Mengenal Konsep "Wangsa" di Bali, Serta Perbedaannya dengan "Kasta" Buatan Eropa -->
close
Pojok Seni
26 February 2024, 2/26/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-02-26T01:00:00Z
ArtikelBudaya

Mengenal Konsep "Wangsa" di Bali, Serta Perbedaannya dengan "Kasta" Buatan Eropa

Advertisement
Konsep kasta di Bali

Pojok Seni - Bagi orang yang tidak memeluk agama Hindu dan tidak berada di Bali, satu yang diketahui adalah adanya sistem kasta, alias stratifikasi sosial masyarakat berdasarkan kepercayaan agama. Nyatanya, Bali sudah lama tidak menggunakan konsep "kasta" khas Hindu dari India tersebut.


Bali mengenal konsep "Wangsa" yang berarti keturunan, keluarga, dan setipenya. Sangat berbeda konsep dengan "kasta".


Perlu dicatat bahwa Hindu di Bali merupakan bentuk sinkretisme antara budaya lokal dengan ajaran Hindu. Tidak hanya itu, pengaruh dari Buddha yang dibawa klan (dinasti) Sanjaya yang membangun Prambanan, juga ikut melebur bersama ajaran Hindu yang dibawa klan Syailendra yang membangun Borobudur.


Tercatat sejumlah cendikiawan agama seperti Dang Hyang Nirartha, Dang Hyang Astapaka, dan Mpu Kuturan, adalah orang-orang yang menyatukan seluruh Bali dengan meleburkan ajaran-ajaran tersebut. Hasilnya adalah Hindu Bali yang kita kenal sekarang.


Hindu Bali mengenal sistem Kahyangan Tiga, antara lain Pura Desa (dewa Brahma), Pura Puseh (Dewa Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa). Konsep tersebut sudah dikenal sejak berabad-abad silam. Intisari dari Veda dan ajaran Buddha dileburkan, dipadu dengan budaya lokal setempat, menjadikan sebuah sistem kepercayaan yang unik di Bali.


Konsep Wangsa dan Perbedaannya dengan Kasta


Apakah ada sistem "kasta" di Bali? Banyak yang menyebut, sistem catur wangsa yang menunjukkan "kelas" adalah sistem kasta di Bali. Faktanya tidak seperti itu. 


Apa yang disebut sebagai kasta, ternyata adalah wangsa alias garis keturunan keluarga. Seperti tiga nama keturunan "ningrat" yakni Gusti, Dewa, dan Ida Bagus/Ayu. Ketiga ini disebut Triwangsa yang merupakan marga keturunan Dinasti Gelgel. Dinasti Gelgel adalah dinasti pendiri Kerajaan Bali.


Bedanya Ida Bagus/Ayu adalah keturunan cendikiawan (filsuf Hindu) bernama Dang Hyang Nirartha, yang saat itu menjabat sebagai pendeta istana. Dewa dan Gusti adalah keturunan dari Sri Kresna Kepakisan, raja pertama Bali dari dinasti tersebut.


Hal ini yang membuat marga Dewa dan Gusti lebih dipercaya untuk menjadi pejabat, menjalankan roda pemerintahan, alias penguasa di Bali. Sedangkan Ida Bagus/Ayu adalah penasihat keagamaan, pemimpin upacara adat, dan setipenya.


Bagaimana dengan yang bukan ketiga nama itu. Mereka adalah "masyarakat biasa", tapi mereka bisa menjadi apa saja. Anda pasti akan menyadari bahwa Gubernur Bali saat ini pun adalah "Wayan" dan wakilnya adalah marga "Tjokorda".


Kasta itu Buatan Eropa


Satu hal yang perlu dicatat dan digaris bawahi adalah, kasta itu sebenarnya sistem yang diciptakan oleh orang-orang Eropa. Sebelum bangsa Eropa datang, baik di India maupun di Indonesia, hanya ada "dua kasta", yakni kaum elit dan rakyat biasa. Bukannya hal itu tetap bertahan sampai sekarang?


Para "Brahmana" yang merupakan pemuka agama, dulunya masuk dalam kategori "kaum elit" karena berada di lingkungan istana. Di Bali, sistem kasta itu baru diperkenalkan oleh Belanda pada tahun 1910. Tujuan awalnya tentu untuk memecah belah rakyat Bali dengan penguasanya, agar lebih mudah dikuasai.


Tapi sayangnya, Belanda baru bisa "menjajah" Bali sejak 1910. Berarti, Belanda bahkan tidak sampai empat dekade menguasai tanah Bali. Sedangkan di India, Inggris berhasil menjajahnya selama berabad-abad.


Akibatnya, India masih terpengaruh dengan sistem kasta buatan Eropa tersebut. Sedangkan Bali, tidak berhasil didominasi dengan pemikiran "kasta". Bangsa Portugis yang pertama kali memperkenalkan kata "caste" ketika tiba di India, maupun Nusantara.


Caste ini artinya kelas sosial. Ini yang kemudian membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas, berdasarkan "dari rahim siapa mereka lahir".


Di Bahasa Inggris, istilah ini tetap dikenal sebagai istilah Caste. Bahasa Belanda, menjadi "Kaste" kemudian diserap ke Bahasa Indonesia menjadi "kasta". Jadi, bukan ajaran agamanya yang membagi manusia ke dalam empat kasta tersebut, tapi ulah dari penjajah.

Ads