Bagaimana Kapitalisme Bekerja di Dunia Seni? -->
close
Pojok Seni
03 May 2024, 5/03/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-05-03T01:00:00Z
Artikel

Bagaimana Kapitalisme Bekerja di Dunia Seni?

Advertisement
kapitalisme bekerja di dunia seni


Oleh: Adhyra Irianto


Salah satu scene favorit saya dari film yang diangkat dari novel berjudul sama "The Devil Wears Prada" (produksi tahun 2006), adalah ketika monolog panjang dari tokoh Miranda Priestley (diperankan oleh Merryl Streep). 


Seperti ini dialognya:


Miranda: Mana ikat pinggang untuk gaun ini, kenapa belum disiapkan?

(Seorang asisten Miranda): Maaf bu, saya masih belum bisa menentukan mana yang tepat dari dua ikat pinggang ini. Pilihannya benar-benar sulit, karena keduanya sangat berbeda (menunjukkan dua ikat pinggang yang sama-sama berwarna biru).


Di saat itu, Andy Sachs (diperankan oleh Anne Hathaway) tersenyum dan terkekeh pelan. Miranda Priestly melihatnya dan mulai jengkel.


Miranda: Apa yang lucu?

Andi Sachs: Maaf, tidak ada yang lucu. Saya cuma tersenyum, karena kedua ikat pinggang itu terlihat smaa saja di mata saya. Maklum, saya masih belajar tentang barang-barang itu..


Mendengar itu, Miranda benar-benar jengkel. Dan monolog panjang itu dimulai.


Miranda: Barang itu? Barang? Oh, baiklah aku mengerti. Kami pasti berpikir bahwa hal ini tidak penting bukan? Baik, aku akan jelaskan. Kamu membuka lemari pakaianmu dan akhirnya memilih pakaian yang kamu gunakan, sweater berwarna biru itu dengan satu tujuan. Tujuannya adalah, kamu ingin memperlihatkan pada dunia bahwa kamu adalah orang yang cuek, dan tidak ribet dengan baju apapun yang kamu pakai.


Tapi, yang perlu kamu tahu, bahwa sweatermu itu bukan sweater sembarang biru. Itu bukan turqouise (biru pirus), bukan juga biru lapis, tapi biru cerulean.


Tahun 2002, Oscar de la Renta merilis koleksi pakaian berwarna biru cerulean. Tidak lama, Yves Saint Laurent juga mengeluarkan koleksi jaket berwarna biru cerulean. Bawa ke sini jaket yang saya maksud. (seorang asisten pria mencari jaket yang dimaksud lalu memberikannya pada Miranda).


Akibatnya, pakaian berwarna biru cerulean menjadi trend di dunia. Semua desainer kenamaan mengeluarkan pakaian berwarna sama, menggunakan semua departement store untuk menjualnya, dan laris manis. Hasilnya, semua warna biru cerulean menjadi pasaran, dan sejumlah besar barang menjadi barang obral di tumpukan yang menyedihkan. Dan, disitu kamu menemukan sweater berwarna biru cerulean ini, dan kamu membelinya tanpa ragu.


Warna biru cerulean itu adalah hasil dari biaya jutaan dollar yang harus dikeluarkan untuk menciptakan warna tersebut, juga ide, konsep, kerja banyak orang, sebelum akhirnya pasaran dan jatuh ke tumpukan barang itu, sehingga tinggal berharga beberapa dollar saja. Mungkin Anda berpikir diri Anda keren karena sok-sokkan nggak peduli industri fashion, padahal pakaian yang kamu gunakan itu adalah barang yang kami (orang-orang dari industri fashion) pilihkan untuk kamu dari tumpukan barang obral.


Apa yang sebenarnya ingin disindir lewat monolog super panjang itu? Yah, penulis novel, penulis naskah, sutradara, dan tentu saja lewat mulut aktris, sedang menceritakan pada Anda, bagaimana industri kapitalis itu bekerja. 


Cara kerjanya adalah, sistem kapitalisme akan menunggu seorang desainer, seniman, komposer, atau "pencipta karya" lainnya untuk membuat sesuatu yang melampaui zaman saat ini. Katakanlah, salah satu hasilnya adalah warna biru cerulean yang dengan susah payah diciptakan oleh Oscar de la Ranta di tahun 2002 dalam bentuk dress atau gaun. 


Melihat keberhasilan Oscar, maka desainer lainnya juga akan ikut-ikutan memanfaatkan kesempatan tersebut. Sebut saja Yves Saint Laurent akan ikut ambil bagian dengan warna biru cerulean yang sedang hits tersebut, dengan merilis beberapa jaket biru cerulean. 


Keberhasilan dua desainer papan atas tersebut akan memancing animo yang tinggi dari pasar untuk mencari barang-barang yang berwarna biru cerulean juga. Akhirnya, semua desainer baik baju, celana, tas, topi, jaket, dan lain-lain, akan ikut serta dalam pembuatan produk berwarna biru cerulean. Kalangan atas akan berebut menggunakan pakaian tersebut, dan untuk menegaskan sejumlah tokoh publik akan di-endorse untuk menggunakan produk berwarna biru cerulean di acara-acara mewah.


Maka, timbul paradigma bahwa warna biru cerulean adalah warna yang mewah, digunakan oleh kalangan atas, dan sebagainya. Produk-produk semakin membanjiri pasaran. Kemudian, katakanlah Oscar de la Ranta telah mengeluarkan "warna" lainnya, diikuti dengan Yves Saint Lauren dan desainer-desainer lainnya. Warna tersebut yang menjadi trend baru yang hits.


Bagaimana dengan produk berwarna biru cerulean? Jumlahnya membanjiri pasaran, sedangkan permintaannya mulai menurun seiring lahirnya mode terbaru dan warna terbaru pula. Warna biru cerulean "sisa" tersebut hasilnya bertumpuk di tumpukan obral, yang oleh kalangan atas disebut sebagai "tumpukan sampah". Kalangan atas itu sudah berebut warna yang baru datang lagi, maka biru cerulean akan dikejar oleh kalangan menengah untuk mendapatkan harga yang miring.


Siklusnya berputar seperti itu, di mana kalangan menengah akan memilih "pakaian yang dipilihkan" oleh orang-orang dari industri fashion. Bila kalangan atas ditujukan sebagai pengembali modal, maka kalangan menengah ditujukan sebagai pemberi keuntungan.



Dalam kondisi tersebut, kita bisa menyimpelkan bahwa ada tiga adegan utama dalam industri ini. 



Pertama, modal. Modal yang dikeluarkan sampai ratusan juta, untuk penciptaan sesuatu. Mulai dari laboratorium, eksperimen, dan sebagainya. Termasuk menggaji ratusan orang. 


Kedua, balik modal. Dalam adegan pengembalian modal adalah saat produk ini dirilis untuk kalangan atas dengan harga yang cukup tinggi.


Ketiga, keuntungan. Dalam adegan ini, keuntungan didapatkan dari kalangan menengah sampai bawah, dari tumpukan produk-produk obral, penjualan di toko online, promo, diskon, cuci gudang, dan sebagainya.


Maka, setelah mendapatkan keuntungan, diputar kembali menjadi modal untuk kembali ke adegan 1. Apakah Anda merasa bahwa plot ini begitu sirkular?


Artis adalah Penggerak Roda Kapitalisme


Dalam konteks di atas, industri "budaya" adalah sistem kapitalisme yang sebenarnya menjadikan artis sebagai salah satu aktor penggerak. Artis yang punya nama besar, akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar ketimbang artis yang belum punya nama. Terlepas dari kualitas artistik karyanya. 


Mahal atau murahnya suatu karya, tergantung dengan relasi dari seorang artis ke sistem. Apabila seorang artis mampu bernavigasi di dalam sistem, maka ia akan mendapatkan keuntungan yang besar. Namun, bila seorang artis lebih memilih menggantungkan harapan pada suatu institusi, atau kantor, atau kementerian, dan sebagainya, maka keuntungan yang didapatkan akan jauh lebih kecil.


Akibatnya, apa yang harus dilakukan oleh "seniman menengah" ini untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, mungkin untuk menutup biaya produksi dan honor para anggotanya? Iya, belajar korupsi.


Mereka akan membuat Rencana Anggaran Belanja (RAB) yang diperbesar, supaya ketika terpotong pajak, angkanya masih tetap mampu mengeluarkan biaya untuk produksi karya.


Seperti itulah kapitalisme bekerja di dunia seni. Menjadikan seniman kelas atas sebagai motor penggerak sistem kapitalisme. Sekaligus menjadikan seniman kelas menengah sebagai orang yang "belajar korupsi". Dan menjadikan seniman kelas bawah sebagai pekerja kasar yang terus berteriak agar hak-haknya dipenuhi. Menyedihkan sekali, bukan?

Ads