Seniman Dimiskinkan Oleh Rezim Materialistik (Bagian I) -->
close
Pojok Seni
24 January 2024, 1/24/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-01-24T01:00:00Z
Artikel

Seniman Dimiskinkan Oleh Rezim Materialistik (Bagian I)

Advertisement


Oleh  Zackir L Makmur*


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baru-baru ini mengumumkan penyesuaian tarif sewa gedung pertunjukan seni budaya, termasuk ikon seni terkenal seperti Taman Ismail Marzuki (TIM). Pengumuman penyesuaian tarif retribusi ini dilakukan melalui akun Instagram resmi Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, yang menciptakan gelombang perubahan dalam lingkungan seni ibu kota. Hal ini sejalan dengan hasil dari penyesuaian tarif retribusi terhadap Aset Daerah yang dimiliki oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, mengikuti regulasi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.


Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1/2015, tarif retribusi aset daerah paling mahal ditetapkan sebesar Rp 30 juta. Namun, dengan pengaturan baru dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024, tarif paling mahal untuk gedung pertunjukan seni budaya, seperti TIM, kini mencapai Rp 50 juta. 


Penyesuaian ini menciptakan dinamika baru dalam ekosistem seni Jakarta, memunculkan pertanyaan tentang dampaknya terhadap seniman dan kreativitas mereka.


Semua itu menjadi penandaan, ada sebuah rezim materialistik yang sedang bertengger bukan saja di Jakarta melainkan pula di Republik ini –bahkan, di dunia globalisasi pula.  Pastinya, dimana rezim materialistik cenderung mengekang nilai-nilai material dan kekayaan sebagai tolok ukur utama keberhasilan, kini semakin memberikan dampak yang nyata pada komunitas seni. Seniman, sebagai pencipta karya yang mendalam dan berpengaruh, merasakan beban berat dari dominasi nilai-nilai materi yang mendefinisikan rezim ini.


Meskipun karya seni memiliki potensi untuk memberikan dampak besar dalam budaya, ekonomi, atau sosial, seniman sering kali menghadapi tantangan kurangnya pengakuan atau bahkan dimiskinkan oleh struktur dan nilai-nilai yang mendominasi dalam masyarakat. Maka penyesuaian tarif sewa gedung pertunjukan seni, adalah salah satu aspek dari perubahan dalam regulasi pemerintah yang dapat berdampak pada seniman. 


Tantangan finansial yang dihadapi oleh seniman sering kali tidak hanya terbatas pada biaya sewa ruang, tetapi juga melibatkan ketidakpastian pekerjaan dan kurangnya pengakuan ekonomi yang setara dengan kontribusi kreatif mereka. Dalam rezim materialistik, di mana nilai sering diukur dengan parameter material seperti gaji atau kekayaan, seniman sering menemui kesulitan dalam memenuhi kebutuhan finansial mereka dan mendapatkan penghargaan yang setara dengan dampak kreatif yang mereka hasilkan.


Rezim Materialistik Menilai Seni Dari Ekonomi 


Dengan penyesuaian tarif sewa gedung seni dan refleksi tentang rezim materialistik, tantangan bagi seniman semakin kompleks. Seniman membutuhkan dukungan tidak hanya dalam hal finansial, tetapi juga pengakuan yang lebih luas terhadap peran mereka dalam membentuk budaya dan mempengaruhi perubahan sosial.


Inisiatif untuk meningkatkan transparansi dalam pembayaran royalti, mendukung hak-hak seniman, dan menciptakan model bisnis baru yang lebih adil dan berkelanjutan, menjadi semakin penting dalam menjawab kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh seniman di tengah perubahan regulasi dan dominasi nilai-nilai materi. Hal ini logis, karena perspektif seniman menyoroti peran sentral mereka dalam membentuk identitas kultural dan estetika masyarakat melampaui batas umurnya . 


Karya-karya seni tidak hanya mencerminkan kreativitas individu, tetapi juga menjadi cerminan nilai-nilai kolektif yang membentuk dasar budaya. Namun, rezim materialistik sering menilai seni semata-mata dari perspektif ekonomi, mengabaikan nilai-nilai intrinsik dan makna yang dapat memberikan kontribusi substansial bagi perkembangan sosial dan budaya. Maka ketidaksetaraan dalam pengakuan dan dukungan finansial menjadi tantangan serius bagi kelangsungan hidup seniman. 


Struktur industri seni yang terkadang tidak adil, bersama dengan kurangnya pemahaman akan nilai seni sebagai kekuatan pengubah masyarakat, dapat menyebabkan seniman terpinggirkan atau bahkan meninggalkan jalur kreatif mereka. Hal ini jelas tidak hanya merugikan individu seniman, tetapi juga merugikan masyarakat yang kehilangan keberagaman perspektif dan ekspresi yang dapat dibawa oleh seniman. Sebagai masyarakat, pentingnya kesadaran akan mendukung dan memberikan pengakuan setara terhadap kontribusi seniman tidak dapat diabaikan. Pergeseran nilai yang lebih seimbang, dengan mengakui nilai-nilai non-materi, dan menghargai kreativitas sebagai kekuatan perubahan, sama saja digencet dengan tidak dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi seniman. 


Mendapatkan kondisi demikian, seniman tetap wajib berperan sebagai agen perubahan yang memperkaya dan memperindah kehidupan manusia melalui karya-karya mereka yang khas dan berpengaruh. Pendapat para seniman ini menjadi suara “langit” yang mengingatkan akan pentingnya menjaga integritas kreatif, dan nilai-nilai seni, dalam masyarakat yang cenderung terfokus pada materi dan kekayaan.


Selalu Berpotensi Memunculkan Paradoks 


Rezim materialistik memunculkan paradoks dimana seniman –meskipun menciptakan karya-karya yang memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi positif dalam segala aspek kehidupan—sering diabaikan dalam pembagian sumber daya ekonomi. Sedangkan ketika fokus pada kriteria material dapat mengabaikan nilai-nilai intelektual dan emosional yang seniman tanamkan dalam karya mereka, bisa menyebabkan kurangnya apresiasi terhadap dimensi yang lebih dalam dari penciptaan seni.


Selain itu, ketidaksetaraan finansial dapat memaksa seniman untuk berfokus pada proyek-proyek yang dianggap "komersial" demi memenuhi kebutuhan finansial mereka. Hal ini dapat menghasilkan pengorbanan kreativitas dan inovasi, mengurangi keragaman ekspresi seni yang seharusnya menjadi aset berharga dalam budaya masyarakat. Seniman mungkin merasa terpaku pada ekspektasi pasar, daripada memiliki kebebasan eksplorasi yang diperlukan untuk menciptakan karya-karya berdaya transformasi.


Sebagai tanggapan terhadap ketidaksetaraan finansial yang dihadapi seniman, perlu adanya perubahan dalam pandangan masyarakat terhadap nilai kreativitas. Masyarakat perlu lebih menghargai kontribusi seniman dan memastikan bahwa mereka diberikan pengakuan yang setara dan dukungan finansial yang memadai. 


Ini bukan hanya tentang melindungi hak-hak seniman, tetapi juga tentang mengenali nilai intrinsik seni dalam membentuk budaya dan memperkaya jiwa manusia. Dengan memberikan nilai yang lebih besar pada kontribusi seniman di luar parameter materi, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih berdaya untuk berkembangnya seni dan pengaruh positif yang dapat dihasilkannya.


Ketidaksetaraan finansial yang dialami seniman juga dapat menciptakan dampak jangka panjang terhadap keberlanjutan industri seni secara keseluruhan. Banyak seniman yang terpaksa mengejar proyek-proyek yang lebih komersial untuk bertahan hidup, mengarah pada hilangnya ruang bagi eksplorasi kreatif dan pengembangan ide-ide inovatif. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merugikan perkembangan seni sebagai kekuatan dinamis yang dapat meresapi dan mencerminkan perubahan masyarakat.


Pentingnya pengakuan dan dukungan finansial bagi seniman, tidak hanya terletak pada kepentingan individu mereka, tetapi juga pada kekayaan budaya dan pemahaman yang lebih mendalam tentang diri manusia yang dapat dihasilkan oleh seni. Sebagai masyarakat, perlu dilakukan refleksi kritis terhadap nilai-nilai yang ditempatkan pada kreativitas dan seni, dengan memberikan tempat yang lebih besar bagi penghargaan terhadap dimensi non-materiil dan kontribusi yang tak ternilai dari seniman.


Visi Menciptakan Dilematis Untuk Seniman 


Tekanan untuk menciptakan karya seni yang dianggap "komersial",  atau memiliki daya jual tinggi, merupakan dinamika yang signifikan dalam lingkungan seni di bawah rezim materialistik. Dalam upaya untuk memenuhi tuntutan pasar dan mencapai keberhasilan material, seniman seringkali dihadapkan pada dilema antara menciptakan karya yang memenuhi ekspektasi komersial, atau menghasilkan proyek-proyek yang lebih berisiko –namun  memiliki nilai artistik yang tinggi. Keputusan ini dapat memunculkan pengorbanan terhadap aspek kreativitas dan eksplorasi artistik yang lebih mendalam, mengingat preferensi pasar yang seringkali cenderung mengarah pada karya yang dapat menghasilkan keuntungan finansial segera.


Rezim materialistik, dengan fokusnya pada nilai-nilai materi dan kekayaan, cenderung mengukur keberhasilan seniman melalui parameter material seperti penjualan, popularitas, atau nilai pasar. Dalam penilaian ini, nilai-nilai immaterial seperti spiritualitas, etika, atau kepuasan batin sering diabaikan atau bahkan dianggap sebagai faktor sekunder. Akibatnya, seniman dapat merasa terdesak untuk mengorbankan dimensi kreatif dan eksplorasi batiniah demi memenuhi tuntutan rezim yang lebih memprioritaskan hasil finansial.


Ketika seniman merasa terpaksa menciptakan karya yang memenuhi selera pasar, hal ini dapat mengakibatkan merosotnya kualitas dan kedalaman karya seni. Karya yang seharusnya mencerminkan ekspresi pribadi, pandangan dunia, atau bahkan kritik sosial dapat kehilangan substansi karena terjebak dalam paradigma komersial. Selain itu, seniman mungkin menemui kendala untuk mengeksplorasi ide-ide yang lebih berisiko atau kontroversial yang mungkin tidak mendapat sambutan luas di pasar.


Keberhasilan dalam rezim materialistik sering diukur dengan ukuran eksternal yang dapat dihitung secara kuantitatif, seperti jumlah penjualan atau popularitas media sosial. Hal ini dapat menciptakan lingkungan dimana seniman merasa terjebak dalam pertarungan untuk mencapai angka-angka tertentu, dan kehilangan fokus pada esensi kreativitas dan tujuan artistik mereka. Seniman mungkin merasa terperangkap dalam siklus mencari persetujuan eksternal yang dapat menghambat perkembangan kreativitas intrinsik mereka.


Dalam menghadapi dinamika ini, beberapa seniman dapat memilih untuk menjaga integritas kreatif mereka, meskipun dengan risiko kurang mendapatkan pengakuan atau penghargaan materi. Namun, ketidaksetaraan dalam pengakuan dan dukungan finansial dapat menjadi penghalang serius bagi seniman untuk menjalankan misi kreatif mereka. Sebagai masyarakat, perlu dipertimbangkan bagaimana mendukung seniman agar dapat mengeksplorasi dan menciptakan karya-karya yang mungkin memiliki dampak jauh lebih besar dalam pembentukan budaya dan perkembangan masyarakat.


Pentingnya menghargai nilai-nilai immaterial dan memberikan ruang bagi eksplorasi kreatif yang lebih bebas dapat membantu melawan dampak negatif rezim materialistik dalam seni. Melalui pendekatan ini, seniman dapat merasa lebih bebas untuk menciptakan karya yang memadukan nilai material dan immaterial, menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara keberhasilan komersial dan keberhasilan artistik yang mendalam dan bermakna. (Bersambung)


*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), serta menulis beberapa buku antara lain buku fiksi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa” dan buku non fiksi “Manusia Dibedakan Demi Politik”.

Ads