Advertisement
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.*
Ni Kita Peleng, Matuari Ni Itu Mo, Ma Leo-Leosan Witu Un Tou Touan”
(Kita Semua Bersaudara, Oleh karena itu, Hiduplah Baik dalam Kehidupan Kita).
Sepotong kalimat di atas, merupakan tema besar yang menjadi permenungan tou (baca: orang) Rurukan, ketika di tahun 2024 ini merayakan ulang tahun negerinya yang ke 176. Bukan sesuatu yang kebetulan, penulis telah menjadi bagian dari perayaan ini sejak 2022 sampai saat ini. Namun demikian, semangat untuk terus mempertahankan budaya menjadi misi utama setiap tou (orang) Rurukan, karena itu penulis alami dan saksikan secara langsung. Dari pengalaman ini, penulis melihat betapa upaya seluruh masyarakat Rurukan untuk terus menggaungkan budaya asli mereka tampak dengan jelas, dikemas dengan konsep yang berkelanjutan, walaupun memang fakta itu harus dibaca sebagai sebuah teks.
Maka dari itu, budaya mazani yang tersaji dan dihidupi oleh sebuah bangsa pada akhirnya harus dibaca sebagai sebuah teks. Mengapa demikian, karena kebudayaan ibarat sebuah teks yang memang harus ditafsirkan, dan oleh karena itu, kita tidak perlu takut untuk menafsirkannya, dalam konteks ini menafsirkan budaya mazani Rurukan. Demikian juga, oleh karena budaya mazani itu merupakan sebuah teks, maka kebudayaan harus dibaca dan dipahami baik dengan pendekatan naratif maupun hermeneutis, karena kebudayaan melingkupi seluruh hidup dan merasuki seluruh kehidupan setiap individu manusia.
Di sisi yang sama, kebudayaan yang memang harus ditafsirkan itu, secara nyata menjadi sebuah primadona pariwisata budaya. Sebagaimana kita tahu, pariwisata budaya selalu mengedepankan keberlanjutan sebuah tradisi. Bandingkan bagaimana konsep yang sampai saat ini telah terus dikembangkan yakni wisata budaya, desa wisata, dan pariwisata berkelanjutan berbasis budaya. Di Minahasa terdapat beberapa objek wisata yang berbasis budaya, sebut saja salah satunya tuur maasering di Tomohon dan ‘desa budaya’ yang dalam setiap tahun merayakan ulang tahun ‘wanua’ Rurukan dan dijuluki ‘negeri para penyanyi’.
Di Rurukan, perayaan tahunan selalu dikemas secara apik dan melibatkan seluruh masyarakat Rurukan. Hal ini akhirnya sebuah gerakan untuk mengangkat budaya sebagai primadona para pemiliknya, yang serentak itu mendukung dan menopang pariwisata daerah di Sulawesi Utara secara keseluruhan. Maka konsep ini sejatinya merupakan aset penting masyarakat Rurukan yang serentak memperkuat pariwisata budayanya, dan dapat juga dilihat sebagai peluang bagi wisatawan untuk berkunjung, mengalami, memahami, dan menghargai karakter, tradisi, kekayaan alam, dan keragaman budaya Rurukan.
Dalam konteks mazani ne tou rurukan yang selalu menjadi main event perayaan tahunan ini, penulis mencatat beberapa fakta menarik yang dipandang sangat penting dan vital:
Pertama, seni mazani perlu dipahami dengan pendekatan hermeneutika (penafsiran), karena pendekatan kebudayaan melalui penafsiran, kita juga serentak menafsirkan sistem-sistem simbol, makna kultural dari seni mazani secara mendalam dan menyeluruh serta semakin meng-expose nilai nilai kultural yang dalam dari seni mazani ini. Melalui pendekatan ini, siapapun (pengamat, pengagum, penonton bahkan pembaca), mampu dituntun untuk dapat menafsir latar belakang, faedah, fungsi dan tujuan dari seseorang (baca: Tou Rurukan) dalam mempraktekkan unsur-unsur kebudayaan yang ada dan mereka hidupi. Dengan ini seni mazani sebagai sebuah salah satu kebudayaan di Rurukan merupakan sesuatu yang bersifat semiotis, yaitu sifatnya selalu hal-hal berhubungan dengan simbol yang tersedia dikenal, bahkan dihidupi dan diberlakukan oleh masyarakat Rurukan.
Kedua, seni mazani harus mengabdi kepada konsep pariwisata regeneratif. Pariwisata regeneratif ini merupakan pendekatan yang lebih proaktif terhadap keutuhan lingkungan dan budaya. Konsep pariwisata regeneratif juga oleh banyak kalangan disebut sebagai alternatif dari pariwisata berkelanjutan. Sejalan dengan itu, pariwisata regeneratif ini melibatkan pengelolaan sebuah aktivitas pariwisata dengan cara, yang tidak hanya meminimalkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat lokal, tetapi juga berkontribusi aktif pada pemulihan dan peningkatan kualitas keduanya, yakni lingkungan dan masyarakat lokal.
Akhirnya, seni mazani ini sejalan dengan tujuan utama dari pariwisata regeneratif yakni: Pertama, menemukan potensi lokal (dan komunitasnya) untuk kemudian memahami secara mendalam fitur-fitur unik dan sejarah, serta proses yang terjadi, yang berbasis lokalitas, yang mencerminkan, menghormati, dan meningkatkan sistem sosial-budaya-ekologis setempat. Kedua, menerapkan pendekatan “pemulihan” yang mendorong kebangkitan budaya dan seni, pengembalian tanah, dan memberikan keistimewaan pada pandangan, pengetahuan, dan praktik masyarakat adat/asli/lokal serta kelompok seni dan budaya setempat.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Katolik De La Salle Manado- Pegiat Filsafat, Budaya- Estetika