Advertisement
Para senior Teater Keliling di adegan awal Mega Mega (Hermansyah Nasution, Karina, Dery Syrna, Rudolf Puspa, Buyung Bizard dan Aditya Jaya) |
Oleh: Gregorius Saputro
Saya haturkan kegembiraan saya bisa nonton pertunjukkan mas Rudy di GKJ dalam rangka memperingati 50 tahun teater keliling. Saya sungguh haru lan bangga kepada teater keliling yang kebetulan saya masih bisa nonton pertunjukkan-pertunjukkan jenengan mas. Saya dari Solo dan nonton “Mega Mega” ketika tahun 1974 di Sasonomulyo. Waktu itu saya kelas 3 SMAN 1 Margoyudan. Lalu saya kuliah di Gajahmada dan bersyukur setiap teater keliling pentas di Yogya saya selalu nonton. Saya ingat nonton “Konser Raya” lalu “Biduanita Botak”. Beberapa kali saya salami mas Rudy namun tentu mas tidak ingat karena saya hanya ketemu sebagai penonton saja.
Lulus kuliah saya mendapat kerja dan ditugaskan di perkebunan sawit di Kalimantan dan pindah-pindah ke Sumatera hingga Papua. Waktu di Padang saya pernah nonton pertunjukkan teater keliling di Taman Budaya membawakan cerita “Tengul”. Lalu di Manado saya senang sekali bisa terobati kangen nonton teater keliling. Kalau tak salah ingat saya nonton “Kapai Kapai”.
Dari semua yang saya tonton dan teringat terus yaitu “Mega Mega” yang di Solo mas. Kalau tidak salah 3 jam lebih ya mas durasinya dan tanpa istirahat. Ini hal baru karena setiap pertunjukkan yang saya lihat pakai isrtirahat di tengah pertunjukkan. Teater keliling membawa perubahan baru yang tentu banyak yang terkejut sekaligus terpukau. Bagaimana caranya latihan saya tidak kebayang sampai 3 jam pertunjukkan “Mega Mega” hampir imbang antara lucu dan sedih. Ada satu peran yang jadi terlucu setiap ia muncul yakni si tukang becak Hamung. Bagai pemain bola penyerang tengah dan setiap dapat umpan langsung tendang dan tertawa meledak penonton. Namun pemain lain seperti Koyal, Panut bahkan Retno, Mae pun ada lucunya. Tukijan yang paling serius juga banyak keseriusannya dalam berdialog tetap undang tertawa.
Sungguh saya kejar ke Jakarta dari Cimahi Bandung dimana saya tinggal sekarang untuk nonton Mega Mega yang dimusikalkan. Saya penasaran dan rindu teater keliling setelah belasan tahun tidak ketemu lagi. Saya nonton hari Sabtu siang agar bisa tidak usah menginap di Jakarta. Tapi saya baca2 ada pemain yang beda untuk Minggunya sehingga saya nekat dan dapat beli tiket walau malam. Saya pulang ke Cimahi dan besok siangnya ke Jakarta naik kereta dari Bandung turun di Gambir dan bisa dekat ke GKJ.Rasanya benar2 saya mendapat pengalaman baru yakni teater keliling yang bagi saya tetap sebuah garapan mas Rudy yang selalu membawa tampilan baru. Rasanya saya banyak rugi tidak bisa nonton setiap ada produksi baru yang pasti membawa bentuk-bentuk baru.
Saya angkat topi tinggi-tinggi buat mas Rudy yang nyata walau sudah usia kepala tujuh masih konsisten untuk membawa gagasan baru. Mega Mega yang saya pernah lihat hanya 7 pemain kini bisa menjadi puluhan pemain. Sangat berbeda produksi mas tahun 1974 dengan 2024 ini. Yang dulu suasana rakyat miskin, susah namun bisa membawa pesan moral bahwa hidup jika dijalani dengan tabah dan berjuang untuk bisa mengubah nasib pasti akan ada hasil gemilang. Ketegaran Mae hingga akhir walau menjadi kembali sepi ditinggal semua anak2 asuhnya toh masih memiliki kekuatan hidup karena memiliki keyakinan releginya yang sangat kuat. Pesan moral Mae terasa sangat kuat yakni sebagai orang tua wajib mendorong, mengingatkan dengan ramah serta mengayomi anak2nya untuk menyadari bahwa pilihan jalan hidup harus ditentuikan masing-masing dan siap hadapi risikonya.
Dekornya sangat beda dengan yang sekarang yakni pohon beringin yang dulu dibuat dari potongan2 kayu yang dalam acara diskusi mas jelaskan itu semua bahan yang ketemu di Sasomomulyo saja. Disusun sedemikian rupa hingga penonton percaya itu beringin. Tata lampu dengan bolam sorot 100 wat yang tidak banyak tapi terasa suasana malamnya di bawah beringin dan dipinggir jalan si Retno menjajakan dirinya. Merokok kreteknya sangat pandai sebagai perokok dalam menghisap dan memainkannya di sela2 bicara.
Pentas Mega Mega Teater Keliling 2024 |
Kini dengan teknologi digital yang hebat terlihat menggunakan set mapping yang memang sudah menjadi hal yang umum digunakan dalam pertunjukkan seni apapun. Namun mas Rudy masih mempertahankan beringin yang memang merupakan inti falsafah kehidupan yang tak terpisahkan dari Mae sang pengayom. Namun beringinnya lebih realis dan bisa naik turun ketika ganti adegan yang berbeda suasananya. Adegan lain seperti di alun-alun pelacuran, pasar Bringharjo, maling dan seluruh babak mimpi Koyal menggunakan mapping. Menarik karena semua adegan tersebut yang dulu hanya diceritakan oleh para pemeran kini dihadirkan secara fisik.
Tentu tujuan mas Rudy untuk memperjelas secara nyata dan rupanya disinilah musikal teaternya bercerita. Para penari yang terasa profesional sebagai penari sangat bagus. Penampilan gadis yang masih tingkat sekolah dasar bagus sekali. Lagu-lagunya juga bagus dan yang paling bagus adalah adegan pelacuran. Nyanyiannya, tariannya, pakaiannya benar2 musikal yang terkesan mewah. Cuma kok ya maaf mas jadinya kesannya bukan pelacuran kelas alun-alun tapi kelas hotel bintang lima.
Saya sungguh kagum mas Rudy masih kuat gaya surealismenya. Jika dilihat Mega Mega yang musikal ini tetap kuat landasannya yakni surealisme yang berada dalam tatanan modern mewah sementara yang dulu dalam tatanan hidup rakyat bawah yang sedang berjuang untuk mandiri. Costume 7 pemeran inti Mega Mega memang beda surealnya. Yang dulu surealistik dari natural kemiskinan yang terasa “gembel” dalam arti hidup tak berumah dan pekerjaan tetap yang bergaji bulanan. Tapi yang kini surealistik modern dalam design zaman kini. Kesannya seperti pertunjukkan kabaret Holywood. Inti kabaret Holywood adalah kuat intertainnya. Hidangan mata dan telinga namun kurang sentuhan hati, nurani dan konflik batin. Retno yang pelacur karena kemiskinan namun punya pakaian semewah itu rasanya kok kurang tepat. Tapi ini rasa saya lho mas.
Mungkin mas Rudy punya gagasan baru untuk itu; seperti juga costume Panut dan Koyal serta Hamung. Dari costumenya kurang terasa siapa mereka. Panut remaja heroik tapi dijalan salah. Koyal pemimpi dan yakin lotrenya akan menang hingga kehilangan kewarasannya. Hamung tukang becak yang hidup nerimo saja apa adanya dan tak suka campurin urusan orang lain. Tukijan yang idealismenya tinggi dalam mengubah hidup lewat transmigrasi. Retno yang galau oleh masa lalunya dan sedang mencari hidup lebih baik. Oya mas si pemuda yang mau melacur tapi ketakutan kurang tampak kehadirannya di panggung. Ada dua pemeran Mae yang bermain beda. Yang hari Sabtu sangat dinamis hingga joged segala yang malahan kelebihan dinamisnya. Mungkin kedua pemain masih perlu mendalami rasa tuanya. Hamung humorisnya kurang muncul. Terlalu serius karakternya. Tukijan kalau nyanyi kehilangan peran. Retno boleh dikatakan memang paling tampak pemeranannya. Koyal terlalu kanak2 sepertiya. Panutnya sudah tampak cerewetnya. Hanya keheroikannya kurang terasa.
Babak mimpi Koyal memang digarap sangat berbeda. Koyal nyanyi rep dalam menceritakan dirinya yang sedang mimpi. Dan ini diulang2 di tiap adegan mimpi dari ke direktur bank hingga beli keraton. Kalau yang dulu terasa sekali kehebatan lembaran lotre yang diberi kekuatan oleh direktur bank bahwa dengan menunjukkan lotre itu maka semua beres dibayar. Disini Arifin menyampaikan kritik sosial yang tajam dan piawai. Bagaimana kekuatan yang punya kekuuasaan bisa menguasai siapa saja. Yang diulang selalu tanya harga makanan, harga pakaian, harga wisata, harga keraton lalu tunjukkan kertas lotre dan rombongan Mae menjawab .... beressss..... Penonton tertawa namun perih rasanya. Bahkan akhirnya yang menjawab penonton dan tertawa bareng antara pemain dan penonton. Surealisme yang penuh otokritik berlangsung tepat. Tapi barangkali saya terlalu kuat dimasa lalu sehingga melihat yang ini rasanya jadi kurang jelas cerita apa babak mimpi Koyal ini.
Kenapa Koyal menghadirkan Mae cs dalam mimpi Koyal dan Panut tidak tentu ada motif kuatnya. Tapi saya percaya mas Rudy tentu punya gagasan baru kenapa mengubah seperti ini. Saya masih ingat dalam diskusi di Yogya ketika ditanya soal dimana kekuatan monoton; maka mas jawab bahwa monoton bisa menjadi kekuatan jika mampu memberi tekanan diksi yang terus makin kuat. Mungkin jika Koyal sekarang bisa seperti itu dalam ngerepnya maka akan tercapai kekuatan monotonnya. Ditambah tarian juga semakin cepat iramanya setiap berubah adegan. Saya menikmati kok mas dan bisa tetap senang melihat pertunjukkan teater keliling yang konsisten setengah abad terus manggung kemana-mana. Harusnya pemerintah memberi bintang penghargaan.
Pentas Mega Mega Teater Keliling 2024 |
Menghadirkan pemain senior yang sudah masuk kategori lansia merupakan ide cemerlang sutradara yang sekaligus adaptor dari naskah Arifin C Noer. Pesan moral dalam penyampaiannya memang tak diragukan telah memiliki pengalaman manggung yang matang. Walau hanya sekilas di awal dan akhir cerita namun adegan ini membuat penonton terutama saya ada yang dibawa pulang. Gelak tawa penonton sungguh tak tertahankan mendengar tiap kalimat yang dibawakan seluruh pemainnya yang tepat kena sasaran. Saya tercerahkan kembali ke masa lalu Mega Mega di Sasonomulyo yang tiada henti tertawa. Usai pertujukkan saya lihat penonton antri ke kamar kecil bukan karena sakit perut tapi terkencing-kencing. Warung-warung malam disekitar Sasonomulyo penuh diserbu penonton termasuk saya dan teman2 untuk makan dan minum karena lapar dihajar tawa ria sepanjang 3 jam. Saya dengar pembicaraan panjang tentang gagasan teater baru yang dibawa teater keliling ke Solo. Mungkin mas Rudy dan teman2 pemain sudah tidur istirahat sementara kami masih berdebat tentang gaya pertunjukkan teater yang baru kami tonton. Saya pulang jam 4 pagi naik sepeda bersama teman-teman dengan rasa puas dan kembali tertawa mengingat adegan2 Mega Mega. Di sekolahpun yang sama-sama nonton kembali kumpul dan masih bicara tentang Mega Meganya teater keliling.
Terima kasih kepada teater keliling yang telah mengubah diri saya sejak nonton Mega Mega di Solo tahun 1974 menjadi selalu mencari pertunjukkan teater. Siapapun yang membuat pertunjukkan saya selalu usaha nonton. Di Yogya banyak sekali dan ketika tugas diluar Jawa rada susah namun jika ada saya kadang harus kekota untuk nonton. Namun harus saya akui tak bisa semuanya saya bandingkan dengan kepuasan yang saya dapat dengan Mega Mega di Solo. Kehebatan teater keliling adalah di setiap pertunjukkan ada pesan moral yang bukan menggurui, atau menyalahkan orang lain namun justru lewat otokritik sosial kemanusiaan yang digarap secara guyonan.
Doa saya semoga teater keliling terus bergerak keliling karena kesadaran saya mengatakan sangat diperlukan bangsa agar secepatnya tidak menjadi bangsa miskin yang bodoh.
Matur nuwun mas Rudolf Puspa.
Cimahi, 9 Maret 2024.