Membaca ‘Kerumitan’ dari “Lecture-Performance: Wong Wedok Kudu Lapo?” -->
close
Pojok Seni
02 February 2024, 2/02/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-02-02T01:00:00Z
ArtikelBudayaSeni

Membaca ‘Kerumitan’ dari “Lecture-Performance: Wong Wedok Kudu Lapo?”

Advertisement
lecture-performance wong wedok kudu lapo
Para sesepuh Girirejo bersama Nadiya Kinasih, masih bekerja di masa tuanya untuk menghidupi keluarga, suami sakit-sakitan, anak, dan cucu dalam kehidupan sehari-hari (Foto: Nugoroho Sidiq)

Oleh Niken Anjani & Ratna Saridewi


Pengetahuan Langka “Lecture-Performance” dari Lereng Bukit Girirejo


Bagi kami berdua, tentu saja langka, (khususnya saya—Niken). Karena kami juga tumbuh dan berkembang di atas atau di area bukit ke bukit Tirtomoyo. Apalagi pertunjukan atau tontonan ini dipresentasikan dari lereng bukit Girirejo, Jobot Kidul, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, yang tidak pernah sebelumnya ditemukan model seperti itu. Baru kami mengerti kalau yang dipublikasikan ke khalayak luas, oleh Nadiya Kinasih, saat itu pada tanggal 28-30 Juli 2023, dilabeli dengan lecture-performance—yang kemudian dilanjutkan dengan serangkaian diskusi dan lokakarya hingga bulan Oktober 2023. 


Tidak berhenti di sana, rangkaian kegiatan yang sudah dilakukan Nadiya, terus berkelanjutan hingga Januari 2024 dengan berbasis riset praktik; membuka ruang-ruang diskursus yang berbeda (di kota-kota terdekat Wongoiri seperti Surakarta, Sragen, dan Boyolali), yang mana selama ini jarang dilakukan tentang hal demikian. Kegiatan ini pun setelah dua bulan berlangsung, baru mendapatkan Bantuan Pemerintah Stimulan Kegiatan Ekspresi Budaya Tahun 2023, Kemdikbudristek—yang membuat kami jadi mengerti tentang adanya program ini, dan hendak mencobanya atas pengetahuan tersebut di tahun ini untuk memasukkan kontribusi yang relevan dari sosiologi, antropologi, psikologi, dan seni.


Awalnya saya menduga semua biaya produksi yang dikeluarkan merupakan kerja independen olehnya dari berbagai macam sumber yang memberikan dana talangan atau yang disebut Nadiya sebagai kreditur, yang merupakan rekanan pada saat menempuh studi seni di Jawa Timur (Jatim), yaitu di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya, yang kini dirinya menempuh studi magister di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Saya nggak ngeh ada logo Kemdikbudristek di banner pinggir jalan (tepat) depan gang sebelum menuju kediamannya, menyebabkan jejaring kerjanya tidak lain adalah para pekerja seni Jatim—yang diaplikasikan di tempat dia tinggal kini, yaitu area kami dari kecil, yaitu Jawa Tengah (Jateng).


Di antara kami berdua yang paling kepo, Ratna lebih ingin tahu daripada saya yang cenderung malas sebelum diinformasikan. Tanpa harus memaksa ingin tahu, toh nantinya juga bakal dikasih tahu. Entah itu secara langsung maupun melalui booklet, pikir saya seperti itu. Dia lebih baik menelusuri dari artikel, jurnal, maupun YouTube daripada saya yang lebih memilih menunggu—sebelum berbicara banyak dengan Nadiya. Apa yang dimaksud dengan lecture-performance, kenapa disebut maupun mengajukan label semacam demikian. Bahkan sebelum diagendakan bertemu dengan Nadiya, pada awal Juli 2023, Ratna sudah menelusuri berbagai macam sumber soal label yang dimaksud (yang mana dua tahun belakangan ini dia sering kali dipertemukan melalui wisata internet dengan label ini). Dan saya juga tidak heran ketika kami berdua bertemu dengan Nadiya, Ratna terlihat bisa merespons dengan cepat apa yang hendak dituju oleh Nadiya. Karena dirinya bersungguh-sungguh mempelajari secara literatur (selama dua tahun ini), jadi wajar Nadiya agak ‘rumit’ menghadapi banyaknya pertanyaan dari Ratna.


Saya melihat percakapan ini sudah mengalami ‘kerumitan’—yang bisa memiliki beragam interpretasi, di mana Ratna lebih menguasai label pertunjukan maupun substansi yang hendak diangkat, dibicarakan, dan kenapa mesti dibicarakan maupun apa pentingnya untuk perkembangan masyarakat di Girirejo ke depannya. Saya berpikir Ratna jauh lebih menggunakan beragam perspektif (bahkan lebih optimis karena Ratna tidak dibebani dengan predikat aktivis ataupun penggerak sosial, dia hanya pemerhati yang berbeda pemahaman dengan Nadiya)—yang kemudian diajukan olehnya tentang psikologi sosial dan diamini oleh Nadiya, bertolak dari ‘kerumitan’ diskusi di antara kami bertiga.


Tepatnya tentang ‘gangguan’—bagaimana mengatasi, penyebab, dan konsekuensi perilaku ‘gangguan’ dalam berbagai manifestasinya dan menggambarkan strategi untuk pencegahan dan intervensi. Awalnya kami ingin membantu untuk mencari jurnalis media daring waktu itu (untuk sekadar diinformasikan), dan ‘kerumitan’ itu membuat kami berdua mengurungkan niat. Dikarenakan tidak hanya sekadar berita, perlunya ada pemahaman alternatif dalam menjembatani pikiran Nadiya yang ‘rumit’ bahkan cenderung ‘skeptis’ terhadap keadaan lingkungannya (seperti ‘rumit’ sendiri sebagai perempuan). Kami bersepakat untuk menuliskan sebagai dongeng/cerita yang dituliskan di akhir kegiatan secara keseluruhan di akhir bulan lalu. 


Ratna mengurai label itu dari makalah yang ditulis Belén Cerezo; akademis PhD-nya di Nottingham Trent University, menerangkan performance-lecture (juga lecture-performance) adalah bentuk hybrid dan heterodoks (menyimpang dari konvensi sebelumnya) yang mengandung komponen performatif dan diskursif. Lalu Ratna juga membaca bukunya Daniel Ladnar (akademisi di Department of Theatre Film and Television Studies, Universitas Aberystwyth,  Wales) yang menjelaskan bahwa label ini beroperasi sebagai metode untuk menghasilkan pengetahuan baru, menggambarkan pada interogasi riset/karya, dan membuka perspektif yang berbeda dari sebelumnya. 


Ratna juga membaca artikel lain yang berkaitan yaitu dar H. Hafifi sehubungan dengan label yang dimaksud dapat dipahami sebagai (1) strategi/taktik artistik untuk mendestabilisasi dan mengubah realitas ke dalam bentuk visual yang berbeda dari sebelumnya, (2) eksplorasi bagaimana praktik artistik untuk mengintervensi realitas yang diriset ke dalam visual dalam performance pada konteks lecture, dan juga (3) dapat dipahami sebagai praktik pemindahan proses-proses riset hingga hasilnya yang terus tumbuh dalam destabilisasi maupun transformasi. Terutama kaitannya dengan berbagai aspek ‘gangguan’, terutama pada perempuan yang sedang diriset oleh Nadiya secara psikologis yang bertolak dari dalam dirinya.


Hal yang terpenting bagi Ratna mengutip pemahaman Cerezo, label digunakan sebagai salah satu taktik kritis baru yang muncul dalam kerja-kerja riset yang tidak beroperasi pada kepentingan sepihak atau lembaga-lembaga terkait. Artinya  mempertemukan hubungan antara taktik artistik dengan ‘dokumen pertunjukan’—sebagai  praktik riset yang inovatif, eksperimental, dan spekulatif. Hal lainnya adalah; tidak terbatas; tergantung pada konten pekerjaan dan juga pada bentuk presentasinya, dan ini mesti disadari oleh Nadiya sebagai identifikasi dari satu perkembangan dewasa ini, bukan hanya mengikuti perkembangan tren—dan juga faktor ‘kebetulan’, yang seolah-olah semuanya datang seperti keajaiban, kami pun datang untuk ‘mengganggu’ pemahamannya untuk menguji dari validitas hasil risetnya.


Pernyataan kritis Ratna terhadap Nadiya atas ‘kerumitan’ ini, operasi ‘kebetulan’ seperti dirinya yang dialihkan menjadi sukarelawan desa yang bersifat independen, kemudian rekanan yang hendak berkolaborasi tentang label tersebut, tidak disadari bahwa apa yang sudah dialami tidak dapat didefinisikan secara artistik dari realitasnya. Karena seperti berada di luar tujuan operasinya. Karena itu, saya sangat meyakini bahwa Ratna jauh melampaui pikiran seorang aktivis perempuan, secara kognitif benar-benar diwujudkan sebagai suatu kecerdasan dalam pengelolaannya. 


Bukan hanya selesai pada pelisanan. Dan Ratna seperti lebih mengetahui maksud dari eksperimen sebagai inti dari proses sebuah artistik, yang dapat menjelaskan eklektisisme; sikap berfilsafat dengan mengambil teori yang sudah ada dan memilah mana yang disetujui dan mana yang tidak sehingga dapat selaras dengan semua teori itu.  Eklektisisme mengarah kepada sinkretisme, dan dalam menggabungkan ide-ide yang ada, kurang lebih untuk melihat konteks dan kesahihan ide, yang cenderung pikiran Nadiya dibebani ‘kerumitan’ permasalahan sosial dan tidak adanya ‘penggerak’ di kampungnya. 


Padahal kami berdua yang juga tinggal sekitar lima kilometer dari tempatnya ke atas bukit—diperlukan representasi filosofi realitas yang kontras secara fundamental, atau Ratna menyebut apa yang dilakukan Nadiya sangat dekat dengan kerja live art yang dapat dipahami sebagai seni yang terhubung dengan kehidupan dan segala sesuatu yang lain. Dengan kata lain, ada seni yang melayani seni dan seni sebagai layanan kehidupan. Dan kemudian saya melihat lecture-performance tengah berlangsung pada saat diskusi kami bertiga, karena Ratna sembari memperagakan dan membeberkan praktik-praktik dari banyak sumber, dan Nadiya seperti selalu ‘ngotot’ dengan pemahamannya—juga ‘rumit’ mendengarkan apa yang dijelaskan Ratna, yang berujung sikap merendah Nadiya. 


Padahal di balik sikap itu juga meninggalkan ‘kerumitan’ yang mendalam atas nama ego seseorang (untuk terus ‘meninggi’). Saya sesekali merekamnya lewat kamera ponsel—juga menjadi video esai dalam hubungan dengan lecture-performance, yang dipahami oleh Ratna seperti demikian melalui literatur yang dibaca untuk terus memasuki piskologis Nadiya dalam menciptakan opini publik.


Nadiya berbicara saat dirinya diminta untuk melatih senam ibu-ibu sepulang dari luar Wonogiri, untuk ajang perlombaan di tingkat daerah, dan memenangkannya, menjadi pencapaian yang tidak terduga-duga. Kemudian diajak oleh segelintir sukarelawan perempuan untuk mengaktivasi para perempuan, dibicarakan banyak titik lemahnya, tanpa mengulik titik kekuatan, yang hanya bersumber pada pergerakan para aktivis perempuan—bagi Ratna diperlukan eksposur dan penjelasan untuk melihat kemungkinan hubungannya yang non material (barangkali) perlu dilihat untuk pertemuan itu. 


Bukan hanya soal meditasi yang diduudkkan pada tempat paling puncak kejiwaan, jika pada kenyataannya bisa melukai seseorang yang diajak komunikasi, dan tentu saja Ratna cukup ‘terluka’ sebagai perempuan yang lahir dan tumbuh di sana; hal ini menurut kami menimbulkan suara lain untuk menghasilkan satu kajian teoritik, sekaligus difungsikan untuk memperkuat lecture-performance yang diajukan oleh Nadya, dalam konteks eksperimen, di mana senam menjadi bagian dari kenyataan dan seni yang disajikan; secara konsep juga menjadi ‘gangguan’ untuk mendikskusikan riset psikologi sosial dan menggambarkan fenomena sosial atas perempuan yang berlangsung selama ini.


Nadiya sedang menerapkan metode risetnya untuk mempelajari ‘gangguan’ yang dialami oleh para perempuan Girirejo; kenapa hingga kini fasilitasi untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilannya dinilai minim, kenapa hingga kini setiap perempuan di sini selalu tergantung pada langkah-langkah yang umum bukan pada langkah-langkah spesifik yang digunakan untuk memperoleh identitas dirinya sendiri, dan kenapa para perempuan di sini ‘dbiarkan’ begitu saja atas segala macam keterbatasan yang dimiliki. Masalah-masalah ini baginya dipahami sebagai ‘gangguan’ dari pihak-pihak terkait pemangku kebijakan/pengambil keputusan di Girirejo, dan juga ‘gangguan’ terhadap dirinya sendiri untuk merefleksikan pada kerja arstistiknya yang memiliki latar belakang sebagai penari dan koreografer—dan ini juga ‘gangguan’ bagi kami berdua yang menyelesaikan studi psikologi, dengan basis/peminatan/kecenderungan ilmu sosial dan klinis, juga dapat dikatakan kalau dirinya sedang mengalami ‘kerumitan’—yang dinikmatinya sebagai suatu keunggulan diri.


Mengurai ‘Kerumitan’ dalam Konteks Hubungan Psikologi Sosial dan Seni


lecture-performance wong wedok kudu lapo
Salah satu peristiwa dalam lecture-performance: Wong Wedok Kudu Lapo?, dengan membagi tiga ruang, dua indoor, dan satu outdoor, saling berhubungan satu sama lainnya (Foto: Nugoroho Sidiq)

Kami berdua sekalipun tinggal di desa, dengan mencari pengetahuan di berbagai macam tempat, antara kota dan desa, lantas sering mempertanyakan kini, setiap kata yang berhubungan dengan konotasi, langsung diklaim sebagai suatu teks yang berseberangan. Padahal label sendiri yang diajukan adalah heteredoks, yaitu menyimpang. Bagaimana seandainya istilah-istilah yang rumit, gagal, beku, gelap, dan sulit, tidak hanya berhenti di sana. Kenapa mesti dikatakan seperti demikian, bukan hanya terletak pada nantinya untuk menemukan bagaimana cara keluar dari kata-kata itu—yang bisa langsung tersedia di internet (dan secara umum sama penjelasannya). Ketika kita tuliskan bagaimana caranya, internet lebih menyediakan daripada kenapa terjadi semacam demikian—yang kemungkinan jawabannya lebih variatif.


Kami ingin mengajak pada konteks yang lebih terbuka pada tiga ruang dan waktu yang berbeda, serta caranya juga berbeda pula. Artinya sekalipun dalam sebuah pengajuan tiga hari dengan tiga ruang yang berbeda, juga sudah menimbulkan ‘kerumitan’ bagi kami berdua yang mendengar gagasannya. Kami sempat berpikir apakah Nadiya sengaja mengetengahkan konsep ‘kerumitan’ di tengah kehidupan sosial warga Girirejo, yang juga rumit dan sulit secara perekonomian, kalau dilihat dari perspektifnya. Dan tentu berbeda dengan perspektif kami berdua—yang berjalan normal dan dinikmati. Kenyataannya dalam tiga hari itu, hasil riset Nadiya pun sama, yang kemudian eksperimen itu dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya dengan membahas video yang disajikan secara grup Whatsapp, kemudian mendiskusikannya di sebuah tempat yang berbeda-beda dalam menyinggung ‘gangguan’ dari dampak keterbatasan para perempuan di sini (terkait  pikiran, perasaan, dan perilaku terhadap orang lain, serta dampaknya terhadap orang lain).


Tiga ruang yang dimaksud di atas, beranda rumah disulap sebagai ruang presentasi keluarga, para pembatik, para pelaku meditasi, maupun ruang diskusi atas para pemilik rumah tradisi; ruang kedua yang notabane ruang serbaguna kantor desa disulap menjadi peragaan para ibu-ibu untuk arisan warga; dan ruang ketiga yang notabene ruang lain kantor desa disulap menjadi ruang yang menghubungkan seni dan senam. Dari sejak mendengarkan percakapan hingga pelaksanaan berlangsung sudah menimbulkan ‘kerumitan’ tersendiri bagi kami. Hanya Ratna tetaplah seseorang yang terus kepo, ingin berusaha mengurai dan menjelaskan bahwa kata-kata yang langsung dipahami atau memiliki kesan ‘tidak nyaman’, justru baginya memiliki peluang yang berbeda.


Ratna membaca transformasi ruang yang kemudian dibagi tiga menurutnya dimaksudkan sebagai kesempatan untuk memilah-milah atau memisahkan kemungkinan besar masalah-masalah atau ‘kerumitan’ dalam kerja riset praktiknya di hadapan masyarakat Girirejo—dalam membongkar permasalahan karyanya sekaligus kenyataan yang dihadapi mereka. Ruang lecture-performance itu, semacam ajang membongkar cara-cara dalam menyelesaikan beragam kendala dan hambatan pada kehidupan sehari-hari, yang tampak menjadi ruang kolektif sosial melalui pertunjukan eksperimen, mengejar ide-ide baru dan memungkinkan lompatan imajinasi yang tidak terduga dari sebelumnya. Bahkan Ratna sangat tidak memercayai kalau Nadiya akan membayangkan, karyanya menjadi suatu kenyataan sosial—layaknya sehari-hari, bahkan kami menganggap tipis sekali dengan kenyataan—dan itu juga ‘gangguan’ bagi kami, yang dijelaskan olehnya sebagai proses-proses sosial ini (semua bagian dari fungsi psikologis setiap orang).


Nadiya sebagai presenter hilir mudik dalam tiga ruang itu, bahkan bisa berlangsung secara bersamaan tanpa memikirkan dan mempertimbangkan keterhubungan apa yang hendak dituju. Arsip-arsip dipresentasikan melalui ponselnya masing-masing pengunjung atau masyarakat yang ada di sana. Lantas diperagakan ulang, kemudian diwawancarai satu persatu; tanpa harus menggunakan bahan tertulis dari presentasinya. Hasil risetnya dikemukakan secara langsung, dan rekaman video diputar melalui ponsel. 


Nampaknya pembagian ruang pun juga seperti ruang penonton yang juga mereka adalah performer langsung; di mana ruang ketiga diminta stanby di sana, tidak lain mereka adalah ibu-ibu senam—yang dilarang menonton pada ruang pertama. Penonton/performer ruang pertama diperbolehkan menonton di ruang ketiga ataupun kedua. ‘Kerumitan’ ini dipahami oleh Ratna sebagai perbedaan kelas yang hendak disasarnya adalah rekayasaya dari pemangku kebijakan seperti stakeholder terkait—yang mana Nadiya sedang menantang praktiknya sendiri dalam menguji hal-hal yang baru—yang dibahas lebih lanjut pada bagian akhir tulisan ini.


Peluang Berbeda dalam Mengurai ‘Kerumitan’ Praktik-Praktik Kerja di Lereng Bukit


lecture-performance wong wedok kudu lapo
Sekelompok remaja yang dilatih oleh Nadiya Kinasih dalam kesehariannya yang kemudian menjadi dokumen pertunjukan—ditampilkan dokumen tersebut, lalu diperagakan ulang (Foto: Nugoroho Sidiq)

Kami bersepakat dengan pernyataan Joaquim Koester (seniman konseptual, fotografi dan video, Denmark) yang dirujuk dari tulisan Cerezo bahwa ketika kita tidak pasti adalah ketika kita mulai melihat. Sebelumnya kami merasa sangat ‘rumit’ pada pengertian sesuangguhnya di antara penjelasan dan ‘kekerasan hati’ Nadiya untuk menemukan apa yang hendak dibuatnya dengan label tersebut di lereng bukit. Keyakinan tentang dirinya sebagai aktivis perempuan yang lebih memadai daripada perempuan di sana, juga suatu hal yang ‘rumit’. Lantas menimbulkan pertanyaan kepada kami, tidak langsung menyimpulkan wataknya, tetapi kenapa mesti mengungkapkan demikian, ada apa di balik itu semua? Dan bagaimana jika perempuan lainnya, mengetahui hal itu, apakah juga tidak tambah ‘runyam’ dan di manakah ambang batas arogansi dan ‘kerumitan’ sebagai konsep atau pondasi dari sebuah karya? 


Kami secara tidak langsung diposisikan sebagai periset, yang semula hanya ingin menghubungkan dengan rekan jurnalis lokal, jadi memiliki pekerjaan rumah sebagai perempuan yang lahir, pergi, dan pulang dari dan ke Girirejo. Kami pun segera memutuskan seminggu setelah pertemuan langsung mengambil alih sebagai tukang cerita saja sepanjang praktiknya dengan segala ‘kerumitan’ pikirannya. Segala itu juga memiliki ‘kekuatan performatif’ karena menghasilkan dan membuat kami ‘terkecoh’ atas performativitas yang dikerjakan Nadiya. Tidak serta merta menyiratkan arti sebenarnya dari sebuah ‘gangguan’ yang ditunjukkan, atau disebut sebagai ‘gangguan’ yang “sehat”, yang tentu saja berbeda dengan ‘gangguan’ yang “buruk”—kami bakal menolaknya dari awal jika berhubungan dengan sesuatu yang negatif atau perilaku antisosial yang tidak ada hubungannya dengan kesehatan psikologis.


Berdasarkan tulisan Cerezo; bagi Derrida, tindakan performatif mengandung kekuatan transformatif dan provokatif. Butler membahas bagaimana identitas dan gender dibangun melalui tindakan yang dilakukannya sendiri; oleh karena itu mereka bisa berubah atau cair dalam pemahamannya, dan konsep tindak tutur itu sendiri merupakan bentuk tindakan. Kami kira hal yang ‘dirumitkan’ oleh Nadiya tergantung dirinya sendiri membawa aktivasi produktif yang terjadi untuk mengikuti ide-ide yang dipikirkannya; apakah itu berasal dari perenungannya sendiri, atau hanya provokasi dari luar. Dan kami jadi mengerti kenapa Nadiya banyak membeberkan foto melalui hapenya, karena bagi Cerezo bahwa foto adalah katalis peristiwa dan pertunjukan yang dianggap sebagai peristiwa, dalam studi gagasan pertunjukan, yang juga menjadi kunci keberhasilan peristiwa itu sendiri, yang juga dinyatakan oleh Erika Fischer-Lichte—kami kira dia sangat agresif  untuk menimbulkan beragam konsekuensi terhadap yang ‘mengganggu’nya selama ini. Disadari atau tidak disadari, yang pada gilirannya, mengandaikan harapan bahwa tindakan tersebut akan tercapai untuk menghasilkan hasil tertentu. 


Fischer-Lichte menggarisbawahi yang terpenting dalam gagasan labelnya adalah; berbicara tentang kinerja ‘kehadiran’ dan ‘representasi’ yang kabur. Kenapa bisa dibilang kabur? Karena kami juga tidak terlalu memahami bahwa Nadiya sedang mewakili perempuan Girirejo atau bukan, atau dia sedang memberikan pernyataan kritis, terhadap kami sebagai perempuan yang ‘asli’ dari sana, dan kemudian membalasnya dengan pernyataan berbasis literatur semacam ini, meskipun ini hanya dongeng. Elena del Río, dalam pandangannya merujuk pada pemahaman Deleuze tentang tubuh sebagai kumpulan kekuatan atau pengaruh yang berinteraksi dengan kekuatan lain atau memengaruhi pemulihan ke tubuh dimensi intensitas yang hilang dalam paradigma representasional. Disebutkan performance adalah peristiwa ekspresi dari pengaruh yang tidak dapat diasimilasi (tidak dapat disamakan dengan bahasa, struktur biner, dan fungsi ideologis). 


Elena juga menyoroti pentingnya tubuh sebagai penghasil atau penerima peristiwa afektif. Karena itu, pertunjukan bukan hanya semacam intervensi produksi artistik (walaupun umum digunakan seperti itu); juga dapat didefinisikan sebagai pengalaman yang menjadi peristiwa ekspresi dari Nadiya yang diproduksi oleh ‘kebetulan’—yang saya tidak meyakini bahwa ‘kebetulan’ itu merupakan bonus dari pekerjaan masa lalu. Dan Elena berpendapat untuk ‘saling memberi imbrikasi; struktur pengendapan dan serangkaian peristiwa yang saling memengaruhi atau membubarkan pengertian masing-masing yang dimiliki dari istilah sebelumnya. ‘Gangguan’ semakin terus berlangsung untuk mengarahkan pada tembakan yang disasar—kami berharapnya tidak meleset di kepala target. 


Istilah ‘kerumitan’ lainnya yang ingin diurai; merujuk pada pendapat Antonio Negri (filsuf politik Mark, Italia); membahas peran yang mungkin dimiliki performance dalam mengaktifkan kehidupan dan membawa kita pada perlawanan. Negri merenungkan bagaimana performatif mungkin didapatkan, ketika melintasi seni dan kehidupan, mengaktifkan realitas dan bagaimana hal itu membawa kita pada perlawanan, meskipun itu mungkin sebuah peristiwa dan mengarah ke sesuatu yang fana atau negatif. Dan kami sangat menyetujui ‘kerumitan’ Nadiya adalah performatif, yang bisa menjadi  tindakan kreatif. Karena membuka dan tidak menutup keberadaan; tak henti-hentinya […] untuk menghindari hal-hal yang merugikan para perempuan di sini. 


Performativitas membangun berbagai hal, cakrawala, isu, tema, dan berbagai macam proyek—yang diangkut dari tindakan Nadiya, yang mana sebelumnya kami kira merupakan orang yang ‘rumit’. Ternyata pada faktanya, ada lho yang lebih ‘rumit’ dari kami—yang diangkut melalui performance sebagai peristiwa ekspresi yang telah menjelaskan pengoperasian beberapa fitur utama dari metode kritis dalam praktik kerjanya Nadiya untuk menghindari ‘gangguan’ lebih besar dari beberapa tahun ini, semacam konsensus minimal dalam psikologi sosial riset ‘gangguan’ ini memberikan ruang  beragam untuk dimensi tambahan, dan dirangkum sebagai instrumental perilaku untuk mengembangkan diri sebagai perempuan secara intelektual.


Kami kira label ini merupakan instrumen yang sangat berharga dari lereng bukit;  untuk ditingkatkan bagaimana kita semestinya mengarsip segala macam peristiwa apapun dengan foto atau video (dari hape sekurang-kurangnya), dan ditempatkannya ke dalam aksi-gerak. Dari dokumen/arsip yang disajikan/diakses melalui hape masing-masing; masyarakat pada saat itu, termasuk kami jadi berpikir—dan merasa-tahu. Nadiya pada praktiknya lebih kepada seorang tukang dongeng, layaknya kami membocorkan ‘kerumitan’ pemahaman dari awal hingga kini, dan itu semua merupakan dokumen yang bersifat spekulatif dan esaiistik untuk dinarasikan secara  diskursif yang mencakup pemikiran, penulisan, penceritaan, ceramah, dan pengisi suara. Dan apa yang dikerjakan Nadiya sebagai riset artistik, bagi kami berdua bisa jadi sebagai riset artistik yang konkret dengan segala macam ‘kerumitan’nya atas upaya yang sulit untuk menemukan dirinya sendiri, dengan mengedepankan beberapa beberapa fitur utamanya yaitu: proposisi wacana pribadi dan non-sistematis, penggunaan gaya pribadi, pengulangan kata ‘keseimbangan’ dan ‘kemanusiaan’; yang membuat kami berdua semkain termotivasi untuk diselidiki secara intelektual; kenapa muncul pengulangan semacam demikian dan ada apakah di balik psikologi pribadinya? 


Kami tidak berani menyebut ini semacam esai, kalau merujuk apa yang disebut oleh Adorno menjelaskan bahwa esai; bagaimanapun tidak mengizinkan domainnya untuk ditentukan. Alih-alih mencapai sesuatu secara ilmiah, atau menciptakan sesuatu secara artistik, upaya esai mencerminkan kebebasan seperti anak kecil yang menyala-nyala, tanpa ragu, atas apa yang telah dilakukan orang lain. Karena itu, kami coba menggunakan pengalaman ini sebagai anteseden penting dari mode politisasi untuk melemahkan otoritas diri yang sudah diyakini oleh Nadiya atas dirinya, untuk ditinjau ulang terkait ‘gangguan’ dan ‘krisis’ yang dialami oleh perempuan Girirejo, khususnya untuk menghasilkan peristiwa di luar pengetahuan, jika merujuk pada pemikirannya Pirkko Husemann (akademisi teater, penulis dan dramaturg tari). 


Pengetahuan langka ini, memberikan peluang bagi kami yang tinggal di atas bukit dari lereng bukit untuk mengembangkan taktik artistik yang heterodoks; karena pengetahuan konvensi sebelumnya tidak dikuasai secara baik, dan tentu bersifat idiosinkratik; secara umum adalah sebuah aspek yang dimiliki oleh pembuat keputusan seperti nilai, bakat, dan pengalaman sebelumnya yang memengaruhi proses pengambilan keputusan atau kebijakan yang dilakukannya, dikonseptualisasi secara terus menerus. Kuncinya dalam praktik ini memungkinkan  kami terus berpikir dengan foto-foto, dan video-video sebagai suara yang berbeda, dan pemahaman yang berbeda, terkait menemukan ‘gangguan’ yang lebih masuk akal dimulai dari ‘gangguan’ apa yang sedang membuat kriteria niat, harapan, cita-cita, obsesi, dan keinginan seseorang bisa terbatalkan, apakah kita sejatinya dalam praktik sehari-hari juga sering kali ‘menggangu’ orang lain?

Ads