Kiblat Budaya: Pemikiran di Sekitar Kementerian Kebudayaan (Bagian III-Habis) -->
close
Pojok Seni
14 May 2024, 5/14/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-05-14T01:00:00Z
Artikel

Kiblat Budaya: Pemikiran di Sekitar Kementerian Kebudayaan (Bagian III-Habis)

Advertisement


Oleh  Zackir L Makmur*


Seiring dengan perubahan dinamika politik pasca-kemerdekaan Indonesia, pengelolaan kebudayaan dalam lingkup pemerintahan menjadi semakin kompleks. Salah satu periode penting dalam sejarah Indonesia adalah masa awal Orde Baru  di bawah kepemimpinan Soeharto. Era ini dicirikan oleh pendirian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang mengalami sentralisasi yang kuat, dengan fokus utama pada pengembangan infrastruktur pendidikan dan pembangunan kebudayaan nasional.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Orde Baru


Pembentukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dianggap sebagai langkah strategis bagi pemerintahan Orde Baru dalam upaya untuk memperkuat kendali terhadap sektor pendidikan dan kebudayaan. Sentralisasi yang kuat dalam pengelolaan kegiatan kebudayaan menjadi salah satu ciri khas dari pemerintahan Soeharto. Langkah ini sejalan dengan visi pemerintah Soeharto untuk membentuk identitas nasional yang seragam dan terpusat.


Meskipun langkah-langkah ini diumumkan untuk tujuan melestarikan dan mengembangkan kebudayaan, banyak pihak yang menyampaikan kritik menyatakan bahwa pendekatan ini bersifat otoriter dan kurang memperhatikan keanekaragaman budaya di Indonesia. Sentralisasi yang kuat dalam manajemen kebudayaan cenderung mengesampingkan kekayaan budaya lokal dan regional di seluruh nusantara. Kurangnya perhatian terhadap beragam aspek budaya dalam struktur pemerintahan pusat menjadi perhatian utama para kritikus.


Pendekatan sentralistik ini juga menimbulkan debat tentang siapa seharusnya yang memiliki kendali atas kebudayaan Indonesia. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kebudayaan harus dikelola secara partisipatif, dengan memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat. Namun, dalam kenyataannya, pengambilan keputusan terkait kebijakan kebudayaan sering kali tetap berpusat di pemerintah pusat, tanpa memperhatikan partisipasi aktif dari berbagai pihak yang berkepentingan.


Periode awal Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto memberikan gambaran tentang kompleksitas dalam menangani kebudayaan dalam konteks politik Indonesia. Meskipun ada upaya untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional, pendekatan yang terlalu terpusat dan otoriter sering kali menghasilkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam perlakuan terhadap keberagaman budaya di Indonesia. 


Pemikiran Kebudayaan Periode Reformasi 


Selama periode Reformasi pada akhir tahun 1990-an, terjadi pergeseran paradigma yang signifikan dalam pemikiran politik dan kebudayaan di Indonesia. Dorongan untuk memperkuat demokrasi dan meningkatkan keterbukaan politik membawa dampak besar terhadap pemahaman terhadap peran kebudayaan dalam pemerintahan. Ada upaya konkret untuk memperluas ruang partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan kebudayaan, dengan lebih memperhatikan keberagaman budaya dan aspirasi lokal.


Selama masa Reformasi, masyarakat Indonesia menyaksikan perubahan penting dalam cara negara berinteraksi dengan kebudayaan. Pemerintah mulai mengakui pentingnya menghormati dan memperhatikan berbagai kebudayaan yang ada di seluruh nusantara, tanpa membedakan antara kebudayaan mayoritas dan minoritas. Hal ini tercermin dalam kebijakan-kebijakan baru yang lebih inklusif dan beragam, yang dirancang untuk mendukung keberagaman budaya dan menghargai warisan budaya yang beraneka ragam di Indonesia.


Salah satu aspek penting dari perubahan ini adalah upaya untuk memperluas partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan kebudayaan. Sebelumnya, keputusan terkait kebudayaan sering kali diambil secara sentralistik oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan masyarakat secara langsung. Namun, di bawah periode Reformasi, ada dorongan yang kuat untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam menentukan arah dan prioritas kebijakan kebudayaan.


Pergeseran paradigma ini juga tercermin dalam upaya untuk mengakui dan mempromosikan kebudayaan sebagai salah satu aset penting dalam pembangunan nasional. Pemerintah mulai memandang kebudayaan bukan hanya sebagai warisan historis, tetapi juga sebagai sumber daya yang dapat menggerakkan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini tercermin dalam investasi yang lebih besar dalam sektor kebudayaan, termasuk dalam bidang pendidikan seni dan budaya, pelestarian warisan budaya, dan pengembangan industri kreatif.


Meskipun terjadi perubahan yang signifikan, tantangan tetap ada dalam mengimplementasikan visi ini. Masih terdapat kesenjangan antara retorika kebijakan dan praktik di lapangan, serta tantangan dalam mengatasi berbagai hambatan struktural dan administratif dalam pengelolaan kebudayaan. Selain itu, perlu dilakukan upaya lebih lanjut untuk memastikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan kebudayaan benar-benar terjamin dan berkelanjutan.


Setidak-tidaknya periode Reformasi pada akhir tahun 1990-an memainkan peran yang sangat penting dalam memperkuat peran kebudayaan dalam pemerintahan Indonesia. Pergeseran paradigma ini membawa implikasi yang luas dalam cara negara berinteraksi dengan kebudayaan, dengan memperluas partisipasi masyarakat dan mengakui keberagaman budaya sebagai salah satu aset utama dalam pembangunan nasional. Meskipun tantangan masih ada, Reformasi telah membuka jalan bagi perubahan positif dalam pengelolaan kebudayaan di Indonesia.


Dinamika Budaya Semakin Terus Berubah


Sampailah kemudian pada saat ini, dimana debat terkini mengenai struktur kabinet dan peran kebudayaan di dalamnya memperlihatkan dinamika politik dan budaya yang terus berubah di Indonesia. Usulan untuk menambah jumlah kursi kabinet, seperti yang diusulkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto hasil Pemilu 2024, menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kebudayaan akan diperhatikan dalam kabinet yang lebih besar. Dalam konteks ini, penting untuk mengakui bahwa peran strategis kebudayaan dalam pembangunan nasional harus terimplementasikan. Sehingga kebudayaan tidak hanya tentang seni dan tradisi, tetapi juga mencakup aspek-aspek sosial, ekonomi, dan politik. 


Dengan demikian, debat mengenai struktur kabinet dan peran kebudayaan didalamnya mencerminkan pentingnya memahami hubungan yang kompleks antara kebudayaan, pemerintahan, dan pembangunan nasional. Meskipun terdapat pandangan yang berbeda, yang terpenting adalah mencapai kesepakatan yang memungkinkan kebudayaan tetap menjadi prioritas dalam agenda pembangunan nasional, baik dalam konteks pariwisata, pendidikan, maupun dalam pembentukan kementerian kebudayaan yang independen.


Pemahaman terhadap kompleksitas debat mengenai posisi kebudayaan dalam struktur kabinet menuntut pengakuan akan pentingnya kebudayaan sebagai elemen yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Kebudayaan tidak sekadar berkaitan dengan seni dan tradisi, melainkan juga mencakup aspek-aspek sosial, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, posisi dan peran kebudayaan dalam struktur kabinet harus tercermin dalam kebijakan yang inklusif dan sensitif terhadap keberagaman budaya di Indonesia. 


Hanya dengan cara ini, negara dapat memastikan bahwa kebudayaan tetap menjadi fokus dalam agenda pembangunan nasional yang berkelanjutan. Bersamaan pula penting untuk mengakui bahwa kebudayaan tidak hanya memiliki nilai intrinsik yang tinggi, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan dalam proses pembangunan nasional. Sebagai contoh, kebudayaan dapat menjadi sumber daya ekonomi yang penting melalui industri kreatif, pariwisata budaya, dan perdagangan barang budaya. 


Selain itu, kebudayaan juga berperan dalam memperkuat identitas nasional, mempererat ikatan sosial, dan mempromosikan perdamaian dan kerukunan antar-etnis di Indonesia. Oleh karena itu, penempatan kebudayaan dalam struktur kabinet harus didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang peran pentingnya dalam pembangunan nasional. Kebijakan yang dirumuskan harus mampu melindungi, mempromosikan, dan mengembangkan keberagaman budaya Indonesia. Hal ini membutuhkan pendekatan yang inklusif dan terbuka terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat dari berbagai lapisan dan wilayah di Indonesia.


Penting untuk diingat bahwa kebijakan yang efektif dalam mengelola kebudayaan tidak hanya bergantung pada struktur kabinet semata, tetapi juga pada kualitas kepemimpinan, koordinasi antar-lembaga, dan partisipasi masyarakat sipil. Oleh karena itu, proses pengambilan keputusan terkait kebudayaan harus melibatkan dialog yang inklusif antara pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, praktisi kebudayaan, dan pemangku kepentingan lainnya.


Maka untuk memastikan bahwa kebudayaan tetap menjadi fokus dalam agenda pembangunan nasional yang berkelanjutan, negara harus mengakui kompleksitas peran kebudayaan dan memasukkannya dalam struktur kabinet dengan cara yang memungkinkan formulasi kebijakan yang inklusif, responsif, dan berkelanjutan. Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat memanfaatkan potensi kebudayaannya secara optimal untuk mencapai pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan berdaya saing. ***


*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads