Advertisement
Istana Nusantara di Ibukota baru Indonesia. |
Oleh Zackir L Makmur*
Pembangunan infrastruktur yang pesat, boleh jadi dianggap sebagai simbol kemajuan dan modernitas sebuah negara. Padahal, di balik kilauannya itu tersembunyi pula fakta-fakta pedih dan mengiris psikologis. Fenomena ini secara dramatis terjadi dalam konteks pembangunan Ibu Kota, di mana kebutuhan akan ruang dan perkembangan urbanisasi sering kali bertentangan dengan pelestarian budaya dan tradisi masyarakat adat.
Sejarah mencatat berbagai contoh ibu kota yang telah mencabut akar budaya masyarakat lokal sejak zaman kolonial hingga zaman kini. Saksi bisu dari sini terhadap berbagai kasus di mana pembangunan ibu kota telah mencabut akar budaya masyarakat lokal, mulai dari zaman kolonial hingga masa kini. Di tengah gejolak kolonialisme, banyak ibu kota baru didirikan dengan cara yang merendahkan budaya dan hak-hak masyarakat adat yang telah ada sebelumnya.
Waktu itu Kota New Delhi di India, dijadikan ibu kota India pada tahun 1911 oleh pemerintah kolonial Inggris, tidak hanya memengaruhi struktur fisik kota –tetap juga merusak lanskap sosial dan budaya masyarakat lokal, terutama masyarakat adat yang tinggal di sekitarnya. Kemudian dalam konteks zaman kini, “hal” serupa nyaris terjadi pula di mana pembangunan ibu kota baru berdampak pada pencabutan akar budaya masyarakat lokal.
Kasus ini terdapat pula pada negara Kazakhstan yang saat ini sedang membangun ibu kota baru, Nur-Sultan (sebelumnya Astana), dengan ambisi modernisasi yang besar. Proyek pembangunan ini telah menyebabkan penggusuran massal penduduk lokal, termasuk masyarakat suku-suku tradisional seperti suku Kazakh dan suku Uighur. Dalam prosesnya, situs-situs bersejarah dan warisan budaya masyarakat adat sering diabaikan atau bahkan dihancurkan demi proyek-proyek infrastruktur yang megah.
Selain itu, contoh-contoh di mana perubahan ibu kota berdampak negatif terhadap keberlanjutan budaya masyarakat lokal semakin berjejer.
Salah satunya adalah kota Brasília di Brasil, yang dibangun sebagai ibu kota baru pada tahun 1960 dengan tujuan mempercepat pembangunan dan modernisasi negara. Meskipun proyek ini membawa kemajuan infrastruktur yang signifikan, namun dampaknya terhadap budaya dan identitas masyarakat adat, terutama suku-suku asli seperti suku Guarani –tetap tercerabut akar budayanya.
Tampaklah bahwa pembangunan ibu kota baru seringkali merupakan proses yang rumit dan kontroversial, di mana kebutuhan akan kemajuan ekonomi dan infrastruktur sering bertentangan dengan pelestarian budaya dan hak-hak masyarakat adat. Juga acapkali mengabaikan pertimbangan dampak sosial, budaya, dan lingkungan dari proyek-proyek pembangunan di ibu kota baru.
Budaya Betawi Terkikis
Dalam konteks Indonesia, masyarakat Betawi telah menjadi bagian integral dari identitas Jakarta selama berabad-abad dengan warisan budaya dan sejarah yang kaya. Namun, dengan terjadinya pembangunan Ibu Kota yang ambisius, masyarakat Betawi menghadapi risiko yang sangat nyata akan kehilangan akar budayanya yang dalam.
Perubahan lingkungan fisik yang diakibatkan oleh pembangunan infrastruktur dapat mengakibatkan kehilangan situs-situs bersejarah dan tradisional yang merupakan bagian penting dari warisan budaya Betawi. Situs-situs ini, seperti pasar tradisional, kampung-kampung Betawi, dan bangunan bersejarah, bukan hanya merupakan simbol identitas masyarakat Betawi, tetapi juga pusat kegiatan budaya dan ekonomi yang penting bagi keberlangsungan budaya mereka.
Pasar tradisional, misalnya, bukan hanya tempat untuk bertransaksi, tetapi juga pusat interaksi sosial dan pertukaran budaya. Di pasar-pasar tradisional Betawi, terdapat kekayaan budaya mereka melalui kuliner khas, kerajinan tangan, dan pertunjukan seni tradisional yang masih dijaga dengan baik. Namun, dengan adanya pembangunan, banyak pasar tradisional yang terancam penggusuran, meninggalkan masyarakat Betawi kehilangan ruang untuk menjaga dan memperkuat identitas budaya mereka.
Selain pasar tradisional, kampung-kampung Betawi juga menjadi simbol penting dari keberagaman budaya Jakarta.
Kampung-kampung ini merupakan tempat tinggal bagi masyarakat Betawi yang telah turun-temurun. Di sini, tradisi, adat istiadat, dan nilai-nilai leluhur dipelihara dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, dengan laju pembangunan yang terus meningkat, banyak kampung Betawi tergusur (dan punah) oleh proyek-proyek revitalisasi atau pengembangan kota baru, hal ini mengakibatkan terpisahnya masyarakat Betawi dari akar budaya mereka.
Bangunan bersejarah juga merupakan bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Betawi. Misalnya, Istana Tanah Abang, Gedung Kesenian Jakarta, dan berbagai rumah tua yang bertebaran di berbagai sudut kota Jakarta. Namun, banyak dari bangunan-bangunan ini menghadapi risiko penghancuran atau perubahan yang tidak memperhatikan nilai-nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya.
Ibu Kota Memiliki Dampak
Di sisi lainnya terjadi pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari DKI Jakarta ke Nusantara, yang terletak di wilayah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pemindahan ini karuan saja menjadi cerminan dari transformasi budaya yang signifikan di dalam negeri. Dengan disahkannya RUU Ibu Kota Negara (IKN) menjadi Undang-Undang pada 18 Januari 2022, ditandai awal dari perubahan ini maka penetapan Nusantara sebagai nama ibu kota baru, dan pada tahun 2024 ini perpindahan ke sana semakin nyata.
Perpindahan ibu kota memiliki dampak yang melampaui sekadar perubahan fisik lokasi pusat pemerintahan. Hal ini menciptakan gelombang perubahan budaya yang dapat membentuk identitas bangsa. Nusantara sebagai lokasi ibu kota baru menandakan pengakuan terhadap keberagaman budaya di Indonesia, karena konsep "Nusantara" mencakup wilayah yang luas dan beragam budaya di seluruh kepulauan Indonesia.
Namun, perpindahan ibu kota juga membawa tantangan dan potensi perubahan budaya yang kompleks. Masyarakat lokal di Penajam Paser Utara, yang mayoritas terdiri dari suku Dayak dan suku Kutai, memiliki warisan budaya yang kaya dan beragam. Pemindahan ibu kota ke wilayah ini dapat mengubah pola budaya dan gaya hidup masyarakat lokal, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, adopsi gaya hidup urban dan perubahan dalam pola komunikasi dan interaksi sosial.
Perpindahan ibu kota tidak hanya memiliki dampak fisik terhadap lokasi baru yang dipilih, tetapi juga membawa implikasi yang mendalam bagi budaya yang bernama penggusuran. Fenomena ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, mulai dari perubahan pola hidup masyarakat lokal hingga tantangan terhadap identitas budaya suatu bangsa.
Penggusuran budaya merupakan konsekuensi tak terelakkan dari proses pemindahan ibu kota. Ketika pusat pemerintahan dipindahkan, perubahan lingkungan fisik tidak hanya mencakup pembangunan infrastruktur baru, tetapi juga mengakibatkan hilangnya situs-situs bersejarah dan tradisional yang menjadi ciri khas budaya suatu daerah.
Merusak Keberagaman Budaya
Maka pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang telah menjadi pusat perhatian masyarakat, tak urung memunculkan pula perdebatan yang kompleks terkait dengan hak-hak masyarakat lokal. Salah satu isu utama yang muncul adalah perlunya memperhatikan nasib masyarakat adat di wilayah tersebut. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saurlin Siagian menegaskan pentingnya agar mereka tidak terpinggirkan dalam proses pembangunan yang berpotensi menggusur mereka.
Mayoritas penduduk di kawasan tersebut adalah masyarakat adat, sehingga perlunya memperhatikan dan menghormati hak-hak mereka dalam setiap tahap pembangunan.Di tengah perdebatan ini, masyarakat adat suku Paser Balik, yang sebelumnya telah dalam kondisi terancam punah, kini semakin rentan dengan rencana pembangunan IKN. Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menegaskan bahwa keputusan untuk menggusur masyarakat adat tersebut berpotensi menyebabkan kepunahan mereka.
Penggusuran sewenang-wenang tanah-tanah mereka bukan hanya mengancam eksistensi fisik, tetapi juga mencabut akar budaya dan identitas yang terkait dengan tanah tersebut. Hal ini bertentangan dengan tujuan negara untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya, karena keberlangsungan budaya dan identitas masyarakat adat juga merupakan bagian integral dari kesejahteraan nasional.
Perspektif tercerabutnya akar budaya dalam konteks penggusuran masyarakat adat merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Tanah bagi masyarakat adat bukan hanya tempat tinggal atau sumber mata pencaharian, tetapi juga adalah cerminan dari warisan budaya mereka. Penggusuran tanah-tanah mereka tidak hanya merusak fisik lingkungan, tetapi juga mengancam keberlangsungan tradisi, kepercayaan, dan praktik budaya yang telah dianut oleh generasi-generasi sebelumnya.
Dengan demikian, pembangunan yang tidak memperhatikan dan menghormati hak-hak masyarakat adat berpotensi merusak keberagaman budaya yang menjadi salah satu kekayaan bangsa Indonesia.Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk melibatkan masyarakat adat secara aktif dalam proses pembangunan, serta memastikan bahwa kepentingan dan hak-hak mereka diakui dan dihormati.
Mereka Kehilangan Akar Budaya
Penggusuran masyarakat adat dalam konteks pembangunan telah menjadi sorotan utama dalam agenda pembangunan modern. Di balik kilatan kemajuan infrastruktur, tersembunyi dampak yang tidak terhitung bagi keberlangsungan budaya dan identitas suatu bangsa. Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara menjadi salah satu contoh yang memperlihatkan bagaimana penggusuran ini bukan sekadar menggeser fisik, tetapi juga mencabut akar budaya yang telah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad.
Masyarakat adat adalah penjaga warisan budaya yang turun-temurun. Mereka hidup berdampingan dengan alam dan menggantungkan kehidupan mereka pada keseimbangan dengan lingkungan sekitar. Tanah mereka bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga tempat suci, pusat kepercayaan, dan cerminan identitas mereka. Namun, ketika proyek-proyek pembangunan mengancam untuk menggusur tanah-tanah mereka, mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga kehilangan akar budaya yang melekat padanya.
Ketragisan lainnya dari penggusuran akar budaya juga diberitahukan oleh sejarah, seperti kasus suku Amazigh di Maroko. Suku ini telah hidup di Pegunungan Atlas selama berabad-abad, menjaga tradisi, bahasa, dan cara hidup mereka yang unik. Namun, pembangunan proyek-proyek wisata dan infrastruktur telah mengancam keberlangsungan hidup mereka dengan merusak lingkungan alam dan mengubah pola hidup tradisional mereka.
Penggusuran masyarakat adat juga berarti memutuskan generasi penerus dari akar budaya yang telah tumbuh kuat. Anak-anak masyarakat adat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kaya akan tradisi, kepercayaan, dan kearifan lokal. Ketika mereka dipaksa untuk meninggalkan tanah leluhur mereka, mereka kehilangan akses ke warisan budaya tersebut. Identitas mereka yang terkait erat dengan tanah dan budaya leluhur, menjadi tercerabut, meninggalkan mereka terombang-ambing dalam dunia modern yang serba berubah.
Begitu pula di Papua Nugini, suku-suku pribumi seperti suku Huli di dataran tinggi tengah menghadapi serangan terus-menerus terhadap budaya mereka. Eksploitasi sumber daya alam dan pembangunan proyek-proyek industri telah merusak lingkungan mereka, memaksa mereka untuk meninggalkan pola hidup tradisional mereka dan menghadapi ancaman yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
Tidak hanya itu, penggusuran masyarakat adat juga menempatkan mereka dalam posisi yang rentan secara sosial dan ekonomi. Tanah adalah sumber kehidupan bagi masyarakat adat, menjadi basis mata pencaharian, dan fondasi keberlangsungan hidup mereka –justru digusur. Ketika mereka kehilangan tanah, mereka juga kehilangan mata pencaharian, kemandirian, dan stabilitas sosial ekonomi. Penggusuran ini meninggalkan mereka terjerat dalam kemiskinan dan ketergantungan, merusak keberlanjutan kehidupan mereka dan menyebabkan disintegrasi budaya yang lebih dalam.
Dalam konteks pembangunan IKN Nusantara, penggusuran masyarakat adat merupakan cerminan dari ketidakseimbangan antara kemajuan material dan pemeliharaan nilai-nilai budaya. Meskipun infrastruktur yang modern dapat meningkatkan kemakmuran dan kenyamanan bagi beberapa orang, namun tidak boleh dicapai dengan merusak warisan budaya yang tak ternilai harganya. Pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif harus mempertimbangkan aspek budaya dan identitas lokal sebagai inti dari upayanya.
Diperlukan tindakan nyata untuk mengatasi dilema ini. Pemerintah, bersama dengan para pemangku kepentingan terkait, harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat atas tanah dan budaya mereka. Proses pengambilan keputusan haruslah inklusif, memungkinkan partisipasi aktif dari masyarakat adat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi proyek pembangunan.
Sama-sama Tragis dan Ironis
Dalam era globalisasi dan modernisasi, banyak masyarakat adat di berbagai belahan dunia menghadapi tantangan serius yang mengancam keberlangsungan budaya dan identitas mereka. Ini terjadi tidak hanya pada masyarakat Betawi di Jakarta, tetapi juga pada masyarakat Pemaluan, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Keduanya dihadapkan pada dampak signifikan pembangunan infrastruktur, khususnya terkait rencana pembangunan ibu kota baru.
Masyarakat Betawi telah menjadi bagian penting dari identitas Jakarta selama berabad-abad dengan warisan budaya dan sejarahnya yang kaya. Namun, rencana pembangunan Ibu Kota baru membawa risiko nyata akan kehilangan akar budaya mereka yang dalam. Perubahan lingkungan fisik, perubahan sosial dan ekonomi, serta resiko hilangnya identitas merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh masyarakat Betawi dalam menghadapi pembangunan infrastruktur di Jakarta.
Sementara itu, di Kalimantan Timur, masyarakat Pemaluan, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, juga menghadapi situasi serupa. Sebagian besar dari mereka adalah masyarakat suku adat Balik atau Paser Balik yang telah menetap di wilayah tersebut sejak lama, jauh sebelum rencana pembangunan ibu kota baru diumumkan. Mereka juga menghadapi risiko kehilangan tanah, identitas budaya, dan mata pencaharian tradisional mereka akibat penggusuran dan pemindahan.
Kedua kelompok ini memiliki kesamaan sebagai masyarakat adat dengan akar budaya yang kuat dan unik. Mereka telah mempertahankan warisan budaya mereka selama berabad-abad, dengan identitas mereka terkait erat dengan tanah dan tradisi leluhur mereka. Namun, keduanya kini dihadapkan pada tekanan besar dari pembangunan infrastruktur yang mengancam keberlangsungan budaya dan identitas mereka.
Untuk mengatasi tantangan ini, langkah-langkah konkret harus diambil oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, baik di Jakarta maupun di Kalimantan Timur. Perlindungan terhadap situs-situs bersejarah dan tradisional, dukungan untuk mata pencaharian tradisional, serta keterlibatan aktif masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, harus diimplementasikan. ***
* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).