Gagasan Seni yang Tidak Ada di TPS -->
close
Pojok Seni
15 February 2024, 2/15/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-02-15T01:36:41Z
Artikel

Gagasan Seni yang Tidak Ada di TPS

Advertisement
Ilustrasi TPS unik

Oleh: Erwan Saing


Peristiwa politik adalah narasi utama suatu masyarakat yang alurnya sering berubah-ubah sampai detik ini. Kampanye-kamapanye baru tentang cara berkuasa baru sangat eksotis dan tropis. Kita akhirnya menyaksikan teater tanpa tiket hanya untuk menunggu seperti apa tokoh utama ini bekerja. Meskipun sadar, kita tetap saja tidak pernah tahu siapa tokoh utamanya. Melalui sejarah teater, seni visual dan sastra, seniman akhirnya lagi-lagi hanya menyaksikan secara bergiliran penulisan ulang narasi utama ini. 


Jauh sebelum adanya Pemilu di hari ini, pada pertengahan abad ke 4 SM, Teater Aristotelian oleh Aristoteles menggembori persoalan karakter tokoh yang tragis. 


Di bukunya dengan judul The Poetics membeberkan bahwa tokoh tragis itu harus menjadi baik dalam cerita. Harus melibatkan perubahan. Jadi maksudnya? bukan nasib buruk menjadi baik, tetapi nasib baik menjadi buruk. Bukan karena kejahatan dari tokoh, melainkan suatu kesalahan cuil yang berakhir menjadi nasib buruk tokoh. Tujuannya adalah untuk membantu rasa simpati, rasa kasihan dan sekaligus rasa takut kepada penonton, sampai mereka betul-betul menemukan pengakuan sendiri terhadap tokoh itu (baik atau jahat). Tahan dulu.


Jika ada grup yang memungkinkan seniman membuat teater dan ikut andil dalam pemilu, maka dengan metode exit poll bisa dipastikan orang-orang tidak akan mampu bersedia membeli tiket untuk itu. Atau bukan tidak mampu, tapi memang tidak berminat sama sekali. Atau bukan tidak berminat, memang orang-orang sedang sibuk dengan teater yang sedang berlangsung saat ini. Sudah berlangsung bertahun-tahun barangkali. Uniknya, para seniman merasa tidak ada keunikan sama sekali. Pergerakannya esek-esek, tidak menyentuh, dan tidak bergairah. Belum selesai seorang seniman digontor dengan kemiskinan, malah ditambah dengan perpecahan-perpecahan drama Netflix dan Korea. Mungkin karena meta di era reformasi masih membuat seseorang-seseorang tersanjung. 


Kembali ke tokoh tragis, di tahun 1974 dalam teater kaum tertindas, Augusto Boal tampaknya tidak senang dengan premis “baik menjadi jahat atau sebaliknya diakhir kisah”. Dia membela aktor dan penonton. Sangat tragis katanya, Aristoteles harus membayar banyak dari konflik itu. Mengubah aktor dan penonton yang menganut paham tersebut menjadi primitif kembali. Anti social. Alasan yang sangat sederhana sebetulnya, mungkin karena aktor banyak ditentang secara sosial oleh penonton jika telah selesai tampil dan berhasil memerankan tokoh tragis itu. Apa mungkin Boal meminta bayaran juga kepada Aristoteles terhadap fenomena sosial yang dialami Indonesia saat ini? 


Fenomena ini juga memanggil ingatan Revolusi Rusia, disaat pemerintahan Rusia fokus membangun karakter negaranya. Namun, seorang blasteran yaitu Vsevolod Meyerhold dengan praktik seni teaternya mengalihkan keadaan saat itu, bahwa ada namanya representasi hubungan segitiga antara penonton-pengarang-actor: hubungan segitiga antara negara-pengarang-masyarakat. Pertanyaan dari representasi itu adalah manakah sosok pengarang  yang dimaksud itu?. Meyerhold membeberkan idenya, jawabannya ada di penonton: jadi pengarang merupakan masyarakat itu sendiri. Masyarakat didorong berpikir dan membayangkan sendiri kenyataan-kenyatan verbal disekitar mereka. 


Tanpa merujuk Aristoteles, Meyerhold secara stilisasi tubuh, membutuhkan Masyarakat benar-benar tidak nyaman mengenali dirinya sendiri bahwa mereka itulah pengarang yang sebenar-benarnya. Jika dipertontokan dengan satu peristiwa misalnya gerakan-gerakan tubuh, mereka harus mampu membaca maksudnya. Dari tubuh mampu meningkatkan kesadaran tentang bagaimana tubuh itu memiliki artikulasi gerakan dengan dekonstruksi gerakan tersebut. Tidak harus menyertakan bahasa/retorika/verbal agar dapat dibaca oleh Masyarakat. Meskipun memang dari konsep ini membuat Meyerhold menjadi musuh rakyat Stalin saat itu. Banyak yang menyerang dan mendesaknya dengan alasan kemampuan masyarakat akan rusak untuk sampai dengan pemahaman seperti itu. Apakah ini merupakan sebuah hegemoni ketakutan para seniman jika ikut aktif dalam peristiwa politik? Tapi setidaknya, seniman dari Jerman yakni Bertolt Brecht justru terpengaruh dengan konsep stilisasi itu, dia berhasil mencapai keterasingan penonton di praktik teater epiknya. 


Setelah Meyerhold, keseregaman paham yang sama dialami oleh Brecht. Meskipun Brecht harus meninggalkan Jerman karena satir dalam karya produksinya tentang kebangkitan Adolf Hitler dan Nazi saat itu. Memastikan posisi masyarakat saat itu asing, mengurung mereka sampai tersesat dengan satirnya, hingga mereka terperangkap untuk mengenali dirinya. Kejeniusan Brecht untuk keluar dari Jerman, membuat karya-karya satirnya berhasil diterjemahkan di berbagai negara. 


Beberapa gagasan-gasasan seni teater yang pernah lahir dari lintas negara dan lintas masa, dipersatukan pada kubangan ini. Namun, gagasan-gagasan ini tidak bermaksud mengikuti tradisi narasi dari teater, melainkan mendorong seniman sebagai aktor sosial yang berperan mengungkap ruang media, ruang publik dan kepengarangan masyarakat terhadap peristiwa politik siang ini.


Sebuah gagasan tanpa KTP, dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang kenyataan yang dialami di pemilu kali ini. Bisa saja menjadi tampak lucu dengan keabstrakan para calon pemimpin atau bisa saja sangat tragis dengan pendukung-pendukungnya? Pertanyaan ini kita harapkan dapat dijadikan studi kasus bersama. Karena peristiwa politik tidak tumbuh secara organik namun peristiwa sejarah lahir dengan elastis. Ada ultimatum yang perlu diperjuangkan para seniman. Ini adalah cerminan kritis dari tokoh tragis Aristotelian dan representasi segitiga Meyerhold serta seruan seniman-seniman yang optimis lainnya. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan sarana untuk mengaktifkan kesadaran kita semua serta pikiran-pikirannya. Gagasan yang tidak ada di TPS ini sebagai referensi optimisme para seniman yang terkadang berhasil, meski tidak terlalu baik.


Surabaya, 14 Februari 2024.

Ads