Penjilatan Kekuasaan dalam Mitologi, Seni, dan Sastra (Bagian I) -->
close
Pojok Seni
13 January 2024, 1/13/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-01-13T01:00:00Z
Ulasan

Penjilatan Kekuasaan dalam Mitologi, Seni, dan Sastra (Bagian I)

Advertisement


Oleh  Zackir L Makmur*


Sejak zaman kuno hingga masa kini, fenomena perilaku menjilat kekuasaan telah menjadi kisah yang melintasi segenap peradaban manusia. Melalui mitologi dunia, kita dapat melihat refleksi dari perilaku ini yang tidak hanya terjadi pada masa lalu, tetapi juga mencitrakan realitas masa kini. 


Dalam epik Mahabharata, ada tokoh Shakuni yang menjadi representasi nyata dari tradisi menjilat kekuasaan. Karakter ini menggambarkan kecerdikan licik dan ambisi yang diarahkan untuk memperoleh kekuasaan dengan segala cara. Paralelnya dengan masa kini tampak jelas, mengingat praktik-praktik politik yang sering kali mencerminkan kisah Mahabharata.


Sedangkan pada mitologi Yunani ada tokoh Menelaus, profil manusia Sparta yang terobsesi dengan kehormatan dan kekuasaan. Kehidupannya, terutama melalui konfliknya dengan Paris dari Troya, menciptakan gambaran karakter yang rela menjilat kekuasaan demi mempertahankan posisinya. Parallel ini memberikan perspektif yang dalam terhadap dinamika politik kontemporer.


Tidak hanya dalam mitologi global, tetapi juga dalam khazanah mitologi Nusantara, tema ini hadir melalui karakter antagonis seperti Rangda dalam mitologi Bali atau Buto Ijo dalam cerita Jawa. Meskipun tidak sepenuhnya mencerminkan konsep "penjilat kekuasaan," karakter-karakter ini sering kali menjadi simbol pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, menciptakan paralel dengan konflik moral dalam politik modern.


Semiotika Dalam Mitologi dan Karya Seni


Fenomena menjilat kekuasaan melampaui batasan mitologi kuno dan terus merajalela dalam era modern. Maka kisah-kisah kuno memberikan paralel yang mencolok dengan realitas sekarang, hal ini demi memberikan wawasan yang mendalam mengenai dinamika politik manusia. 


Dalam konteks ini, mitologi tidak hanya memainkan peran sebagai cermin bagi perilaku manusia, tetapi juga sebagai petunjuk untuk memahami keberlanjutan dan evolusi fenomena tersebut. Dengan mengamati pola-pola dalam mitos, dapat diresapi suatu kompleksitas relasi manusia dengan kekuasaan, dan memahami bagaimana dinamika ini masih relevan di tengah-tengah dinamika politik zaman sekarang.


Dari itu menggali lebih dalam warisan mitologi dunia (dan Nusantara), bakal ditemukan mitos-mitos tidak hanya menggambarkan perilaku penjilatan kekuasaan, tetapi juga sering kali menawarkan pelajaran moral yang berharga. Beberapa mitos mengingatkan perkara tentang bahaya kekuasaan tanpa tanggung jawab, sementara yang lain memberikan contoh tentang pentingnya keadilan dan keseimbangan dalam penggunaan kekuasaan. 


Oleh karena itu, mitologi tidak hanya menjadi narasi tentang kebusukan manusia, tetapi juga sumber inspirasi untuk memahami prinsip-prinsip moral yang dapat membentuk tata kelola kekuasaan yang lebih baik. Dari sini mitologi berperan sebagai alat yang memfasilitasi pemahaman terhadap aspek-aspek manusiawi.


Tantangan moral dan konflik kekuasaan, yang diwarisi dari mitologi kuno, meresap ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menyadari akar historisnya, dapat dipahami bahwa perjuangan melawan penjilat kekuasaan bukanlah pertempuran baru; ini adalah refleksi dari perjalanan sejarah manusia yang panjang. Bersamaan pula tetap menegaskan bahwa tantangan menjilat kekuasaan terus menjadi refleksi yang melekat dalam perjalanan panjang sejarah dan masa kini.


Dalam masa kini pada sastra, film, dan seni secara konsisten juga merepresentasikan karakter-karakter penjilat kekuasaan dengan sifat-sifat licik dan manipulatif yang beragam. Semiotika itu juga dapat ditemukan dalam sastra Indonesia. Sebagai contoh, dalam novel "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer, karakter-karakternya menjadi cerminan sifat penjilatan kekuasaan.

 

Begitu juga dalam drama "Othello" karya Shakespeare, tokoh Iago dianggap sebagai salah satu karakter paling licik dan manipulatif dalam sejarah sastra. Iago menggunakan tipu daya untuk merusak kehidupan Othello dan orang-orang di sekitarnya. Melalui eksplorasi sastra, kita dapat melihat bagaimana fenomena penjilatan kekuasaan memiliki kehadiran universal, merentang dari mitologi hingga karya-karya kontemporer, dan menjadi cermin bagi dinamika manusiawi yang terus berlanjut.


Dalam konteks politik kontemporer masa kini, karakter Iago dalam drama klasik Shakespeare, "Othello," muncul sebagai simbol sifat licik dan manipulatif dalam ambisi untuk mendapatkan kekuasaan. Iago tidak menjadi pahlawan tragis atau sosok yang terbebani oleh konflik internal; sebaliknya, ia menjadi arketipe penjilat kekuasaan yang memanfaatkan ketidakpastian dan kecemburuan untuk mencapai tujuannya. 


Kisah "Othello" ini memberikan gambaran bahwa penjilat kekuasaan tidak hanya merusak individu yang menjadi sasaran, tetapi juga dapat merusak keseimbangan dan keadilan dalam hubungan sosial. Hal ini memberi pelajaran akan bahaya manipulasi dan pengkhianatan dalam dunia yang dipenuhi ambisi.


Demikian pula dalam konteks politik kontemporer masa kini, karya monumental Pramoedya Ananta Toer yang berjudul "Bumi Manusia," menggambarkan aspek penjilatan kekuasaan dalam politik kolonial Hindia Belanda. Narasi epik ini menyajikan perjuangan dan konflik di bawah cengkraman penjajahan, menguraikan ambisi dan penindasan melibatkan tokoh-tokoh utamanya. 


Dalam Konteks Politik Kontemporer


Dengan kecerdasan penulisnya, Pramoedya Ananta Toer membingkai kisah tersebut sebagai refleksi makro dari perjuangan kolektif melawan penindasan kolonial. Melalui lapisan naratif yang kompleks, pembaca disuguhkan pemahaman mendalam tentang bagaimana penjajahan tidak hanya merusak struktur sosial, tetapi juga merasuk ke dalam jiwa individu.


Dengan demikian, "Bumi Manusia" menjadi cermin kuat yang mencerminkan dan mengkritisi watak penjilatan kekuasaan dalam sejarah Hindia Belanda, memberikan pengertian yang relevan dalam kajian politik masa kini.


Dari semua yang tersebutkan itu, maka muncul satu ketegasan bahwa hal demikian adalah cerminan upaya individu untuk “cari untung” dengan memperoleh perhatian penguasa. Agar dapat keuntungan pribadi berupa kenyamanan, dan keamanan dalam lingkungan sosial di mana kekuasaan dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut.


Tradisi menjilat kekuasaan ini juga muncul akibat adanya dinamika ketidakmerataan kekuasaan dan struktur politik yang terpusat. Oleh karenanya individu merasa perlu mendekati pemegang kekuasaan untuk memastikan perlakuan yang menguntungkan. 


Mengeksplorasi Tema Menjilat Kekuasaan 


Di dalam dunia seni dan sastra modern, cerita-cerita penjilatan kekuasaan mencerminkan dinamika psikologis dan moralitas. Dari sini ada ambisi dan dorongan untuk mendapatkan kekuasaan yang sering memicu transformasi tragis, di mana karakter utama terjerumus ke dalam jaring ambisi dan kecurangan.


Tokoh-tokoh dalam kisah-kisah seperti "Macbeth" karya William Shakespeare atau "Animal Farm" karya George Orwell, menggambarkan perjalanan moral yang melibatkan penjilatan kekuasaan yang demikian. Maka seni dan sastra menjadi kanvas yang memungkinkan penggambaran yang mendalam tentang kompleksitas karakter manusia. 


Melalui nuansa kecerdasan dan kedalaman emosional, karya-karya seni dan sastra membawa pembaca atau penonton untuk merenung pada naluri manusiawi yang seringkali kontradiktif. 


Jadinya kisah-kisah penjilatan kekuasaan tidak hanya menggambarkan kelemahan individu, tetapi juga menyajikan peringatan etis yang mendalam tentang konsekuensi moral dari keinginan berlebihan untuk kekuasaan.


Dalam seni rupa kontemporer, tema penjilatan kekuasaan juga memunculkan refleksi kritis terhadap realitas politik. Karya seni ini seringkali menggugah kesadaran kolektif terhadap dampak penjilatan kekuasaan terhadap masyarakat. 


Dengan demikian, keterkaitan antara kisah-kisah penjilatan kekuasaan dalam karya seni dan sastra menciptakan narasi yang kuat tentang naluri manusiawi yang mendalam. 


Karya-karya ini bukan hanya mencerminkan realitas politik, tetapi juga menantang audiens untuk merenung tentang hakikat keinginan manusia untuk mencari keuntungan pribadi. Sebagai cermin sosial, seni dan sastra memberikan sudut pandang yang kaya dan nuansawan terhadap dinamika kekuasaan.

 

Maka melalui pemahaman ini, diharapkan untuk dapat lebih baik memahami dan merespons perjalanan manusia dalam menghadapi ambisi dan penjilatan kekuasaan. 


Naluri Untuk Mencari Keamanan 


Bukan semata-mata pada kisah-kisah mitologi dan karya seni, menjilat kekuasaan juga secara logika analisis dapat pula terkuak motif dasarnya. Dari sini terkuak bahwa naluri manusiawi seringkali menjadi pendorong utama di balik praktik menjilat kekuasaan.


Hal itu yang terus menghiasi lanskap kehidupan manusia sepanjang sejarah. Keterkaitan antara cerita-cerita penjilat kekuasaan dengan mitologi, karya seni dan sastra, pada logika ini terkuak gambaran kompleks tentang fitrah manusia yang terus mewarnai perjalanan sejarah dan budaya manusia.  


Manusia, secara alamiah, didorong oleh naluri untuk mencari keamanan, kenyamanan, dan keunggulan dalam lingkungan sosial mereka. Dalam konteks politik, kekuasaan dianggap sebagai sumber utama untuk mencapai keinginan ini. Lantas dari sini memunculkan praktik menjilat kekuasaan sebagai strategi yang dilakukan oleh individu demi mengamankan posisi jabatan, atau meraih keuntungan.


Selain itu dalam arena politik dan sosial dengan adanya ketidakpastian seringkali menjadi konstan yang tak terhindarkan. Perubahan kekuasaan, dinamika politik yang tak terduga, dan situasi sosial yang berubah, menjadi pemicu bagi individu untuk mencari cara menghadapi ketidakpastian tersebut. 


Salah satu strategi adaptasi yang muncul sebagai respons terhadap ketidakpastian politik, adalah perilaku menjilat kekuasaan. Meskipun sering kali dianggap kontroversial, perilaku ini dapat dipahami sebagai langkah rasional untuk menjaga keamanan dan posisi sosial individu dalam lingkungan yang tidak stabil. (bersambung ke bagian II)


Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), serta menulis beberapa buku antara lain buku fiksi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa” dan buku non fiksi “Manusia Dibedakan Demi Politik”.

Ads