Advertisement
Pojok Seni - Apakah hubungan antara desain dan seni? Saya mendapatkan pertanyaan tersebut di salah satu media sosial.
Pertanyaan yang menarik, dan seorang estetikawan bernama Roger Fry punya perspektif menarik terkait pertanyaan ini. Menurut Fry, seni itu sama dengan desain, dan desain sama dengan seni.
Sebelumnya, secara akademik, seni dan desain dibedakan. Seni adalah hasil imajinasi, sedangkan desain adalah perancangan benda-benda fungsional. Merancang baju, namanya fashion design, karena baju adalah benda fungsional.
Mari kita lihat bagaimana dikotomi antara seni dan desain di era sebelumnya. Kita misalkan saja ada sebuah kayu jenis jati yang diberikan pada seorang seniman.
Seniman ini memotong kayu tersebut menjadi dua bagian. Satu bagian dibuat menjadi patung, sedangkan satu bagian lagi dibuat menjadi asbak rokok.
Keduanya (asbak dan patung), dibuat menggunakan teknik yang sama, alat yang sama, bahan yang sama, dan dibuat oleh seniman yang sama. Namun, yang satu disebut seni (fine art) sedangkan yang satu lagi disebut kerajinan tangan/kriya yang masuk dalam kategori seni terapan (applied art).
Desain tadi masuk kategori seni terapan. Ketika sedang membuat patung, maka sang seniman sedang melakukan proses berkesenian.
Tapi, ketika sedang membuat asbak, sang seniman itu sedang mendesain sebuah benda fungsional. Sangat tipis sekali perbedaannya.
Bagaimana definisi seni yang sebenarnya?
Berbeda dengan seni (dalam bahasa Indonesia) yang cenderung mendekat ke kata sani yang berarti pemujaan, art (dalam bahasa Inggris) berasal dari bahasa latin ars yang berarti teknik. Ars juga merupakan terjemahan dair bahasa Yunani "tekhne" yang berarti teknik.
Maka tanpa teknik, "seni" hanya akan menjadi racauan, suara sumbang, dan teks yang diverbalkan. Nilai "seni" atau nilai artistiknya menjadi kurang. Maka persepsi pemirsanya (nilai estetik) juga menjadi berkurang.
Seni berada di ranah imajinatif. Dalam ranah imajinatif, tidak ada aturan moral, agama, responsif, hukum, kausalitas, dan sebagainya. Karena itu, tidak ada pertanggungjawaban moral dari seni.
Maka, pondasi utama dari seni adalah apa yang diyakini oleh senimannya. Seniman itu mencoba memengaruhi orang lain (pemirsanya) lewat karya. Karya tersebut "didesain" menggunakan teknik tertentu.
Nah, ini alasan kenapa Fry lebih suka menyebut "desain" ketimbang "estetika". Apa yang "didesain"? Apakah bahan bakunya, seperti kayu pada pematung, kata-kata pada sastrawan, laku dan dialog pada aktor, gerak tubuh pada penari, dan sebagainya? Apakah itu yang dimaksud "bahan baku".
Jawabannya, iya tapi bukan yang utama. Tubuh penari adalah hal yang sangat penting dalam karya tari, bukan? Yah, tapi kita sepakat bahwa hal yang paling utama justru adalah elemen-elemen formal dari tari yang berada di dalam dan luar tubuh penari itu.
Ada tatanan (order) yang disepakati oleh para penari yang berada di "jalur" yang sama, juga ada keragaman (variaety) di luar order yang juga disepakati penari. Begitu juga di teater, ada tatanan yang disepakati, di luar itu juga ada variety yang juga disepakati.
Untuk contoh, misalnya pecinta musik se-Indonesia sudah menyepakati bahwa suara perempuan yang bagus itu lembut dan merdu seperti suara Krisdayanti, atau lantang, unik, dan tinggi seperti Anggun C Sasmi, atau penuh teknik seperti Agnes Monica.
Namun, ketika mendengarkan Stars & Rabbit misalnya, dengan vokalis Elda Suryani (mantan vokalis Evo Band), maka muncul satu perbedaan (ragam) yang disepakati, di luar kategori yang formal (tatanan) tadi.
Tapi, ada syarat utama agar tetap dikatakan indah walau bagaimanapun suara tersebut. Syaratnya adalah, tepat nada alias tidak fals. Juga tepat ketukan atau tempo. Dan beberapa syarat lain yang harus dipenuhi sebelum satu karya bisa dinikmati. Itu yang disebut "indah secara formal" atau kalau istilah Roger Fry, summetria.
Misalnya untuk lukisan non-realis. Maka keindahannya tidak dilihat lagi dari bentuk fisik yang digambarkan di kanvas. Tapi, ritme garis, volume objek, ruang terang dan gelap, pilihan warna, dan fokus gambar. Elemen lain ini yang memunculkan banyaknya "variety" di luar tatanan awal yang sudah disepakati sebelumnya.
Karena itu, seni adalah desain. Karena ada syarat tertentu suatu karya bisa dikatakan indah, bahkan bisa disebut "karya seni". Seni adalah ungkapan perasaan, dan seni utamanya diciptakan untuk seni itu sendiri. Begitu tesis dari formalisme klasik.
Namun, bagaimana penilaiannya? Ternyata, penentuan atau pengukuran keindahan tersebut menggunakan aturan yang rasional.
Ini yang menurut Fry, sangat tidak masuk akal. Bagaimana sebuah hal yang bersifat imajinatif, dinilai menggunakan aturan rasional?
Bukankah itu sama saja dengan mempertanyakan bagaimana Musa bisa membelah laut dengan alasan yang rasional? Maka, penilaian secara rasional seperti yang dilakukan di perlombaan seni misalnya, justru membenarkan tesis Fry, bahwa seni adalah sebuah desain.
Sesuatu menjadi indah karena didesain. Itu berarti, sesuatu karya seni menjadi indah karena sudah direncanakan, ditata (order), dan melibatkan keragaman (variety). Keindahan formal, berasal dari tatanan tertentu, maka hal itu bisa saja dinilai menggunakan aturan rasional.
Bagaimana dengan "Fungsi" Seni?
Sekarang pertanyaannya, bagaimana dengan nilai "fungsi" dari seni tersebut? Bukankah perspektif modern menganggap karya seni adalah karya yang mengandung keindahan, namun tidak mengandung fungsi?
Seperti contoh tentang patung dan asbak yang dibuat oleh seniman yang sama di atas tadi? Satunya termasuk seni (art), yang satunya lagi adalah kerajinan tangan/kriya (craft). Atau, sering juga dibedakan sebagai fine art dan applied art.
Baik, ini jawaban Fry. Bukankah fine art dan applied art itu tadi sama-sama mengandung kata "art"? Keduanya adalah seni, dan sama-sama dibuat dengan cara didesain.
Kesaman satunya lagi adalah, unsur keindahan masih lebih diutamakan ketimbang unsur fungsinya. Misalnya, yah benar untuk memudahkan seseorang yang suka makan dan rebahan, maka sebaiknya meja makan didesain tepat berada di sebelah tempat tidurnya. Tapi, apakah seorang desainer interior mau melakukan itu?
Kemungkinan besar, tidak! Kenapa? Karena tidak indah.
Dengan kata lain, "keindahan formal" menjadi hal yang paling penting untuk diutamakan. Sebuah karya, masih belum bisa dibicarakan tentang "bagus" atau "jelek", kalau masih belum melewati "benar" atau "salah". Seorang pemain gitar, tapi masih belum "benar" memainkan gitarnya, maka permainannya masih belum sampai untuk dinilai "bagusnya".