Pentas “Jerit Malam di Kampung Kalong” Oleh Teater Bias Sukma Jepara -->
close
Pojok Seni
27 February 2024, 2/27/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-02-27T01:00:00Z
teater

Pentas “Jerit Malam di Kampung Kalong” Oleh Teater Bias Sukma Jepara

Advertisement
Teater Bias Sukma Jepara
Pentas Teater Bias Sukma Jepara.


Pojok Seni/Jepara – Hujan seharian melanda Kota Jepara, namun tidak menyurutkan bagi para penonton setia Teater Bias Sukma (SMA N 1 Jepara) berduyun-duyun merapatkan barisan antri memasuki area pementasan di Aula SMA N 1 Jepara (Smansara) untuk menonton pementasan teater berjudul “Jerit Malam di Kampung Kalong” karya dan sutradara Eko B Saputro. Pentas teater dalam rangka produksi awal tahun itu mengusung tema ‘nasionalisme, persatuan dan kesatuan’. Pentas yang di gelar di Aula SMA N 1 Jepara (Smansara) Sabtu (24/2) pukul 19.00 WIB mampu menyedot perhatian ratusan penonton dan tamu undangan. 


Kepala SMA Negeri 1 Jepara Nur Yahya, S.Pd., M.Pd, dalam sambutannya melalui Maria Yekiana Mulyahati, M.Pd selaku Waka Kesiswaan menyambut serta mendukung kegiatan siswa-siswinya yang memiliki antusias, potensi, serta kreatifitas dalam seni teater. “Hal itu tercermin dari kesungguhan dalam mempersiapkan pementasan teater yang sangat menghibur dan bermuatan edukasi. Tentu saja yang terlibat di dalam produksi kali ini dapat belajar tentang kerjasama, komitmen, serta tanggung jawab” terangnya saat memberikan sambutan sekaligus membuka acara kegiatan pentas.  


Lakon “Jerit Malam di Kampung Kalong” karya Eko B saputro ini merupakan naskah kategori remaja bertema nasionalisme yang mengisahkan sejumlah warga yang tinggal di sebuah kampung pinggiran kota besar, bersebelahan dengan pasar buah. Di tempat itulah, setiap pada dini hari para kuli panggul menunggu angkutan buah yang hendak menurunkan muatannya. Semakin lama menjadi tempat mereka berkumpul dan mendirikan bangunan seadanya sekedar untuk berteduh.  Terkadang orang-orang kuli panggul, saat menurunkan keranjang berisi buah, mereka ‘ngutil’ atau mengambil beberapa buah yang sudah matang harum untuk di makan karena tidak mampu menahan lapar. Hingga orang-orang menyebut mereka orang Kalong dan tempat tinggal mereka yang semi permanen di kenal sebagai Kampung Kalong. Salah satu warganya bernama Mak Onah, ia tinggal bersama kedua anaknya, Tini yang linglung, dan Ros Jalu kesehariannya mengamen untuk mencukupi kebutuhan mereka. 


Pada suatu ketika, di Kampung Kalong kedatangan mahasiswa yang hendak PPL dan salah satu programnya adalah membangun sekolah gratis. Tapi banyak warga yang tidak setuju. Mereka selaku orangtua merasa keberatan jika anaknya sekolah. Mereka khawatir dan takut jika anak-anak mereka di sekolah akan mendapatkan bullying atau olok-olok karena anak kuli panggul, pemulung, dan miskin.Mereka juga takut jika anak-anak mereka ikut tawuran dan suka mabuk-mabukan. Hal itu meresahkan mereka. Puncaknya, pada suatu hari beberapa oknum pelajar dan mahasiswa melakukan demontrasi dengan alasan menyampaikan aspirasi. 


Justru demontrasi tersebut berubah anarkis, massa merusak dan melakukan bakar-bakaran. Kerusuhan terjadi, hingga masuk ke Kampung Kalong. Api merembet melahap bangunan milik warga sekitar. Mereka menjadi panik, situasi menjadi tak terkendali. Tini, anak Mak Onah, yang bercita-cita menjadi orang sukses tapi tidak sempat menikmati bangku sekolah, menjadi salah satu korban dalam kerusuhan malam itu. Mak Onah menjerit, menuntut keadilan terhadap Tuhan, ia juga marah terhadap pemerintah yang tidak pernah perduli dengan keberadaan mereka.


Secara garis besar, peristiwa dalam lakon naskah tersebut memotret citra pendidikan di kota-kota besar Indonesia yang kerapkali terjadi tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, demonstrasi anarkis yang kadang menelan korban warga sekitar atau orang tak bersalah. Tentu saja sebagai warga Negara Indonesia sudah sepatutnya saling menjaga. Termasuk pemerintah dan instansi pendidikan keberadaannya berperan penting dalam hal mengayomi, melindungi, dan memberikan pendidikan yang selayaknya. 


Naskah yang dibalut dengan kemasan dramatikal yang ironis ini tidak terlepas dengan unsur komedi sebagai pengadeganan yang menghibur sekaligus bermuatan edukatif. Dari pementasan terater ini tentu saja ada harapan tersendiri bagi semua masyarakat untuk menilai bahwa masa depan bangsa dan Negara bukanlah menjadi beban seseorang, melainkan kita semua sebagai warga dan bangsa Indonesia sepatutnya turut berperan serta dalam membangun serta menjaga kedaulatan NKRI. 


Tema besar nasionalisme, persatuan dan kesatuan itulah yang menarik minat Nadin Alfafa selaku pimpinan produksi untuk memilih naskah “Jerit Malam di Kampung Kalong”. Menurut Nadin,”Pemilihan naskah lakon tersebut karena peristiwa dalam ceritanya menarik bagi kami yang masih pelajar. Naskahnya cocok untuk di pentaskan di sekolah-sekolah. Ceritanya mudah di cerna, lucu, dan ada beberapa unsur muatan edukasinya sebagai bahan refleksi bagi remaja dan anak-anak sekolah,” ujarnya. 


Hal senada juga dikemukakan oleh T. Adi Prasetya, S.Pd, selaku Pembina Teater Bias Sukma, usai menonton pementasan tersebut bahwa konflik di dalam naskahnya cukup ringan dan tidak membebani para pemain, karena tokoh-tokoh di dalamnya kebanyakan remaja. Dan, baik cerita, ataupun alur peristiwa mudah diikuti dan dipahami oleh para pemain. Namun ada sisi lain yang masih kurang, yaitu beberapa pemain ada yang terlihat permainan emosionalnya masih kurang. “Hal yang tentunya lumrah terjadi, bagaimana memang setiap kali anak-anak yang belajar seni teater, bermain peran itu membutuhkan keseriusan berlatih, baik olah vocal, olah rasa, ataupun olah emosi. Hal itu kan untuk mendukung pemeranan mereka di atas panggung. Harapannya ke depan nantinya mereka akan berlatih lebih giat lagi, tetap berkreasi, dan selalu semangat berproses,” jelasnya. 

Ads