Bagaimana Mendongeng yang Baik dari Sudut Pandang Seni Pertunjukan -->
close
Pojok Seni
15 May 2024, 5/15/2024 10:01:00 PM WIB
Terbaru 2024-05-15T15:01:57Z
Artikel

Bagaimana Mendongeng yang Baik dari Sudut Pandang Seni Pertunjukan

Advertisement
Mendongeng

Oleh: Adhyra Irianto*


Beberapa waktu lalu, saya diminta untuk menjadi juri sebuah lomba mendongeng. Cukup unik, karena di daerah saya, pertama kalinya seniman teater diminta untuk menjadi juri mendongeng. Lalu, pada gelaran acara di daerah saya, ada beberapa anak-anak yang tampil mendongeng. Ketika saya duduk melihat anak-anak menuturkan dongeng, ada beberapa saya sadari, bahwa intonasi yang digunakan oleh nyaris semua peserta itu sama. Seakan-akan, itu sudah menjadi pattern dalam mendongeng.


Tidak seperti teater yang merupakan dimensi atmosferal dari sebuah teks, mendongeng seakan-akan adalah "teks yang dilisankan". Padahal, beberapa literatur menunjukkan, bahwa mendongeng bukan sekedar melisankan teks. Mendongeng adalah sebuah bentuk keterampilan berbahasa lisan yang kreatif dan produktif. Tidak hanya berbicara, tapi juga berkomunikasi, dan dikemas dengan mempertimbangkan estetika.


Indonesia sejak dulu telah mengenal istilah pendongeng, pewara, pencerita, dan sebagainya. Mulai dari seorang pencerita di pekan atau kalangan (pasar), sampai pencerita yang duduk di sebelah raja (Danandjaya, 1994). Lewat mendongeng, baik pengalaman maupun pengetahuan dari si pendongeng ditransfer ke orang lain. Perlu dicatat, bahwa pengetahuan dan cerita-cerita terdahulu bisa sampai ke telinga kita hari ini juga berkat kepiawaian mendongeng dari orang-orang terdahulu.


Setidaknya, pendongeng memiliki imajinasi dan daya fantasi yang baik. Ia juga mampu melakukan penalaran kritis dan juga kreatif. Anak juga akhirnya akan mendapatkan pengetahuan umum seperti apa yang dilarang oleh sebagian besar masyarakat, apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang baik untuk dilakukan, dan sebagainya. Hasil akhirnya, anak memiliki rasa peduli pada nilai-nilai luhur di budaya bangsa kita (Bachri, 2005).


Apakah niat dan tujuan mendongeng di atas mampu tercapai baik untuk pendongeng, maupun yang mendengarkan dongengnya? Tentu saja tidak akan maksimal bila bentuk "mendongeng" adalah melisankan teks yang dihafalkan.


Karena itu, menurut saya, seni pertunjukan seharusnya "mengambil alih" kegiatan satu ini. Pendongeng adalah performer yang mesti ekspresif, dan memiliki kualitas vokal yang baik (secara artikulasi dan intonasi). Pendengar mesti mampu terikat dengan pertunjukan yang disuguhkan. Itu berarti, ada facial ekspresion, gestur, perubahan intonasi, gerakan tubuh, dan sebagainya.


Pendongeng mesti banyak membaca, bukan menghafal. Membaca berarti sebuah proses transformasi dan transfer informasi dari teks ke kepala si pembaca. Pembaca mengerti, paham, dan percaya dengan apa yang ia baca. Maka, ia akan menyampaikan pesan tersebut dengan sepenuh hati. Pendongeng juga akan tahu mana cerita yang tepat untuk situasi tertentu, karena telah mendalami lebih dalam seluk beluk cerita tersebut.


Bisa saja pendongeng menggunakan alat peraga, tapi tanpa alat peraga pun, mendongeng bisa menjadi kegiatan yang menarik. Alat peraga bersifat komplementer, bisa menunjang pertunjukan menjadi jauh lebih baik (Asfandiyar, 2007).


Mendongeng bisa mencapai hasil terbaik, untuk pendongeng dan pendengarnya, apabila mampu didesain untuk mencapai pelepasan emosional lewat pengalaman fiktif. Seorang anak yang merasakan pedihnya kaki terluka karena kecelakaan motor, akhirnya tidak akan kebut-kebutan di jalan. Tapi, kalau bisa mendapatkan pengalaman yang sama lewat sebuah cerita fiktif, kenapa anak harus benar-benar kecelakaan?


Pengembangan aspek kognitif, afektif, dan konatif menjadi inti utama dalam manajemen dan perencanaan pertunjukan dongeng (Priyono, 2001). Di titik ini, pembimbing atau pengarah mengambil peran penting. Jangan sampai kegiatan mendongeng adalah kegiatan spontanitas tanpa persiapan yang mumpuni.  Karena hal itu hanya akan membuat mendongeng menjadi kegiatan tanpa manfaat. Bukankah Tuhan tidak menyukai kesia-siaan?


Referensi:


  1. Asfandiyar, Andi Yudha. 2007. Cara Pintar Mendongeng. Cetakan I. Bandung:Mizan Media Utama.
  2. Bachri, S Bachtiar.2005. Pengembangan Kegiatan Bercerita, Teknik dan Prosedurnya. Jakarta: Depdikbud
  3. Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Percetakan PT Temprint.
  4. Priyono, Kusumo.2001. Terampil Mendongeng. Jakarta: PT Grasindo

*Penulis adalah seniman teater, pendiri Teater Senyawa dan penulis di Pojok Seni

Ads