Tujuh Tahun Abdi Abadi: Dari FTI -->
close
Pojok Seni
02 January 2024, 1/02/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-01-02T01:00:00Z
ArtikelOpini

Tujuh Tahun Abdi Abadi: Dari FTI

Advertisement
Penghargaan dari PTI untuk seniman teater Indonesia
Penghargaan dari PTI untuk seniman teater Indonesia



Catatan Rudolf Puspa.


Terkejut. Itulah gejolak perasaan saat menerima pemberitahuan dari Ita Siregar sekertaris Federasi Teater Indonesia untuk hadir menerima penghargaan.  Tidak dikatakan nama penghargaan sehingga dalam pikiranku tentunya seperti penghargaan tahunan FTI setiap memperingati hari jadi FTI. Almarhum Azwar AN dan Ir.Ciputra juga menerima penghargaan seperti yang tiap tahun juga diterimakan kepada yang dinilai layak menerima award FTI karena dedikasinya pada teater Indonesia.


Baru pada tanggal 26 Desember 2016 ketika ke GBB Taman Ismail Marzuki saya mendapat pemberitahuan bahwa penghargaan yang akan diterima adalah gelar sebagai “ABDI ABADI”. Sebuah penghargaan yang baru untuk pertama kali FTI memberikan. Itupun dijelaskan bahwa sekitar 2 bulan berbincang penghargaan apa yang akan diberikan kepada seorang Rudolf Puspa yang memiliki kegiatan  teater yang hampir tidak ada putusnya sejak 1974 dengan teater kelilingnya. Dari hasil pembicaraan pengurus FTI maka ditemukan nama “Abdi abadi”.


Suasana acara penyampaian piagam dan piala sebagai penghargaan dari FTI tahun 2016 begitu semarak selain dihadiri seniman2 teater juga pelajar2 SMAN 53 yang mengikuti ekskul teater disekolahnya yang dilatih teater keliling menambah semarak acara. Menurut panitia belum pernh ada rombongan anak sekolah menghadiri acara tahunan FTI ini.Bagi. saya hal ini semakin memperkuat semangatku untuk semakin terpicu mendekati anak2 remaja untuk semakin meluaskan kegiatan teater bagi remaja. Apalagi jika kita sadari Indonesia sedang menerima adanya bonus demografi 2020 hingga 2030. Sebuah kesempatan emas sebuah negara yang pada saat tersebut jumlah anak muda umur produktif sangat besar. Bonus yang bisa membahagiakan tapi jika gagal akan berakibat fatal. Bonus demografi hanya akan terjadi tidak lebih sekali. Mungkin saja bisa kembali setelah berapa ratus tahun lagi.  


Setiap tanggal 26 Desember dan juga hari2 sekitar 26 Desember 2023 kembali susana batin berada dalam lingkar perenungan yang semakin mendalam tentang arti “abdi abadi”. Berarti selama 49 tahun ini apa yang aku lakukan di ruang teater memiliki gerak pengabdian. Seperti pada umumnya arti mengabdi adalah menyerahkan seluruh gerak kehidupan kepada apa yang diabdikan. Jika dirunut kembali kebelakang memang bisa dikatakan tak  ada gerak kegiatan selain dilingkar teater. Tentulah FTI memiliki perhatian dan penelitian serta akhirnya penilaian untuk layak mendapat penghargaan yang sangat membanggakan adanya. 


Lebih jauh ketika memasuki pusaran hidup berkesenian memang ada satu tuntutan yang merupakan sebuah tantangan yang tidak ringan. Khususnya dinegeri yang masih belum memberikan janji bahwa hidup memilih menjadi seniman khususnya teater rasanya masih merupakan impian yang sukar terwujut. Bukan berarti tidak ada yang telah melakukan hal tersebut selama ini  Jika melihat sejarah perjalanan berteater selama ini jelas sekali betapa tidak mudahnya berada di rumah teater yang belum kokoh tiang2 pancangnya. Yang ada masih berupa warisan bangunan yang compang camping. Tidak akan nyaman untuk berteduh karena kebocoran atapnya begitu besar dan semakin membesar.Sementara menyiapkan produksi di bengkel yang compang camping dan miskin peralatan ternyata begitu rumit sehingga diperlukan keberanian bekerja keras serta keyakinan kedepan bahwa sinar terang akan terbit esok hari. 


Disaat merenung selalu muncul ucapan pak Hasyim Amir, dosen IKIP neg Malang (kini univ negeri Malang) bahwa jika selama lima tahun masih  berteater maka baru akan dia terima sebagai seniman teater. Hal ini sama dengan pendapat pakar teater bahwa seni akan mulai ketika problem teknis sudah selesai. Jika mengikuti pendapat ini maka untuk menyelesaikan problem teknis berteater tentu bisa berbeda-beda waktunya mengingat tiap orang bisa berbeda dalam menyediakan waktu untuk berlatih. Disiplin berlatih disini lebih mengarah pada pelaku teater yang diluar akademi. Jika memang kuliah tentu saja ada hitungan perkuliahan yang memiliki target misalnya berapa semester harus selesai dan kalau melebihi maka bisa gagal yang berarti harus mulai dari awal kuliah lagi. Khusus hal kuliah teater sering aku bertanya2 kenapa sekian ribu lulusan fakultas teater dari seluruh kampus seni yang ada di Indonesia sangat minim yang berani dan mampu berada di kisaran rumah teater? Tentu saya tak mau sebutkan alasan utama karena akan terdengar sebagai klise yang makin tajam melukai.


Selanjutnya problem kurangnya bagi pelaku teater akan waktu memang bisa dilihat setidak2nya masa yang sedang berlangsung saat ini adalah belum mampunya kegiatan produksi teater dapat menjanjikan profesional dengan membawa janji bisa menghidupi pelaku teater. Pendapat umumpun masih mengatakan bahwa seni adalah “hoby” bukan pekerjaan. Salah satu efek jika pelaku teater memiliki kerja lain yang bergaji maka ketika ada perintah untuk masuk kerja karena mendapat tugas tambahan maka dengan mudah akan meminta maaf untuk tidak hadir di ruang latihan walau sudah membuat deklarasi sejak masuk produksi akan mematuhi jadwal latihan. Dalam hal ini produser akan wajib bisa memaklumi walau dengan hati yang berat. Ia menyadari bahwa ketidak hadiran pemain di jadwal latihan itu artinya “mengganggu” jalannya latihan.


Pemahaman akan arti pengabdian pun menjadi rancu di ruang teater dan ruang2 lain seperti film misalnya. Film tentu saja lebih berani membuat kontrak dengan segala aturan2nya dan juga sangsi bagi yang melanggar aturan. Ada kontrak tertulis berarti harus memiliki kepatuhan terhadap apa yang ditanda tangani. Jika melihat hal seperti ini maka apa yang disebut pengabdian tentu bergeser kepada adanya perhitungan “profit” dibanding idealisme. Sebagai ilustrasi bahwa masih ada di keraton2 para pegawainya disebut abdi dalem menerima gaji yang tidak mausk akal. Dan disanalah kita bisa melihat apa yang disebut pengabdian. Namanya saja sudah melambangkan hal tersebut yakni “abdi dalem”.  Mereka benar2 menyerahkan kehidupannya untuk mengabdi rajanya. 


Dalam hal pengabdian akan dapat dirasakan satu perasaan yang sangat kuat yakni “rasa cinta”. Para abdi dalem di keraton bisa dilihat betapa cintanya pada sang raja sehingga sampai matipun sanggup memberikan jika diperlukan. Barangkali inilah jawaban renunganku selama tujuh tahun ini akan arti “abdi abadi”. Sungguh dapat kurasakan rasa cinta kepada teater sehingga untuk ,menjalaninya benar2 tak ada kata menawar dan langsung dijalani. Namun karena memiliki jabatan sebagai sutradara maka banyak cerita yang merupakan gangguan2 yang sering melukai gerak langkah menjadi “abdi abadi”. Yang terasa berat adalah harus menyediakan rasa untuk mampu kompromi ketika ada pemain meminta ijin absen. Tidak ada ketemu alasan kuat untuk tidak memberikan persetujuan. Kadang alasan2nyapun terdengar amatir bagi sebuah gerak berkesenian namun tetap harus diterima. Apalagi jika sudah menyinggung apa yang sering terdengar yakni urusan keluarga. Keluarga ada yang sakit harus menemani berobat, ada yang datang dari luar negeri dan harus jemput ke bandara, ada yang ulang tahun, ada yang acara nikah dan banyak lagi yang “lucu2” sehingga kejadian ini menjadi sebuah drama absurd. Enak dan lucu ditonton namun bagi yang berada didalam kisaran absurditas tersebut  terasa perihnya.



Sebagai abdi abadi kini semakin terasa  berat karena banyak tantangan yang datangnya bukan dari dalam diri sendiri namun dari lingkungan yang kadang sangat dekat. Karena teater dikatakan merupakan hasil kerja kolektif maka kehadiran orang lain memang dibutuhkan. Namun sering apa  yang dibutuhkan tidak sebanding dengan yang tersedia sehingga sering terjadi konflik interest yang semuanya memiliki alasan2 yang sepertinya masih akan harus dipermaklumi. Kadang timbul pertanyaan di hati kecil apakah hal tersebut secara etis tidak terasakan sebagai sesuatu yang tidak benar? Jawabannya akan terpulang ke masing2 yang pasti punya alasan2 yang sebenarnya hanya sebagai pembenaran. Jadi bukan sebuah kebenaran namun sekedar pembenaran diri. Jika menyangkut pembenaran maka tak perlu lagi didiskusikan apalagi diperdebatkan.


Yang kini aku rasakan  tiap memasuki 26 Desember adalah menggunakan hari bersejarah ini untuk introspeksi. Hal ini diperlukan untuk menilai apakah memang layak disebut “abdi abadi”. Karena besok masih ada hari dimana ruang teater masih harus terus diperbaiki, direnovasi bahkan sering terasa perlu ada revolusi agar semakin cepat tersedia bangunan teater besar yang mengayomi para pelakunya secara terus menerus. Di saat yang sama ada kesadaran bahwa semua gerak pembangunan tidak mungkin dilakukan sendirian. Bukan lagi zamannya cerita2 heroik yang bisa dilihat di film selalu datang sendirian dan membereskan problem sosial lalu pergi ke daerah lain untuk hal yang sama. Senyum sinis bisa muncul karena heroisme  sepertinya hanya masih sebatas di film saja. Namun bagus juga masih ada yang membuat film2 seperti itu yang paling tidak mengingatkan bahwa dunia masih butuh tokoh2 heroik seperti itu. Soal apakah akan muncul beneran maka kita pinjam saja lagunya Ebiet :”tanyakan pada rumput yang bergoyang”. Sebuah lagu yang merupakan satire sosial tentang karakter buruk manusia yang masih belum ketemu jawabnya. Bagaimana rumput mau menjawab manusia? Bahkan lagu tersebut semakin hilang dan sepertinya mulai tidak ada yang tau lagu tersebut. Makin sedih si pengarangpun juga tak dikenal. 


Salam jabat erat pada pemangku penghargaan “abdi abadi” yang pertama dari Federasi Teater Indonesia. Tanggal bersejarah yang terasa lebih dahsyat menggemakan adanya apa yang disebut bahagia. Tanggal 26 Desember juga merupakan hari kelahiran Alexa cucu pertamaku yang 26 Desember 2023 berumur 10 tahun. 


Bojongsari Depok 27 Desember 2023.

Rudolf Puspa

Email: pusparudolf29@gmail.com

Ads