Sekilas tentang Panjat Pinang di Indonesia dan Peninggalan Tradisi Apharteidistik -->
close
Pojok Seni
09 January 2024, 1/09/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-01-09T07:42:22Z
ArtikelSejarah

Sekilas tentang Panjat Pinang di Indonesia dan Peninggalan Tradisi Apharteidistik

Advertisement
Sejarah Panjat pinang
Panjat pinang di salah satu daerah di Jawa Barat, pada tahun 1914. Digelar untuk menghibur bangsawan Belanda

Oleh: Adhyra Irianto


Pojok Seni - Penjajahan memang menyedihkan, dan kejam, apapun alasannya. Tapi, negara-negara yang merupakan koloni non-Inggris, hidup lebih sengsara dan menyedihkan dibandingkan dengan negara yang dijajah Inggris. 


Bila seandainya diizinkan memilih, dijajah Inggris tentu lebih dipilih. Sebab, sebagai sebuah kerajaan besar, cara kerja "kolonial" Inggris mirip seperti Romawi, Ottoman, dan kerajaan besar lainnya. Mereka memang "merampok" sumber daya dari negara jajahan, tapi juga memengaruhi dan memberikan informasi, pengetahuan, dan ilmu bagi koloninya.


Negara-negara penjajah non-Inggris, katakanlah seperti Jerman, Belgia, Prancis, dan (tentunya) Belanda, adalah negara apartheid. Di mata mereka, kaum dengan kulit berwarna adalah ras yang lebih rendah dari mereka. Karena itu, mereka menganggap ras tersebut sebagai budak. 


Warga Indonesia dikirimkan ke Suriname, Srilanka, Afrika Selatan, dan sebagainya (yang juga merupakan koloni Belanda) sebagai budak. Di pedalaman Sumatera, dikenal istilah "Jawo rantai" yang berarti orang Jawa yang kakinya dirantai. Itu adalah pekerja yang dibawa Belanda ketika berhasil masuk hingga ke pedalaman Sumatera. Sebelum akhirnya orang-orang Sumatera itu sendiri juga menjadi "orang rantai" berikutnya.


Inggris memang kejam ketika menjadi penjajah. Tapi bila mereka tahu apa yang dilakukan oleh Belanda dan penjajah non-Inggris lainnya, baru mereka sadari bahwa "kekejaman" Inggris tadi masih jauh lebih baik. Apalagi Jepang, sebagai "penjajah newbie" di era perang dunia II, mereka hadir seperti monster tanpa rasa kasihan.


Tapi, apa kaitannya pemaparan di atas dengan panjat pinang yang dijadikan judul di artikel ini?

Sejarah panjat pinang
Panjat Pinang di Makasar tahun 1921, untuk merayakan Tahun Baru


Panjat Pinang, Tradisi Apartheidistik yang Tertinggal


Suatu hari, petinggi Belanda tiba setelah mengarungi lautan berhari-hari. Tentunya, lelah itu harus dibayar oleh para perwira yang ada di tanah Nusantara dengan hiburan yang menarik.


Berbagai hiburan diberikan, mulai dari penari erotis perempuan, makanan, dan sebagainya. Namun ada satu hiburan yang paling menarik bagi petinggi Belanda tersebut.


Masyarakat Nusantara saat itu benar-benar kelaparan sampai pernah memakan daging tikus untuk bertahan hidup. Maka, ketika Belanda menggantungkan beras, jagung, sagu, daging sapi, dan bahan makanan lainnya di atas sebuah menara, masyarakat berbondong-bondong untuk memanjatnya.


Agar lebih menarik, tentara Belanda mengoleskan minyak dan oli untuk kendaraan perang di menara tersebut. Hasilnya, sebuah tontonan yang "lucu" bagi petinggi Belanda yang datang. Mereka menontonnya dengan terpingkal-pingkal.


Yah, seperti melihat serombongan monyet yang berebutan memanjat pohon untuk mengambil pisang di atasnya. Tapi, diberi gangguan seekor ular di batangnya untuk mereka tidak bisa mengambilnya dengan mudah. 


Panjat Pinang dan Pengaruh Tiongkok


Panjat Pinang tidak serta merta lahir hanya karena cerita di atas. Karena sebelumnya, tontonan serupa juga pernah dilakukan oleh masyarakat keturunan Tionghoa di Nusantara zaman dulu. Panjat pinang dalam tradisi Tionghoa telah digelar sejak Dinasti Tang atau sejak tahun 618 Masehi.


Sayangnya, di tempat asalnya, hingga Singapura, kegiatan ini dihapuskan. Alasannya, sering terjadi keributan disebabkan gelaran ini. Ada banyak yang berkelahi, bahkan sesama tim sendiri. 


Selain itu, tontonan ini juga menghadirkan lelaki dewasa yang hanya menggunakan celana pendek. Tidak jarang, ketika hampir sampai di atas, seorang pemanjat akan kembali melorot ke bawah, begitu juga celananya.


Dari tradisi inilah, pohon pinang yang digunakan. Bukan lagi tiang besi. Hadiahnya juga diperbanyak, tidak lagi bahan makanan.


Terpenting, panjat pinang ini selalu digelar di sebuah perayaan. Mulai dari ulang tahun pejabat Belanda, tahun baru, sampai lebaran sekalipun.


Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya tahun 1945, maka momentum itupun dirayakan dengan menggelar panjat pinang. Itulah yang terus bertahan hingga hari ini.

Ads