Seni, Imajinasi dan Vivid Dream dalam Perspektif Psikologi Imajinasi Satre -->
close
Pojok Seni
08 February 2024, 2/08/2024 02:13:00 AM WIB
Terbaru 2024-02-07T19:13:27Z
ArtikelEstetika

Seni, Imajinasi dan Vivid Dream dalam Perspektif Psikologi Imajinasi Satre

Advertisement


Oleh: Adhyra Irianto

Pojok Seni - Dalam "kepercayaan" sebagian besar agama, ada dua organ dalam tubuh manusia yang berkaitan dengan apa yang dipikirkan manusia. Keduanya adalah otak untuk memproduksi pikiran, dan berikutnya adalah hati untuk memproduksi perasaan.

Faktanya memang tidak seperti itu. Baik pikiran maupun perasaan, keduanya adalah diproduksi di otak. Hati dalam bahasa Indonesia, sebenarnya adalah translasi yang keliru dari heart (jantung) dalam Bahasa Inggris, atau qalb (juga berarti jantung) dari bahasa Arab. 

Maka wajar bila ada frasa "hatiku berdebar-debar" di Bahasa Indonesia, meski faktanya hati tidak berdebar. Karena, jantung yang memberi detakan sebagai efek dari pekerjaannya memompa darah ke seluruh tubuh.

Perasaan berisi sensasi, respon terhadap alam sekitar, dan pikiran (pikiran yang dimaksud adalah thoughts bukan thinking, untuk lebih jelasnya akan dibahas di artikel lainnya). Produksi dari sensations + feelings + thoughts ini menghasilkan sesuatu yang di-re-kreasikan dari pengalaman yang telah lewat. Inilah yang kerap disebut dengan "imajinasi", bahan bakar utama bagi penciptaan seni.

Karena itu, tulisan ini akan membahas tentang imajinasi dalam perspektif Jean-Paul Sartre (1905 - 1980). Sekaligus, mengulas salah satu "produk tanpa sengaja" dari imajinasi yang kadang sangat memberi pengaruh secara psikologis bagi seseorang. Salah satu produk dari imajinasi yang dimaksud adalah "mimpi". Dan, apa yang akan dibahas di artikel ini adalah tentang "mimpi yang terasa sangat nyata" atau "vivid dream".

Seni dan Imajinasi: Karya Seni dan Seniman


Untuk melihat imajinasi dalam sebuah karya seni, maka terlebih dulu kita perlu mengurai karya seni secara fenomenologis. Demikian yang ditulis Jean-paul Sartre dalam bukunya berjudul Psikologi Imajinasi

Klik pada gambar untuk pembelian


Karya seni, menurut Sartre, sangat bertumpu pada imajinasi sang seniman. Maka, imajinasi yang dimaksud adalah sebuah bentuk pengetahuan, karena itu juga dimasukkan salah satu jenis kesadaran.

Maka, proyek filsafat Sartre pada imajinasi adalah melakukan analisis fenomenologis terkait kesadaran. Perspektif fenomenologis yang digunakan sekaligus dijadikan pondasi adalah pandangan Edmund Husserl (1859 - 1938) yakni adanya sesuatu yang disebut intensionalitas kesadaran.

Sebagai pengantar, apa yang dikatakan Husserl tentang intensionalitas kesadaran adalah; kesadaran dilihat sebagai sebuah bentuk kehadiran pada realitas. Maka, kesadaran adalah akses menuju realitas. Itu berarti, ada "objek" yang dituju oleh kesadaran. 

Tanpa ada objek di depannya, itu bukan realitas tapi ruang hampa. Maka, bila tidak ada realitas tanpa objek di depannya, berarti tidak ada kesadaran tanpa objek. Dari titik ini, sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa hubungan karya seni dengan senimannya adalah hubungan antara kesadaran intensional dan objek intensional. 

Lalu, bagaimana dengan mimpi? Bukankah "ada objek" tapi tidak ada kesadaran (sedang tidur). Itu yang akan dibahas di bagian akhir artikel ini.

Kenapa Sartre menggunakan istilah "objek intensional"? Penyebabnya adalah, untuk membedakannya dengan "objek biasa". Katakanlah, apa yang Anda lihat di bawah ini?



Apa yang dilihat oleh semua pembaca artikel ini adalah hal yang sama. Bila dijabarkan dalam satu kalimat: "seseorang yang menulis menggunakan pena di sebuah buku". 

Dalam hal ini, "objek" di atas terlihat sebagai objek biasa. Namun, ketika didekati atau melibatkan kesadaran intensional, maka ada bayangan-bayangan lain yang hadir dalam pikiran. Mulai dari ingatan ketika menangis menulis sesuatu, atau menonton film/teater tentang seseorang yang menulis dan sangat berkesan, atau mungkin teringat mimpi menjadi seorang penulis, dan sebagainya.

Maka, objek "biasa" tadi berubah menjadi sesuatu yang tidak nyata atau irreel. Seperti ada sesuatu yang berterbangan, atau melayang, atau hidup, di sekitar "objek" tersebut. Dan itu ditopang oleh salah satu jenis kesadaran intensional, yang disebut dengan imajinasi.

Maka sampai ke penjelasan ini, Sartre mulai merumuskan "karakteristik imajinasi" adalah mengubah sebuah objek menjadi objek intensional. Alias, mengubah objek yang nyata menjadi sesuatu yang tidak nyata. 

Imajinasi membuat pena yang nyata pada foto di atas, berubah menjadi pena yang tidak nyata di kepala seseorang. Itu merupakan ciri khas kerja imajinasi, atau dalam terminologi Sartre disebut "operasi imajinasi". Setidaknya ada tiga kemungkinan cara kerja imajinasi, antara lain:

  • mengubah objek menjadi sesuatu yang tidak ada
  • mengubah objek menjadi sesuatu yang ada di tempat lainnya, tidak ada di situ.
  • mengubah objek menjadi sebuah kemungkinan yang belum bisa dipastikan apakah akan ada atau tidak.

Kita coba memberikan contoh kemungkinan hasil kerja imajinasi tadi pada satu objek lain. Misalnya, foto di bawah ini:


Ketika melihat "objek" di atas, dan melibatkan imajinasi, apa yang akan terpikir di kepala Anda?

Mungkin Anda terpikir ada kurcaci-kurcaci kecil tinggal di dalamnya

Atau, terpikir tentang hujan di luarnya, sedangkan Anda di dalamnya dengan orang yang paling Anda cintai

Atau, mungkin terpikir bahwa rumah tersebut bisa terbang dan berubah menjadi robot yang membasmi monster raksasa?

Apapun itu, hasil imajinasi Anda terhadap objek di atas bisa dikategorikan dalam tiga kemungkinan operasi imajinasi menurut Sartre. Contohnya; 

  1. Adanya kurcaci-kurcaci kecil tinggal di rumah tersebut misalnya, merupakan bentuk dari "mengubah objek menjadi sesuatu yang tidak ada".
  2. Hujan di luar rumah tersebut berarti "mengubah objek menjadi sesuatu yang ada di tempat lain, bukan di situ".
  3. Rumah tersebut ternyata pesawat terbang dan bisa berubah menjadi robot adalah bentuk dari "mengubah objek menjadi sebuah kemungkinan".

Bisa disimpulkan bahwa cara kerja imajinasi adalah mengubah/menghadirkan sesuatu yang tidak ada (ireel) menjadi ada (realitas). Watak dari imajinasi adalah "gaib", karena itu apapun realita yang dihadirkan akan berubah sifatnya menjadi gaib.

Karya performance art oleh seniman butoh Jepang, Katsura Kan

Ini alasan utama kenapa karya seni tidak bisa diukur dengan standar pengukuran realitas. Untuk menganalisis, mengritik, mengulas, dan sebagainya, pengamat/kritikus/pengulas perlu melibatkan "semesta imajinasi" miliknya.

Sebuah persepsi estetis tidak akan hadir bila Anda hanya menyaksikan "teknik bernyanyi", "skill bermain musik", "kemampuan berakting", "kemampuan olah tubuh", dan sebagainya. Apa yang hadir adalah "kekaguman" bukan "persepsi estetis".

Karena, karya seni merupakan produk imajinasi. Untuk menikmatinya, maka Anda juga perlu melibatkan imajinasi Anda. Evaluasi karya seni misalnya, bila dilakukan dengan pendekatan "realita" maka akan mereduksi karya seni tersebut sebagai produk imajinasi, menurut Sartre.

Imajinasi, Karya seni dan Mimpi

Lukisan Flaming June oleh Sir Frederic Leighton (1895)


Karya seni, baik itu berupa lukisan, tari, teater, sastra, musik, dan sebagainya, adalah ketika imajinasi ditampilkan atau dipresentasi/representasikan. Ketika ia masih berada di dalam kepala, ia tentu masih berupa "imajinasi". 

Seorang seniman, tidak hanya berlatih untuk meningkatkan skill, teknik, dan metode tertentu. Tapi, ia juga perlu berlatih untuk mengubah imajinasi yang ada di kepalanya, berubah menjadi sebuah bentuk artistik.

Masalahnya adalah, imajinasi ini lebih sering datang sendiri dan tanpa direncanakan sebelumnya. Salah satunya yang sering hadir adalah dalam bentuk "mimpi".

Dalam perspektif medis, situasi terlalu banyak neurotransmitter dan zat kimia di dalam kepala (melatonin, adrenalin, dan sebagainya) membuat bagian otak bernama thalamus (bertugas untuk menyampaikan informasi berupa teks, gambar, suara, dll) akhirnya mengirimkan terlalu banyak informasi ke bagian otak cerebral cortex.


Bagian otak manusia


Pengiriman terlalu banyak informasi (melalui neurotransmitter dan dipengaruhi banyak hormon) dari thalamus memaksa cerebral cortex (serebral korteks) untuk bekerja. Padahal, biasanya serebral korteks bekerja saat Anda "sadar", dengan memproses apa yang Anda dengar, teks yang Anda baca, dan apa informasi yang didapat otak untuk menjadi sebuah "konten" di dalam kepala Anda.

Sekedar meringkas, proses tidur terdiri dari beberapa tahapan yang dibagi menjadi dua bagian besar, yakni Non-Rapid Eye Movement (NREM) sleep atau "tidur tanpa gerakan mata cepat" dan Rapid Eye Movement (REM) sleep atau "tidur dengan gerakan mata cepat". 

Untuk kategori NREM, Bisa kita simpelkan menjadi seperti ini: 

  • dalam tahapan NREM 1, adalah transisi ketika Anda masih terjaga hingga mulai tertidur (kerja otak melambat)
  • tahapan NREM 2 adalah ketika Anda mulai tertidur ringan (kerja otak makin melambat)
  • tahapan NREM 3 adalah ketika Anda tidur nyenyak (kerja otak jauh lebih lambat, sehingga sangat sulit dibangunkan)


Setelah itu, masuk ke kategori REM, yakni ketika semua pergerakan mata, gelombang otak, dan tanda-tanda vital manusia sudah bergerak seperti saat tidak tidur. Karena itu, tahapan ini disebut sebagai Rapid Eye Movement atau gerakan mata cepat. Karena, gerakan mata saat berada di tahapan ini, sama cepatnya seperti ketika sedang tidak tidur.

Dalam kondisi seperti ini, otak bekerja "seakan" Anda sedang sadar. Karena itu serebral korteks mengirimkan "semesta imaji" sebagai pengganti realitas, karena saat itu mata Anda sedang tertutup.

Kondisi ini menjadikan Anda mengalami mimpi. Tapi, ketika informasi datang terlalu banyak, maka mimpinya akan sangat "detail" seakan Anda dapat merasakan aromanya, suhunya, menyentuh, dan sebagainya. Kondisi ini yang disebut "vivid dreams" atau mimpi yang terasa sangat nyata.

Imajinasi juga ikut bekerja dalam kondisi ini. Imajinasi yang membuat "semesta imaji" yang dihadirkan "dimodifikasi" sedemikian rupa. Maka, Anda merasakan sesuatu yang seperti tidak pernah Anda rasakan sebelumnya. Itu adalah kerja imajinasi, ketika objek-objek "biasa" yang diterima dan disimpan otak, diubahnya menjadi objek intensional.

Bisa disimpulkan, vivid dreams hanya bisa terjadi ketika seseorang berada dalam tahapan REM Sleep. Karena, di saat itu, tubuh dan otak bekerja seakan-akan seperti dalam kondisi sadar. Itu penyebab utama, vivid dreams terasa sangat nyata.

Secara umum, realita biasa dengan "ikut campur" dari imajinasi akan menjadikan "semesta yang mirip dengan realita", namun berbeda dalam perspektif biasa. Seperti lukisan di bawah ini, misalnya:


Lukisan tersebut adalah salah satu bentuk bagaimana sebuah objek (suasana di pasar tradisional) menjadi objek intensional. Pelukis mungkin tidak begitu memperhatikan wajah-wajah dari kerumunan orang tersebut. Tapi, ia fokus pada keramaiannya dan kesan-kesan yang hadir sebagai respon hal tersebut.

Kondisi ini juga yang terjadi dalam mimpi, juga pada vivid dreams. Anda seperti berada di tempat yang antahberantah, bertemu dengan orang-orang dengan wajah yang aneh atau mungkin tak pernah Anda kenali. Tapi, semuanya terasa sangat nyata.

Anda mungkin akan melakukan perjalanan "spiritual", atau terbang ke negeri di atas awan. Kondisi-kondisi tersebut membuktikan bahwa imajinasi manusia memiliki karakter "menciptakan sesuatu". 

Karena itu juga alasan profesi seniman tetap ada di dunia. Ada orang-orang yang terlalu menyala imajinasinya, sehingga perlu dituliskan atau dihadirkan dalam bentuk karya, untuk disampaikan ke orang lain.

Bagaimana bila seorang dengan imajinasi yang terlalu menyala-nyala, liar tak terkendali, dan memenuhi kepalanya, tapi tidak "disalurkan" ke karya seni? Maka ia akan sulit membedakan mana yang vivid dreams dan mana realita. 

Hanya ada tiga kemungkinan orang seperti itu dianggap masyarakat: seniman, orang gila, atau pembohong.

Ads