak cepat sehingga terus menerus terjadi perubahan2. Yang tadinya tak terpikirkan atau tak mungkin kini tersaji berbagai kemungkinan yang mengagumkan. Orangpun dibuat untuk tidak terlalu lama kagum karena barangkali esok sudah adalagi teknologi baru yang muncul entah dari belahan benua mana. Rasanya sudah hilang dengan sendirinya falsafah Jawa kuno yaitu “alon alon asal kelakon”.  Kini digantikan siapa cepat yang bisa mendapatkan. Sikap yang sering berakibat hanya berpikir diri sendiri dan hilang yang namanya peduli dan berbagi. Tak ada lagi rasa bersalah yang tentu sangat merugikan kegiatan yang memerlukan kerja kolektif seperti teater. Kita dituntut mengikuti falsafah dari barat “Forget it” yang benar2 forget. 


pentas aku chairil Teater Keliling

Perlu kesadaran ditumbuhkan misalnya bahwa tidak hadir latihan itu sangat mengganggu jalannya latihan. Almarhum Arifin C Noer guru teater saya lebih ekstrem mengatakan itu adalah watak kriminal. Tapi itu dulu dan tentu bukan sebuah kritik yang keras karena besar kemungkinan beda pemahaman pengertian mereka tentang arti kriminal segera tergambar maling, penodong, pembunuhan dan sejenisnya. Banyak sekali pemahaman2 berbeda dari generasi lalu dan kini atas segala hal. Terima kasih aku banyak belajar dari guru2 baru teman2 anak now.


Disisi lain anak2 generasi now ini sangat cepat memahami apa yang diberikan sutradara. Hafal naskah tidak pakai hitungan minggu atau sebulan tapi dalam beberapa hari saja sudah ngak bawa naskah. Bukan hanya hafal dialog dirinya namun juga lawan mainnya. Diberikan bloking juga akan sangat cepat hafal. Disuruh menangis, marah, sedih, tertawa akan sangat cepat dilakukan. Namun ketika bicara expresi dari hati, rasa maka baru terlihat ada hal yang hilang yakni rasa. Barangkali kehidupan sehari2 yang mekanis teknologis yang serba pasti membuatnya tak ada dimensi ketiga yakni kedalaman rasa. Karena mekanis maka yang namanya rasa marah misalnya akan hanya ada satu warna. Padahal apa sebab marah bisa berbeda beda sehingga akan muncul gambar marah yang juga berbeda-beda. 


Namun ada satu hal yang aku lihat mereka umumnya suka tantangan. Semakin banyak kita beri tantangan walau untuk satu situasi adegan yang sama maka akan cepat bisa berubah. Dengan kesadaran inilah aku mengubah cara penyutradaraan selama ini ketika bergaul dengan generasi yang bagiku sangat jauh berbeda. Aku kelahiran generasi baby boomers sehingga jika tidak punya kesadaran bahwa hingga kini sudah melewati beberapa generasi yang tiap generasi waktunya semakin cepat. Tiap generasi membawa perubahan peradaban yang sepertinya semakin harus meninggalkan adab kemarin untuk ganti baju baru hari ini dan siap bila besok harus ganti lagi.


Bisa dibayangkan bagaimana dalam satu produksi teater ada tiga generasi pemain2nya. Karena sudah cukup lama bergaul dengan anak muda karena memang salah satu gerak langkah teater keliling adalah merangkul yang muda karena kedepannya peradaban adalah miliknya. Semakin terasa ada kenyamanan dari keberuntungan mengalami zaman remaja hingga lansia karena mengenal berbagai adab, etika, watak yang berubah2.  Untuk bisa berhasil merangkul generasi dibawah dekat hingga yang jauh kuncinya hanya ada satu yakni punya kemampuan mendengar dan melihat. Jangan pernah merasa lebih baik, lebih pintar, lebih pakar karena sikap itu justru akan ditinggalkan bahkan tanpa pamit.  Justru lebih banyak lempar pertanyaan kepada mereka maka akan muncul bermacam jawaban bahkan kadang sangat fasih. Nah tinggal kita meminta eksekusi dari jawaban2nya secara nyata. Baru sering terjadi kebingungan karena memang bagaimanapun berkesenian perlu pengalaman  dengan jam terbang yang banyak.


Pelatih seni acting untuk masa kini perlu punya kekayaan teknik, system untuk membuat yang dilatih senang hingga ketagihan. Penasaran mereka itu justru yang harus ditumbuhkan. Dengan semakin penasaran maka mereka yang akan minta  tambahan waktu bahkan pelatih harus siap bila minta latihan pribadi. Sesekali aku uji dengan membuat olah rasa jam 5 pagi di kompleks tinggalku di Cakung. Wao pada datang bahkan ada yang nginap agar mudah terbangun pagi. Bahkan yang jauh rumahnya pun mau bayar ojek mahal agar tidak terlambat. Ada yang sudah punya suami berani naik kereta terpagi dari BSD ke Cakung sendirian. Bersyukur suaminya penuh pengertian sehingga fine fine saja.


Melalui proses penggemblengan yang justru datangnya dari para pemain generasi now dari milenial, Z hingga alpha sungguh merupakan pengalaman baru yang menjanjikan yakni masa depan teater Indonesia akan semakin cerah. Tak segan segan minta diberi contoh memainkan perannya. Hak yang aku tidak suka dan selalu kuhindari memberi contoh. Aku tidak mau mencetak aktor, melahirkan pemain2 rudolf kecil. Aku ingin mereka tumbuh sendiri dan aku akan terus tut wuri handayani. Hal ini aku dapatkan dari guruku Arifin C Noer yang memberikan kebebasan aktor berperan. Beliau hanya banyak bicara tentang siapa peran yang harus dimainkan. Maka aku bangga dan setia dengan “teater ketjil” nya mas Arifin C Noer. Hasilnya seluruh pemain “teater ketjil” tidak seragam karena masing2 membesar sendiri dengan cara, gaya masing2.  Kadang tidak merasa atau bahkan bahwa kehebatnnya ada campur tangan pelatih. Soal komposisi irama pertunjukkan itu adalah urusan sutradara bagaimana menganyam bahan yang aneka warna ini. Namun sering juga karena didesak maka kuberi contoh dan langsung direkam dengan HP nya. Namun segera aku katakan bahwa itu adalah contoh terburuk. Jadi kalau dijadikan contoh maka artinya memainkan bentuk expresi yang terburuk. Walaupun teknologi foto copy semakin canggih sehingga mengalahkan percetakkan namun tetap saja nilai foto copy tak akan melampaui aslinya.


TEAM ARTISTIK


Team artistik memang sudah ada di organisasi teater keliling. Dengan demikian art director segera membahas dengan seluruh teamnya untuk menyusun segala kebutuhan artistik “Aku Chairil”. Para komandan tata costume, set,lampu,property,make up, musik, tari, nyanyi segera start bekerja sesuai bidang masing2. Khusus untuk cipta lagu dari 8 puisi Chairil di audisikan namun untuk intern saja.  Berebutlah memilih lagu dan menciptakan. Nah dalam hal ini ternyata mendapat tantangan berat karena puisi Chairil adalah puisi yang tidak lazim seperti soneta, pantun yang liriknya teratur ada pakem yang sudah umum.  Chairil beda misal baris pertama 4 kata dan baris kedua hanya satu kata lalu ketiga dua kata dan sebagainya. 


Dalam persiapannya memang banyak tenaga ikut mendukung. Bukan saja yang sudah anggota namun sedang ada teman2 mahasiswa UIN yang sedang magang melaksanakan tugas dosennya di bidang artistik. Mereka yang berjumlah 20 orangpun beruntung mendapat pengalaman langsung praktek. Team artistikpun menjadi ringan dan bisa menyelesaikan tepat waktu. Namun ketika hari “H” datang team yang akan bertugas hanya 15 orang sesuai aturan GIK. Membantu dibalik panggung atau masuk kamar rias atau ruang makanpun tidak bisa karena harus mengenakan tanda pengenal dari GIK. Ketika pertunjukkan berlangsung Dery sebagai executif produser dan beliau salah seorang pendiri teater keliling ingin nontonpun harus melepas tanda pengenal crew dan diganti gelang tanda penonton. Terima kasih karena bung Bayu dari GIK mempersiapkannya. Memang aturannya semua yang duduk di tempat duduk penonton benar2 hanya penonton yang terdaftar. Disiplin yang sangat baik sehingga tak ada penonton yang berdiri.


TEAM PRODUKSI


Kali ini kegiatan produksi terasa ringan karena tidak harus mencari dana produksi. Segala keperluan seperti untuk transport, konsumsi, artistik disediakan GIK. Hanya satu tugas kewajiban yakni mengatur tiket yang diberikan GIK untuk dibagikan kepada rekanan, keluarga pemain atau tokoh yang teater keliling ingin undang. Jumlahnyapun terbatas hanya 20 untuk dua kali pertunjukkan. Maka bidang tiketting teater keliling amat sangat sibuk mengatur. Untuk fotografer teater kelilingpun harus diambilkan dari jatah tersebut.  Karena dia harus duduk ditempat penonton bukan sebagai crew.


Jika mengikuti kebiasaan maka produser, executif produser, sutradara, pimpro, art director, stage manager memiliki daftar panjang yang perlu diundang. Masih ditambah media partner, pejabat2 yang selalu hadir bisa berjumlah 200 yang diundang. Belum lagi keluarga pemain dan crew. Itu sebabnya ketika pentas Mega Mega menyediakan waktu khusus yang hanya untuk mereka. Ada 200 an penonton khusus hadir di Gedung Kesenian Jakarta waktu pentas 50 tahun teater keliling.


TARGET DAN HARAPAN


Pentas musikal “Aku Chairil” membawa pesan moral yang cukup relevan untuk dikumandangkan hari ini. Seperti apa yang dikatakan pemeran Evani putri satu2nya Chairil Anwar bahwa ada warisan besar yang diberikan yakni jiwa “petarung”. Chairil seorang penyair besar yang memiliki daya bergerak dan menggerakkan untuk sendiri atau bersama sama melawan penjajahan. Dan kini apa yang dia perjuangkan akan mewujut dalam kesadaran bergerak dan menggerakkan untuk mengisi kemerdekaan agar kemerdekaan tercapai atas dukungan dan selanjutnya dijaga serta dirawat oleh semangat nasionalisme  generasi now  melalui rasa cinta negeri dan bangsa.


Itulah seruan Chairil yang diteriakkan teater keliling lewat pertunjukkan di Galeri Indonesia Kaya yang 90% penontonnya adalah generasi Milenial, GenZ dan Alpha yang menyatu dengan para pemain di panggung yang juga dari generasi yang sama. Namun kami tetap menghormati para generasi baby boomers dan X bahkan yang diatasnya lagi yang hari itu hadir menyaksikan. Bahkan ada yang membawa anak atau cucunya untuk diperkenalkan pada apa yang disebut tontonan teater.


Harapan terbesar kami dalam setiap panggung adalah semakin membesar penikmat seni khususnya teater. Terima kasih telah terwujut harapan yang sangat membanggakan bahwa generasi now tidak mempermasalahkan harga tiket sehingga akan selalu berburu secepatnya begitu baca berita akan ada pentas teater. Itulah generasi now baik yang sudah bekerja ataupun yang masih pelajar dan mahasiswa. Mereka yang masih bergantung orang tua rela iklas jauh hari menabung agar bisa beli tiket bahkan targetnya yang paling mahal. Untuk itu harapan kami selain semakin banyak penikmat seni teater juga agar teman2 pelaku teater untuk bekerja sama menyiapkan pertunjukkan teater yang mampu menyentuh hati penonton yang lebih besar porsinya adalah generasi now. Bentuk pertunjukkan apapun bukan aib atau rendah diri karena semua tontonan jika komunikatif pasti akan melahirkan pesona yang kuat sehingga akan semakin menjadi gunjingan karena seni menjadi kebutuhan hidup. Perjuangan belum selesai karena jumlah ribuan penonton muda masih terlalu minim jika dibandingkan jumlah penduduk Jakarta misalnya yang sudah 10 juta lebih.


Demikianlah catatan saya dalam menyiapkan pentas musikal “Aku Chairil”.  Ikutilah catatan selanjutnya melalui “Pojok seni” .


Terima kasih dan salam jabat erat.


Jakarta 28 Mei 2024.

Rudolf Puspa

pusparudolf29@gmail.com

Ads