Advertisement
Kegiatan kebudayaan masyarakat. Foto.dok. Polina Kuzovkova /unsplash.com |
Oleh: Zackir L Makmur*
Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, perjuangan untuk mendirikan Kementerian Kebudayaan yang mandiri telah menjadi perjalanan yang panjang dan penuh tantangan. Sejarah ini dipenuhi dengan serangkaian kongres, konferensi, dan diskusi kebudayaan yang menandai pentingnya kebudayaan dalam membentuk serta memelihara identitas nasional Indonesia.
Dimulai dari awal perjalanan ini, sejumlah tokoh budayawan, seniman, dan intelektual Indonesia segera setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 telah mengusulkan pendirian Kementerian Kebudayaan. Mereka meyakini bahwa kebudayaan harus diberikan perhatian khusus dalam struktur pemerintahan yang baru guna menjamin kelangsungan serta perkembangan warisan budaya Indonesia yang kaya.
Usulannya antara lain untuk mendirikan Kementerian Kebudayaan diajukan dalam Musyawarah Kebudayaan di Sukabumi, Jawa Barat, pada 31 Desember 1945. Hal ini merupakan titik awal dalam upaya formal untuk memperjuangkan eksistensi lembaga pemerintah yang secara spesifik bertanggung jawab atas urusan kebudayaan. Namun, kendati usulan tersebut mendapat dukungan luas, langkah-langkah konkret untuk mewujudkannya masih mengalami berbagai hambatan.
Tonggak Sejarah Identitas Nasional Indonesia
Selama bertahun-tahun berikutnya, berbagai kongres, konferensi, dan diskusi kebudayaan diadakan untuk membahas dan memperjuangkan pendirian Kementerian Kebudayaan. Kongres Kebudayaan di Magelang, Jawa Tengah, pada tahun 1948, serta serangkaian kongres dan konferensi kebudayaan pada tahun-tahun berikutnya, menjadi tempat untuk mengungkapkan aspirasi untuk memiliki lembaga pemerintah yang secara khusus mengurusi kebudayaan.
Setiap kali, suara-suara dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia mengangkat isu ini, menegaskan bahwa kebudayaan merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas nasional Indonesia. Bahkan ketika Indonesia mengalami periode perubahan politik dan sosial, perjuangan untuk mendirikan Kementerian Kebudayaan tetap menjadi prioritas utama bagi para pemangku kepentingan kebudayaan.
Meskipun upaya tersebut terus dilakukan, hingga saat ini (saat esei panjang ini dibuat pada 2 Mei 2024) Kementerian Kebudayaan yang benar-benar mandiri belum terwujud. Usulan-usulan dari pemikiran tersebut seringkali terhambat oleh berbagai hambatan politik, administratif, dan anggaran. Meski demikian, perjuangan untuk menjadikan kebudayaan sebagai prioritas dalam struktur pemerintahan terus berlanjut, dan ini menegaskan bahwa kebudayaan merupakan elemen yang tak terpisahkan dari identitas nasional Indonesia.
Sebagai hasil dari perjuangan ini, kesadaran akan pentingnya kebudayaan dalam membentuk identitas nasional semakin menguat. Warisan budaya Indonesia, dengan keberagaman etnis, bahasa, agama, dan tradisinya, menjadi dasar yang kokoh bagi kesatuan dan keberagaman bangsa. Oleh karena itu, meskipun perjuangan untuk mendirikan Kementerian Kebudayaan belum sepenuhnya berhasil, sejarah ini menjadi cerminan dari kesadaran bersama akan pentingnya kebudayaan dalam membangun dan memperkuat jati diri nasional Indonesia.
Pembangunan Kebudayaan dan Pendidikan
Ki Hajar Dewantara, figur yang tak terlupakan dalam sejarah pendidikan Indonesia, tidak hanya diakui sebagai pelopor pendidikan, tetapi juga sebagai pemikir yang mendalami kebudayaan. Kontribusinya yang luar biasa terhadap pembangunan kebudayaan dan pendidikan di Indonesia telah memperkuat peran kebudayaan sebagai fondasi utama pembangunan nasional.
Melalui pandangannya tentang kebudayaan sebagai hasil perjuangan manusia terhadap zaman dan alam, Ki Hajar Dewantara telah memberikan kontribusi yang tak ternilai bagi pemahaman dan pengembangan kebudayaan Indonesia. Kecemerlangannya tidak terbatas pada ranah pendidikan formal, tetapi juga mencakup pemikirannya tentang kebudayaan yang menginspirasi banyak orang. Rumusan Ki Hajar Dewantara tentang kebudayaan sebagai hasil dari perjuangan manusia terhadap zaman dan alam mencerminkan pemahamannya yang mendalam akan peran kebudayaan dalam membentuk identitas manusia.
Baginya, kebudayaan bukan sekadar warisan atau tradisi, melainkan merupakan buah dari perjuangan manusia untuk bertahan dan berkembang di tengah berbagai perubahan zaman dan alam. Pemikiran ini menekankan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis, terus berubah seiring dengan perkembangan waktu dan lingkungan.
Pemikiran ini memberikan fondasi filosofis yang kokoh bagi pengembangan kebudayaan Indonesia. Ki Hajar Dewantara melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang hidup, yang harus dipahami, dihargai, dan dilestarikan oleh seluruh masyarakat. Dengan menyadari bahwa kebudayaan adalah hasil dari perjuangan manusia, ia mendorong pendekatan yang holistik dalam upaya membangun kebudayaan, yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam usaha melestarikan dan mengembangkan kekayaan budaya bangsa.
Kontribusi Ki Hajar Dewantara tidak hanya terbatas pada pemikiran, melainkan juga pada tindakan nyata dalam memperjuangkan kebudayaan. Melalui sistem pendidikan yang ia dirikan (Taman Siswa), Ki Hajar Dewantara tidak hanya menyebarkan pengetahuan akademis, tetapi juga nilai-nilai budaya kepada generasi muda. Ia menanamkan pentingnya menghargai dan memelihara budaya bangsa sebagai bagian integral dalam pembentukan karakter dan identitas manusia.
Pemikiran dan pandangan Ki Hajar Dewantara tentang kebudayaan tidak hanya relevan dalam konteks pendidikan, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk seni, budaya, dan politik. Pendekatan inklusif dan holistiknya memengaruhi banyak aspek kehidupan bangsa, memberikan landasan yang kuat bagi pembangunan kebudayaan Indonesia yang berkelanjutan. Oleh karena itu, kontribusi Ki Hajar Dewantara dalam bidang kebudayaan dan pendidikan tidak dapat diabaikan.
Pemikirannya yang mendalam tentang kebudayaan sebagai hasil dari perjuangan manusia terhadap zaman dan alam telah memiliki dampak yang luas dalam membentuk pemahaman dan pengembangan kebudayaan Indonesia. Melalui pemikiran dan tindakannya, Ki Hajar Dewantara telah memperkuat peran kebudayaan sebagai bagian tak terpisahkan dalam pembangunan nasional, sehingga mengukuhkan posisinya sebagai salah satu tokoh utama dalam sejarah budaya dan pendidikan Indonesia.
Pemikiran Polemik Kebudayaan
Sementara itu pada kurun selanjut dari sana, pada tahun 1935, Indonesia menjadi saksi dari sebuah perdebatan intelektual monumental yang dikenal sebagai Polemik Kebudayaan. Peristiwa ini menandai titik penting di mana isu kebudayaan menjadi pusat dari pemikiran dan diskusi publik. Pada saat itu, Indonesia sedang menghadapi berbagai tantangan politik dan sosial.
Di tengah pergolakan politik yang sedang berlangsung, timbullah sebuah perdebatan yang melibatkan para pemikir dan intelektual terkemuka tentang esensi dan arah kebudayaan Indonesia. Polemik ini menjadi penting karena mencerminkan usaha untuk menggambarkan kembali jati diri bangsa Indonesia dalam konteks modernitas dan perubahan zaman.
Salah satu aspek kunci dari pemikiran Polemik Kebudayaan ini adalah pertentangan antara dua pandangan yang berbeda mengenai arah pembangunan kebudayaan Indonesia. Di satu sisi, ada kelompok yang memandang bahwa modernisasi dan Westernisasi adalah kunci untuk kemajuan bangsa. Mereka percaya bahwa asimilasi budaya Barat akan membawa perkembangan bagi masyarakat Indonesia.
Namun, disisi lain, terdapat juga kelompok yang menolak pandangan tersebut. Mereka memegang teguh gagasan bahwa kebudayaan Indonesia harus tetap autentik dan tidak boleh terpengaruh oleh modernisasi. Mereka menekankan pentingnya mempertahankan nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal sebagai bagian dari identitas bangsa.
Polemik ini mencerminkan konflik mendalam antara orientasi kebudayaan Barat dan nilai-nilai tradisional Indonesia. Para pemikir dan intelektual pada waktu itu berdebat tentang arah yang harus diambil oleh bangsa Indonesia dalam membangun masa depannya. Mereka mempertanyakan sejauh mana modernisasi harus diikuti, dan sejauh mana kebudayaan tradisional harus dipertahankan.
Lebih dari sekadar perdebatan akademis, Polemik Kebudayaan ini mencerminkan pertarungan ideologis yang lebih luas. Ini merupakan cerminan dari proses pencarian identitas nasional yang sedang berlangsung di Indonesia saat itu. Bangsa ini berusaha menemukan jati dirinya di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin berkembang.
Meskipun Polemik Kebudayaan pada tahun 1935 tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti, peristiwa tersebut memiliki dampak yang signifikan dalam pembentukan pemikiran kebudayaan dan identitas nasional Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan telah menjadi isu sentral dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Polemik ini sekaligus mengingatkan bangsa ini terhadap pentingnya memahami warisan budaya dan bagaimana bangsa besar ini ingin membentuk masa depan kita sebagai bangsa yang berdaulat. (Bersambung)
*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).
Baca bagian I artikel ini di pranala: https://www.pojokseni.com/2024/05/kiblat-budaya-pemikiran-di-sekitar.html