Advertisement
Oleh Zackir L Makmur*
Terlebih dahulu harus dipaparkan apa itu geopolitik tanpa harus njlimet, rumit dan bertele-tele. Jadi, langsung tembak saja bahwa geopolitik adalah sebuah bidang studi yang memperhatikan hubungan antara faktor geografis, kekuatan politik, dan strategi di tingkat global, regional, dan nasional. Selain itu, geopolitik juga mempertimbangkan aspek budaya, ekonomi, dan militer dalam membentuk interaksi antarnegara.
Dalam konteks geopolitik Indonesia mengacu pula bagaimana faktor-faktor geografis, politik, dan ekonomi memengaruhi posisi, kebijakan, dan peran Indonesia di tingkat regional dan global. Geopolitik Indonesia juga memperhatikan faktor-faktor internal seperti stabilitas politik, keamanan nasional, perkembangan ekonomi, serta dinamika sosial dan budaya yang mempengaruhi posisi dan kebijakan luar negeri Indonesia.
Jadi, geopolitik dalam pengertian itu dalam jagat puisi Indonesia, jarang menggali tema-tema geopolitik karena beberapa perkara. Sebutlah di antaranya ada dua perkara, pertama, puisi sering lebih condong pada ekspresi perasaan individu, pengalaman pribadi, atau refleksi seputar kehidupan sehari-hari. Sehingga geopolitik, yang berkaitan dengan interaksi kekuasaan antarnegara, konflik, dan dinamika politik global, mungkin dianggap terlalu rumit atau terlalu jauh dari ranah pengalaman individu untuk diungkapkan dalam bentuk puisi.
Dalam perkara kedua, yakni warisan sastra Indonesia cenderung lebih mengutamakan nilai-nilai budaya, kearifan lokal, dan isu-isu sosial dalam masyarakat, daripada fokus pada peristiwa geopolitik global. Maka puisi sering digunakan untuk menyikapi atau merefleksikan realitas lokal dan pengalaman yang lebih dekat dengan pembaca.
Tak hanya itu, mungkin ada kecenderungan atau ketakutan untuk terlibat dalam isu-isu geopolitik karena risiko kontroversi atau represi dari pihak berwenang. Penyair mungkin lebih memilih menghindari topik yang sensitif secara politis, terutama dalam domain geopolitik yang bisa memicu respons negatif atau bahkan tindakan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi. Akan tetapi bahwa kurangnya penekanan geopolitik dalam puisi Indonesia, tidak mengindikasikan bahwa penyair Indonesia tidak memahami geopolitik. Sebagian dari mereka justru mungkin memahami dan peduli terhadap isu-isu geopolitik, namun mereka mungkin memilih media lain, seperti esai atau karya non-fiksi, untuk menyuarakan pandangan mereka tentang geopolitik.
Puisi “Tahanan” Dalam Geopolitik
Khusus puisi, di sini saya membedah beberapa puisi Dr. (H.C.) Willibrordus Surendra Broto Narendra, S.S., M.A. (7 November 1935 – 6 Agustus 2009) atau dikenal sebagai W.S. Rendra. Di kalangan muda bahwa penyair besar Republik Besar ini begitu akrab disapa: “Mas Willy.” Mas Willy adalah penyair, dramawan, pemeran dan sutradara teater berkebangsaan Indonesia. Sejak muda, dia menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa.
Di torehan-torehan penyair yang dijuluki Burung Merak ini, puisi-puisinya sering kali menjadi cerminan dari dinamika geopolitik yang memengaruhi masyarakat, baik secara langsung maupun melalui metafora dan simbolisme. Sejumlah puisi-puisi Dr. (H.C.) W.S. Rendra memberikan sudut pandang yang dalam tentang kompleksitas hubungan antarnegara, perjuangan politik, dan dinamika kekuasaan di tingkat global, regional, maupun nasional. Sebutlah di sini, antara lain, puisi yang berjudul “Tahanan.”
Dalam konteks geopolitik Indonesia, puisi "Tahanan" dapat dilihat sebagai cerminan dari sejarah Indonesia yang dipenuhi dengan perjuangan kemerdekaan dan penindasan kolonial. Melalui analisis puisi ini, terdapat sejumlah kaitan yang dapat ditarik antara puisi tersebut dengan perspektif geopolitik Indonesia. Puisi ini mencerminkan pengalaman penjajahan Belanda di Indonesia dan perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan.
Gambaran tentang para pemuda bertangan merah yang berjuang melawan penjajah Belanda, memperlihatkan semangat perlawanan dan patriotisme dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya, melalui gambaran tentang tahanan yang menghadapi eksekusi, puisi ini menggambarkan penderitaan dan kehilangan yang dialami oleh banyak orang Indonesia selama periode penjajahan.
Hal ini secara lebih lanjut memperkuat identitas nasional Indonesia yang terbangun atas pengalaman-pengalaman tragis dari masa lalu. Maka puisi ini juga menyoroti peran aktor geopolitik seperti Belanda dan tahanan sebagai subjek yang terlibat dalam dinamika geopolitik. Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya merupakan konflik lokal, tetapi juga merupakan bagian dari pertarungan kekuatan geopolitik antara negara-negara kolonial dan gerakan kemerdekaan di seluruh dunia.
Meskipun puisi ini berfokus pada pengalaman lokal Indonesia, tapi tema-tema universal seperti penderitaan manusia dan perlawanan terhadap penindasan juga membangkitkan solidaritas internasional. Hal ini menggambarkan hubungan yang kompleks antara geopolitik lokal dan dinamika global dalam perjuangan untuk kemerdekaan dan keadilan.
Dengan demikian, puisi "Tahanan" dapat dipahami sebagai cerminan yang kuat dari pengalaman sejarah dan dinamika geopolitik Indonesia. Puisi ini tidak hanya menggambarkan penderitaan dan perlawanan dalam konteks lokal, tetapi juga merefleksikan nilai-nilai universal yang relevan dalam perjuangan kemerdekaan dan hak asasi manusia di tingkat global.
"Atas ranjang batu
tubuhnya panjang
bukit barisan tanpa bulan
kabur dan liat
dengan mata sepikan terali" (Puisi Tahanan)
Kutipan ini memberi visual yang kuat dari keadaan seorang tahanan yang panjang tubuhnya di atas ranjang batu, dengan latar belakang bukit tanpa bulan. Ini menciptakan suasana yang suram dan menyedihkan.
"Di lorong-lorong
jantung matanya
para pemuda bertangan merah
serdadu-serdadu Belanda rebah"
Larik-larik puisi ini juga menggambarkan perlawanan para pejuang kemerdekaan yang berani bertempur melawan penjajah Belanda. Kata-kata "jantung matanya" memberikan kesan keberanian dan tekad yang kuat dalam menghadapi penindasan.
"Di mulutnya menetes
lewat mimpi
darah di cawan tembikar
dijelmakan satu senyum
barat di perut gunung"
Kutipan ini menciptakan gambaran tentang momen keberanian dan ketenangan seorang tahanan yang menghadapi kematian. Darah yang menetes dan senyum yang dijelmakan menunjukkan kedalaman emosi dan penerimaan atas takdir. Sekaligus pula bahwa bahasa puisi itu begitu kuat menyampaikan makna-makna yang mendalam tentang pengalaman penderitaan dan perlawanan dalam konteks sejarah dan geopolitik Indonesia.
Geopolitik Melawan Kezaliman Kekuasaan
Sementara itu dalam konteks geopolitik Indonesia pula, puisi "Gerilya” mencerminkan pengalaman sejarah yang kaya akan perjuangan melawan penjajahan dan kekuasaan kolonial. Puisi ini menggambarkan perjuangan gerilyawan dalam melawan penjajahan dengan menghadirkan gambaran tentang tubuh-tubuh pejuang yang tewas di medan perang. Hal ini mengingatkan bangsa Indonesia pada periode perlawanan rakyat terhadap penjajahan Belanda, Jepang, dan kemudian penjajahan kolonialisme di masa lalu.
Puisi ini juga menggambarkan pengakuan terhadap solidaritas dan dukungan internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan ketika para pejuang gerilya berjuang sendirian, mereka memiliki keyakinan bahwa keberanian dan pengorbanan mereka dihargai oleh masyarakat dunia yang memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan.
Terungkapkan pula dampak konflik lokal terhadap hubungan global, di mana konflik internal dan perang gerilya di Indonesia tidak hanya berdampak pada tingkat lokal –tetapi juga memengaruhi dinamika geopolitik di tingkat regional dan internasional. Solidaritas dan dukungan internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia memainkan peran penting dalam mengubah persepsi global terhadap perjuangan tersebut.
Dengan demikian, puisi "Gerilya" bukan hanya merupakan penghormatan terhadap perjuangan pahlawan dalam melawan penjajahan, tetapi juga menggambarkan peran geopolitik Indonesia dalam dinamika global pada masa tersebut. Perjuangan gerilya menjadi cerminan dari semangat kemerdekaan dan keadilan yang menginspirasi pergerakan kemerdekaan di seluruh dunia.
Bersamaan pula di sisi lainnya bila puisi “Tahanan” dan puisi “Gerilya” bersetting tragedi Republik Indonesia terjajah, sedangkan Republik Indonesia yang sudah merdeka pun dihamparkan Rendra tidak kalah tragisnya, antara lain pada “Sajak Bulan Mei 1998 di Inonesia.” Puisi ini adalah sebuah karya yang mengesankan dan membangkitkan kesadaran, menggali kondisi sosial dan politik Indonesia pada bulan Mei 1998.
Dalam sebuah periode yang diwarnai oleh krisis ekonomi berlarut-larut dan ketegangan politik yang mencapai puncaknya dalam kerusuhan dan kekerasan di seluruh negeri, puisi ini pun dihasilkan. Dengan ketajaman, Dr. (H.C.) W.S. Rendra memetakan kekacauan, kekerasan, dan ketidakpastian yang meresap dalam masyarakat pada waktu itu. Melalui bait-bait “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”, Rendra mengkritik tajam kekuasaan politik dan otoritas yang korup, sambil mengekspos ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia yang merajalela. Puisi ini menjadi sebuah seruan protes terhadap penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh elit politik dan penguasa.
"O, jaman edan !
O, malam kelam pikiran insan !
Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan."
Namun, dibalik kritikannya, puisi ini juga mengajak untuk perubahan. Rendra menekankan pentingnya penerapan hukum yang adil sebagai fondasi untuk mengatasi ketidakstabilan dan memulihkan kepercayaan masyarakat. Puisi ini tidak hanya menggambarkan penderitaan dan kekacauan, tetapi juga menawarkan panggilan untuk keadilan.
Dalam penyampaiannya, Rendra memanfaatkan gambaran-gambaran yang kuat dan metafora yang kaya untuk memvisualisasikan kondisi sosial dan politik yang tercabik-cabik. Gambaran tentang: “bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan” dan “bau anyir darah yang kini memenuhi udara'”menciptakan gambaran yang kuat dan menyeramkan.
Dalam konteks geopolitik Indonesia, “Sajak Bulan Mei 1998 di Inonesia” ini memberikan pandangan yang mendalam terhadap dinamika sosial dan politik pada masa kritis tersebut. Pada bulan Mei 1998, Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang parah, yang dipicu oleh krisis finansial Asia. Hal ini menyebabkan ketegangan politik yang meningkat karena ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatasi krisis.
“Sajak Bulan Mei 1998 di Inonesia” pun turut menggambarkan suasana kekacauan dan keputusasaan tersebut yang dialami oleh masyarakat di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan dan ketegangan politik yang merajalela. Meskipun puisi ini berfokus pada kondisi dalam negeri, tema-tema yang diangkat memiliki relevansi internasional. Ketika masyarakat Indonesia berjuang untuk keadilan dan demokrasi, mereka juga menginspirasi gerakan-gerakan serupa di negara-negara lain yang menghadapi ketidakadilan dan penindasan. Solidaritas internasional menjadi penting dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi.
Krisis politik dan ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 tidak hanya memengaruhi situasi dalam negeri, tetapi juga mempengaruhi citra Indonesia di mata dunia. Puisi ini dapat dilihat sebagai cerminan dari ketidakstabilan politik yang mungkin memengaruhi persepsi internasional terhadap Indonesia sebagai negara yang sedang mengalami masa transisi dan perubahan politik.
Geopolitik Indonesia Dalam Tantangan
Rendra juga menegaskan bahwa betapa hebatnya bangsa Indonesia karena mempunyai perjuangan dan kebebasan dalam menghadapi berbagai tantangan yang melanda. Digoreskannya hal ini dalam puisi “Rajawali”, yang dalam konteks geopolitik Indonesia, puisi "Rajawali" menandai semangat perjuangan dan kebebasan dalam menghadapi berbagai tantangan yang melanda bangsa Indonesia. Rajawali dalam puisi ini, diibaratkan sebagai pacar langit yang tidak terkekang, merepresentasikan semangat kemerdekaan dan ketahanan nasional Indonesia.
Pada tingkat politik, puisi ini mencerminkan semangat perlawanan terhadap penindasan dan kendala yang datang dari berbagai arah, baik dari dalam maupun luar negeri. Sejarah Indonesia yang penuh perjuangan, seperti masa penjajahan dan konflik internal, menempatkan rajawali sebagai simbol ketahanan dan semangat perlawanan bangsa dalam menghadapi dinamika geopolitik yang kompleks.
Rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti
Langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara
Rajawali terbang tinggi memasuki sepi (Puisi Rajawali)
Penyebutan "langit tanpa rajawali" dapat diasosiasikan dengan ancaman terhadap kedaulatan dan kebebasan bangsa Indonesia. Rajawali, yang setia membelanya, mencerminkan semangat untuk menjaga kedaulatan dan martabat bangsa dari ancaman luar yang mengintai. Pesan untuk "pencemar langit yang durhaka" menegaskan sikap tegas dalam menghadapi intervensi atau ancaman terhadap integritas negara.
Puisi ini juga menekankan bahwa kebebasan tidak hanya berarti kebebasan fisik, melainkan juga kebebasan batin dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Dalam konteks geopolitik, hal ini menegaskan pentingnya mempertahankan kedaulatan dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, serta memastikan bahwa keputusan nasional diambil berdasarkan kepentingan dan aspirasi rakyat Indonesia.
Puisi "Rajawali" memperkuat semangat nasionalisme, perlawanan, dan kebebasan dalam konteks geopolitik Indonesia. Puisi ini mengajak untuk tetap teguh dan bersatu dalam menghadapi tantangan geopolitik yang kompleks, sambil tidak melupakan nilai-nilai kebebasan dan kedaulatan yang menjadi pondasi bangsa Indonesia. (Bersambung)
* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).