Advertisement
Pentas Ketoprak dalam Sala Hatedu di Solo tahun 2023 lalu. |
Oleh: Adhyra Irianto
Akhirnya saya menonton secara langsung debat kelima calon presiden di saluran YouTube-nya mbak Najwa Shihab. Alasannya cuma satu, karena salah satu tema yang dibahas malam ini adalah tentang kebudayaan.
Saya garis bawahi dulu, pertanyaan yang diajukan pada para capres adalah:
Budaya akan tumbuh berkembang dalam komunitas responsif, yakni tiap individu memiliki ruang berekspresi. UU Pemajuan Kebudayaan telah terdistorsi dengan birokratisasi dan komersialisasi budaya.
Pertanyaannya:
Apa pandangan paslon terhadap komersialisasi budaya dan proses destruktif terhadap tumbuhnya kebudayaan yang responsif?
Pertanyaan tersebut menjadi sangat penting karena kejadian-kejadian akhir ini membuktikan seni dan budaya, muara akhirnya adalah pariwisata. Berarti, lagi-lagi muaranya adalah uang, bukan capaian artistik dan kebebasan berekspresi. Tapi, berapa pemasukan yang bisa didapatkan negara lewat pentas tersebut?
Komersialisasi budaya itu didukung oleh banyak pihak. Penyebabnya adalah intervensi yang terlalu dalam dari birokrat pada urusan kekaryaan dan kebebasan ekpresi budaya.
Alhasil, muncul banyak proses destruktif yang menghambat proses artistik seniman. Revitalisasi TIM misalnya, yang hingga saat ini masih terus memincu protes. Ada banyak pentas yang digruduk, dihambat, hingga dibubarkan hanya karena ada ketakutan tertentu terkait ideologi dan kritik dari pertunjukan yang bisa "merugikan" negara.
Sebagai tambahan, semua anak terlahir ke dunia tanpa gagasan apapun tentang ideologi, agama, moral, dan sebagainya. Maka, apapun ideologi yang masuk ke kepala seorang anak adalah hasil indoktrinisasi dari orang tua, sekolah, dan lingkungannya.
Bila ada seorang anak yang kemudian menuntut ilmu, kemudian mendapatkan pemikiran yang berbeda dengan mayoritas orang misalnya, apakah dibenarkan tindakan pembubaran pementasan yang digarap anak tersebut?
Itu kondisi yang terjadi hari ini. Ruang kebebasan berekspresi tentu masih menjadi hal yang wajib ada, berdampingan dengan "ruang taat aturan". Tujuannya, untuk tetap menjaga dialektika. Karena itu, seni lahir untuk memeluk kebudayaan, dan menjaga peradaban dari penggunaan para pembuat aturan yang mendominasi semua orang secara frontal lewat aturan-aturan yang mereka buat.
Tapi, bagaimana jawaban capres terhadap pertanyaan tersebut?
Pak Prabowo menjawab, budaya adalah hal yang penting, maka perlu disiapkan dana abadi kebudayaan. Serta, semua peninggalan dan artefak budaya harus dijaga dan dilestarikan.
Pak Ganjar menjawab apabila terjadi gesekan antara birokrat dan seniman, maka ia akan bersikap seperti birokrat. Negara hanya menyiapkan fasilitas, serta mempersiapkan ruang ekspresi yang sebesar-besarnya, kemudian duduk menonton apa yang ditampilkan oleh seniman.
Pak Anies menjawab akan mendirikan Kementerian Kebudayaan untuk memfasilitasi urusan kebudayaan (termasuk di dalamnya kesenian), yang terpisah dari kementerian pendidikan. Juga menyebut bahwa budaya bukan untuk dijaga, tapi dikembangkan.
Bisa dilihat dari tiga jawaban tersebut, apa visi ketiga capres terhadap kebudayaan. Ketiganya benar-benar "indah dan memukau", seakan-akan seniman akan mendapatkan ruang yang besar dan bebas berekspresi dengan dukungan negara.
Coba bayangkan, siapapun yang terpilih menjadi presiden, maka seniman akan mendapatkan kementerian yang khusus menangani masalah kebudayaan, atau mendapatkan dana abadi yang besar untuk kegiatan ekspresi, atau minimal mendapatkan ruang berekspresi yang tanpa tendensi dan intervensi.
Setelah membayangkan, sekarang mari kita mencoba menganalisa jawaban-jawaban tersebut. Pertama, kita harus menyatukan persepsi dulu, bahwa apapun yang disebutkan oleh mereka adalah "bahasa kampanye".
Kedua, artikel ini tidak mencoba mendukung, apalagi memojokkan salah satu paslon. Dan, ketiga, saya berasumsi bahwa yang membaca artikel ini adalah seniman, penikmat seni, atau minimal orang yang peduli dengan seniman.
Analisis Cara Para Capres Menggoda Seniman
Dramatisme
Sebagai seniman teater, maka saya akan melihat performa para capres di debat dengan pendekatan dramatisme. Dramatisme adalah paham yang dipaparkan oleh Kenneth D Burke (1897-1997) seorang akademisi, dan kritikus sastra asal Amerika.
Sekilas tentang Kenneth D Burke, Burke dikenal dengan pemaparannya tentang retorika, serta teori dramatisme. Manusia, menurut Burke, hidup di atas dunia sebagaimana di atas panggung drama. Mereka mencoba terlihat sempurna (atau menjadi seperti yang mereka inginkan), untuk diperlihatkan pada orang lain dan menciptakan kesan.
Selain itu, manusia adalah "makhluk simbolik" yang dalam komunikasi sehari-hari kerap menggunakan simbol. Seharusnya, simbol tersebut dipergunakan untuk merefleksi, merepresentasikan, atau menyeleksi realita. Namun, menurut Burke, lebih banyak manusia yang menggunakan simbol tersebut untuk terlihat sempurna, taat aturan, sempurna, dan berada di pihak kebaikan.
Debat diadakan oleh KPU agar para capres menggunakan gestur (untuk simbol) dan kata-kata (retorika), dalam tujuan kampanye dan menarik hati calon pemilihnya. Seharusnya, seperti itu.
Tapi, para pemilih paslon A akan tetap bersikeras memilih paslon pilihannya, terlepas apapun yang dikatakannya dan paslon lainnya dalam debat. Kondisi menonton debat, "dikondisikan" menjadi seperti menonton tim sepak bola. Mau tim sepakbola kegemarannya sedang mencetak gol, atau justru kebobolan, mereka akan tetap berada di belakangnya dan mendukung.
Tapi lucunya, ketika menonton timnas Indonesia, maka para "pendukung" ini akan mencibir ketika timnas kalah, dan ikut bersorak ketika timnas menang. Sedangkan untuk paslon Capres-cawapres, mau apapun yang mereka lakukan dan katakan di atas panggung debat, mereka akan tetap mendukung. Unik, bukan?
Secara umum, komunikasi atau dialog dalam perspektif teater, terdiri dari dua bagian penting: speech act dan retorika. Speech act berkaitan dengan "bagaimana cara mengatakan sesuatu", dan retorika berkaitan dengan "apa yang dikatakan".
Dalam terminologi Burke, speech act dibagi lagi menjadi dua, yakni tindakan biologis (tindakan turunan dari sifat hewani manusia) dan tindakan neurologis (tindakan turunan dari karakteristik manusia, sebagai pengaruh lingkungan, pendidikan, agama dan lain-lain).
Dan dari penjabaran tersebut, kita bisa melihat bahwa Pak Anies Baswedan memiliki speech act seorang akademisi atau orang yang berpendidikan tinggi. Pak Prabowo Subianto memiliki speech act seorang perwira tinggi militer. Dan, Pak Ganjar Pranowo memiliki speech act seorang birokrat atau "khas" pejabat.
Dorongan karakteristik ini yang memengaruhi "bagaimana cara mereka mengatakan sesuatu". Sedangkan basic pengetahuan memengaruhi "apa yang dikatakan".
Dari pendekatan dramatisme, kita bisa melihat bahwa para calon presiden ini masih mengandalkan "rayuan lama" untuk para seniman. Dengan mengandalkan "membangun dan menyiapkan dana", para capres sedang ingin menciptakan dirinya sebagai "sosok yang peduli seniman". Mari kita bedah lagi "kata-kata rayuan maut" para capres ini.
Masalah yang Dipertanyakan
Perlu dicatat bahwa ketiga paslon ini "menjanjikan" hal-hal yang cukup menggiurkan bagi para seniman. Dana abadi kebudayaan, kementerian kebudayaan, dan fasilitas ruang ekspresi yang bebas, itu yang ditawarkan dari ketiganya.
Hal yang perlu dicatat adalah, dana abadi kebudayaan sudah ada sejak tahun 2020 lalu, (simak di rangkaian artikel dana abadi kebudayaan).
Tapi, hasil evaluasinya adalah, peruntukan dana tersebut masih belum cukup menyentuh para seniman. Dana Abadi Kebudayaan dialokasikan lewat program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) sejak awal dengan total Rp3 triliun pada tahun 2021. Tahun berikutnya, ditambah menjadi Rp5 triliun. PP Nomor 111 tahun 2021 tentang Dana Abadi di Bidang Pendidikan terbit untuk mengatur akses masyarakat pada dana abadi kebudayaan. Sayangnya, sebagian besar penerima adalah pelaku seni di Pulau Jawa, dan sebagian laginya di Pulau Sumatera.
Koalisi Seni menemukan masalah yang berulang muncul dalam masalah akses ke dana abadi kebudayaan. Masalah pertama kurangnya tata kelola informasi, sosialisasi, dan workshop tentang penerimaan dana ini.
Masalah kedua adalah kurangnya sumber daya manusia untuk menjadi pengelola dana ini di tingkat daerah, sampai ke tingkat pusat.
(Lebih lengkap, baca di sini: Evaluasi Satu Tahun Dana Indonesiana: Dana Abadi, yang Fana adalah Akses)
Ada tiga insitusi yang mengurusi Dana Abadi Kebudayaan, antara lain Kemendikbudristekdikti, Kemenkeu, dan LPDP. Hasilnya, birokrasi yang berbelit dan menyulitkan para seniman menjadi masalah baru terkait Dana Abadi Kebudayaan ini.
Maka dari itu, solusi yang ditawarkan adalah, didirikan institusi khusus untuk mengurusi dana abadi kebudayaan. Sekaligus, institusi khusus itu juga berada di bawah kementerian khusus, dengan dinas/instansi yang khusus pula di tingkat daerah.
Selama ini, urusan kebudayaan yang menjadi tupoksi bidang kebudayaan, berada di bawah dinas/instansi yang cukup berbeda visi. Bila tidak di bawah Dinas Pendidikan (maka menjadi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan), maka berada di bawah Dinas Pariwisata (menjadi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan). Hanya sedikit daerah yang menjadikan Dinas Kebudayaan sebagai instansi yang berdiri sendiri.
Cakupan bidang pendidikan, juga bidang pariwisata terlalu luas, sehingga urusan kebudayaan kerap dinomor duakan. Karena itu, kebutuhan seniman dan budayawan akan Kementerian Kebudayaan sudah menjadi sangat penting saat ini.
Dari fakta di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa apa yang ditawarkan oleh para capres, sebenarnya sudah diajukan sejak dulu, dan sudah didengar pula oleh pemerintah saat ini.
Maka, kita mendapatkan poin pertama dari "cara capres menggoda seniman", yakni menggunakan ide-ide yang sebenarnya sudah atau akan berjalan.
Masalah Sebenarnya Tidak Terjawab
Masalah sebenarnya yang dipertanyakan adalah intervensi negara pada kebebasan berekspresi, serta menciptakan ekosistem masyarakat yang responsif. Masalah utama yang dipertanyakan adalah cara menghentikan perilaku destruktif pada pentas-pentas teater, serta "rekayasa" kegiatan kebudayaan yang sebenarnya bersifat ritual, berubah menjadi bisnis yang mendukung pariwisata.
Itu masalah utamanya, dan itu yang tidak terjawab sama sekali. Mungkin jawaban Pak Ganjar Pranowo cukup dekat dengan jawaban dari pertanyaan itu. Beliau berkata, seharusnya birokrat hanya perlu duduk manis, setelah membuka ruang ekspresi yang sebesar-besarnya pada seniman. Tentunya, sebelum itu, negara mesti mempersiapkan infrastruktur dan fasilitas yang memadai.
Tapi, masalah utamanya adalah sebagian besar perilaku destruktif yang terjadi dilakukan oleh ormas tertentu yang mengatas namakan agama, budaya, dan sebagainya. Ormas-ormas ini menggunakan kebenaran versinya, untuk mengacaukan pertunjukan yang akan digelar oleh sejumlah seniman di berbagai tempat.
Apakah ada perlindungan berekspresi bagi seniman? Tidak ada jawaban. Toh, negara akan duduk saja, setelah membangun gedung pertunjukan.
Maka, poin kedua dari "cara capres menggoda seniman", adalah tidak ada jawaban yang solutif untuk masalah yang dipertanyakan.
Berbeda dengan "bidang lainnya", seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan rakyat, dan lain-lain yang dianggap lebih vital. Pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) masih menjadi program andalan dari ketiga capres.
BLT yang menjadi cara paling ampuh bagi para paslon untuk mendapatkan suara, justru adalah cara paling tidak produktif untuk mengentaskan kemiskinan. Sampai-sampai, Presiden Joko Widodo sebelumnya menolak BLT karena tidak mengubah mental (revolusi mental andalannya), dan menjadi mental peminta-minta. Tapi, karena melihat "manfaat elektoral" dari BLT, justru Presiden Jokowi menjadi presiden yang paling kencang menggunakan program ini, bila dibanding presiden-presiden sebelumnya.
Program "mengada-ada" seperti memberi makan rakyat (persis seperti Korea Utara), memerlukan uang ratusan triliun agar bisa terlaksana. Darimana uangnya? Dana dari mana yang akan dialokasikan untuk dana "negara memberi makan rakyat" ini?
Ketiga paslon tidak berusaha untuk memaparkan bagaimana caranya agar penerima BLT berkurang. Tapi, justru memperdebatkan tentang menambah penerima BLT dan uang yang mereka terima.
Sedangkan untuk seniman, apa yang direncanakan hanyalah membangun infrastruktur, membuka ruang ekspresi, menyiapkan dana (dana abadi kebudayaan), dan mendirikan kementerian kebudayaan.
Untuk urusan "membangun/mendirikan", semua orang tahu, bahwa membangun itu jauh lebih mudah dilakukan oleh negara, ketimbang memeliharanya. Masalah utamanya adalah, bagaimana meningkatkan SDM yang mengelola kementerian tersebut? Tidak ada jawaban untuk itu.
Menyiapkan dana untuk kebudayaan, masalah utamanya adalah akses dari para seniman, karena minimnya informasi dan sosialisasi. Tapi, tetap tidak ada jawaban untuk itu.
Ruang ekspresi, masalah utamanya adalah tindakan destruktif, baik dari negara maupun ormas. Tapi, juga tidak ada jawaban untuk itu.
Masalah berikutnya adalah, bagian "kebudayaan" akan lebih consent pada masalah "budaya". Mulai dari melestarikan budaya, artefak, arsip, dan warisan budaya Nusantara. Grup kesenian modern, seperti grup teater modern, grup tari kontemporer, grup musik/band, dan sebagainya, masih cukup bingung mencari "induk". Apa solusinya? Lagi-lagi, tidak ada jawaban untuk ini.
Apa kesimpulannya? Seniman adalah posisi yang "tidak cukup vital" di mata para capres, bahkan negara. Seniman sebagai profesi, dianggap sebagai pekerjaan yang hanya sedikit peminatnya, jadi tidak menguntungkan bagi suara dan elektabilitas mereka.