Festival Njarit Mbois, Korespodensi Atraksi Indrawi Orang Jarit -->
close
Pojok Seni
18 January 2024, 1/18/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-01-18T01:00:00Z
BudayaSeniUlasan

Festival Njarit Mbois, Korespodensi Atraksi Indrawi Orang Jarit

Advertisement

Gambar 1. Arak-arakan hasil bumi orang-orang Jarit pada Festival nJarit mBois

(Foto: Ida Faridah)


Oleh Alfi Maftuhatul Masruroh & Istifadatul Khoiroh


Mengangkut Optik Apresiasi Perbedaan Suara


Tiga bagian ini, kami ingin mengelaborasi tiga catatan Festival nJarit mBois, di Kelurahan Jarit, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, secara keseluruhan berlangsung pada Juli-Desember 2023—dari persiapan hingga terjadinya ruang-ruang diskursus skala kecil; pertama tulisan Abdul Hadiningrat selaku sesepuh Jarit yang menyoroti pandangannya tentang “pergerakan” yang  diinisiasi/diusulkan oleh Septian Adi Wardana dibantu oleh Stimulan Kegiatan Ekspresi Budaya Kemdikbudristek 


Tahun 2023, dimulai dari gerakan yang “tidak disengaja.” Dari tongkrongan di warung kopi, yang diutarakan secara terus menerus, di mana rekan-rekan yang diajak bicara juga terus bergantian. Disebut sebagai “pergerakan” olehnya karena di dalamnya memuat unsur pergeseran radikal dari arti kata—kemudian diarahkan kepada suara-suara, atau kepada bunyinya yang dibarengi dengan pemisahan ucapan vokal dari sintaksis bahasa setiap definisi dari seni dan bukan seni. Kami ingin menyebutnya sebagai ragam warna yang diangkut secara intens dari setiap perubahan timbre sesuai dengan kualitas getarannya, yaitu kepadatan dan kenyaringan. 


Kami lebih menyukai bahwa jalinan-jalinan suara ini, sebagai getaran kromatik yang diterus difungsikan oleh Septian dengan tujuan mendorong optik apresiasi terhadap ragam perbedaan, untuk menguatkan ekspresi materi aural dari setiap orang Jarit yang terlibat langsung maupun secara tidak langsung. Festival ini semacam dominasi spiritualitas dalam seni melalui kerja-kerja spekulasi Septian yang bersifat suara, warna, dan membentuk “suara batin” yang bergema antara pelaku festival, objek, orang-orang Jarit itu sendiri, penonton, antara jiwa dan alam. 


Kata kunci “suara batin” melalui elaborasi catatan ini, di antaranya Hadiningrat yang menyebut tawaran Septian ke arah avant-garde atau gerakan garda depan dalam medan seni, atau disebut seni konseptual, yang kini dapat dipahami sebagai medan pasca seni. Dilihat olehnya bahwa Septian hendak melakukan suatu penolakan kritis terhadap pretensi naratif dan figuratif dalam sastra (lisan khususnya), seni (tradisi khususnya), dan teater itu sendiri (yang selama ini Septian selalu bersentuhan dengan rekan-rekan teater) secara potensial “pergerakannya” karena berusaha mengubah perspektif sebelumnya. Kami kira  semua “suara batin”, merupakan suatu kandungan cairan intrinsik yang dirasakan oleh kami semua pada setiap objek yang ada di Jarit dan mereproduksi melalui sebuah festival untuk orang-orang Jarit (khususnya) bekerja langsung pada jiwa dan bergema di sana.


Hadiningrat melihat Septian sedang mencari dan menyusun akumulasi suara. Bukan berarti dia tengah mendefinisikan dari sistem operasi suara tersebut ketika dilacak berbagai sumber, tentunya sangat berkaitan dengan daftar bacaan—Septian sedang membangun landasan melalui seperangkat alat musik, sastra lisan, lagu-lagu tradisi atau tembang, dan objek-objek yang ada di sekitar kampung agraris kita, serta pertunjukan antitekstual. Kami menganggap Septian mencatat kedekatan “suara batin” ini dan semesta dari Jarit layaknya sebuah permadani. Objek eksternal yang tidak lebih dari sekadar stimulus untuk berimprovisasi dalam warna, bentuk, dan sebagainya dalam jalinan kegiatan dalam festival dari arak-arakan hasil bumi hingga kolaborasi pertunjukan.


Ekspresi diri ini secara keseluruhan menggunakan sebuah festival semacam “suara batin” sebagai komposisi warna yang abstrak dengan catatan lainnya, termasuk bagaimana kami coba mengelaborasi satu persatu. Dimulai dari banyak warna suara ini berdiri satu persatu; dari pikiran Hadiningrat tentang kepentingan material yang ditempatkan oleh Septian melalui banyak suara, kebisingan (apa saja yang ditangkap atau diterima olehnya), dan gambar-gambar dari obek dengan segala macam warna-warni, yang mungkin Septian memiliki persepsinya tersendiri. Hal itu semua baginya mempunyai daya tarik indra yang dimilikinya dan kemudian melakukan tindakan melalui warung kopi. Kami membacanya sebagai kerja eksperimen mengalternatifkan hubungan antara warna, seperangkat karawitan, dan gerakan orang-orang Jarit dalam sebuah festival. 


Kami kira serangkaian kegiatan dalam festival ini merupakan permainan abstrak warna dan suara untuk menunjukkan entitas dari sebuah “pergerakan” orang-orang Jarit, yang mesti dipicu oleh mereka sendiri untuk mendapatkan terang cahaya yang lebih kuat atau lebih stabil warnanya sebagaimana Hadiningrat menunjuk Septian; apa yang hendak dituju dari seperangkat alat musik karawitan sebagai dasar/latar belakang dirinya (yang mengandung suara, musik, dan ritme), “pergerakan” Septian ini melalui materialitas lisan/aural yang dirasakan, suara dan suara (tidak lagi harus vokal), di lingkungan kita semua coba diambil dan direngkuh nilai-nilai kebermaknaannya secara sinergis.


Kami yang mengelaborasi ini semua mendapatkan akhirnya “suara murni” yang dikaburkan melalui kata-kata atau makna dari setiap serangkaian kegiatan tersebut tanpa menghitung adanya dialog (interaksi antar warga), alur, dan aksi yang berurutan dalam rangkaiannya; dilihat oleh Hadiningrat merupakan upaya untuk mendapatkan atau mempertemukan  konstelasi kinetik dari ikon Jarit melalui aural dan visual, tradisi dan modern—yang sangat berhubungan dengan pembicaraan postmodern dengan menggunakan metode peralihan saluran antara sensasi penglihatan, pengalaman, pendengaran dan visual, yang dibingkai secara tradisional dari lingkungan dirinya tumbuh sebagai entitas terpisah, dipahami sebagai penjajaran untuk memahami sistem operasi suara. 


Daya tarik bagi kami dalam elaborasi catatan ini; dicapainya jiwa orang-orang Jarit sebagai getaran “suara batin”; suara latar belakang karawitan dengan keinginan mencoba alternatif sebagai “pergerakan”; sejumlah perasaan orang-orang Jarit atas pengalaman jasmani maupun rohani dan gerakannya;  pengembalian suara yang awal dari sepanjang “pergerakan” yang diharapkan, melengkapi catatan Hadiningrat untuk menyematai ruang dan waktunya, di luar celah hasil dari festival yang dilakukan untuk membangkitkan diri dari ketertinggalan intelektualitas dan perspektif yang lebih luas.


Menuju Temuan Makna Baru dari Suara, Objek, dan Bahasa Orang Jarit 


Gambar 2. Orang-orang/sesepuh Jarit bermusik dalam pertunjukan seni glipang

(Foto: Ida Faridah)


Festival ini dapat dilihat oleh kami secara global sebagai korespondensi yang mengalir dari atraksi-atraksi indrawi orang-orang Jarit berbasis artikulasi maupun argumentasi dan karakter konfigurasi keseharian orang Jarit, yang berpeluang secara konotatif dapat terombang-ambing antara rekonstruksi sejarah, psikologi, dan reproduksi seni tradisi yang dikhawatirkan punah. Hal lainnya yang dapat dituliskan dapat ditempuh dengan menuju makna baru dari suara, objek, dan bahasa orang Jarit dielaborasi dengan catatan Septian yang diklaim sebagai festival pertama di Jarit berbasis pertunjukan, sebagai suatu rencana ‘kegilaan’ layaknya semacam selalu/sudah tenggelam dalam “nyanyian” ini melalui kehadiran indra dan tubuh kami di dalamnya tentang dunia Jarit. 


Nurwati, seorang sinden yang juga petani dalam riset tindakan bersama dengan Septian, menyoroti soal persepsi selama ini yang hanya selalu tenggelam dalam dunia dan persepsi, juga diperlukan hadir untuk merusak dari tatanan itu sendiri, kemudian ditantang diri keduanya menemukan fenomena melalui diri mereka sendiri atas persepsi, orang seni dan bukan seni, petani yang berkesenian, seni yang petani, dan lainnya—dalam memperhatikan fluiditas, temporalitas, dan kerealitasan dalam kegiatan sebagai pertunjukan (global)—untuk menginput suara-suara, cerita, keluh kesah mereka untuk  mengutamakan paradigma aural dalam analisis sebuah pertunjukan secara global.

 

Kami berdua yang juga tengah belajar mencatatkan tanpa ada pretensi apapun kecuali mempelajari kreasi pemahaman Septian pada dasarnya memicu pemberontakan instingtual—lisan/aural yang dikomunikasikan pada tingkat psikosomatis daripada psikologis. Dan setiap “suara batin” mereka menyampaikan energi spiritualinestesia daripada kebenaran psikologis, seperti dicatatkan oleh Febriyanto, pengendagng, dan Atmaji, komposer, mengungkit ulang pertanyaan Septian di awal; mungkin tidak kami membuat sebuah festival yang diproduksi dari suara-suara orang banyak, apa yang diinginkan, apa yang diketahui, apa yang diimpikan, apa yang dimajinasikan, apa yang difantasikan, dan apa yang sering kali dipikirkan/dipertentangkan oleh mereka? Kemudian dituliskan dari orang-orang pada saat di sawah bertegur sapa, bersalaman setiap bertemu, ada yang saling memeluk antara satu dengan lainnya, menyampaikan edukasi soal pertanian, ceramah-ceramah kepala desa soal distribusi hasil pertanian, dan suara anak menangis di saat orang tuanya mencangkul (yang tidak jauh dari anak menangis tersebut), serta suara doa selametan ketika panen tiba, maupun rutinitas lainnya yang menimbulkan keragaman dari orang-orang Jarit. 


Hubungan antara “suara batin” dari gerakan yang diinisiasi oleh Septian yang dialihkan pada suatu  festival, yang mana ujungnya berbanding terbalik dengan apa yang didiskusikan, tetapi tetaplah bagi kami bahwa diskusi tersebut merupakan hubungan yang mengaburkan oleh kata-kata dan makna. Festival ini yang membuat keseluruhan orang-orang Jarit mengucapkan syukur atas terwujudnya kegiatan, secara emosional menganggap Septian, kepala desa setempat bagian dukungan dari getaran suara tubuh dan suaranya dari festival yang masih banyak ‘celah’. Hubungan ini juga sudah dicatatkan Nurwati dan Febriyanto sebagai syair yang dilagukan dalam mengungkapkan perasaan kepada sang pencipta terutama, berkaitan dengan erat dengan catatan Romadona, dan Sunhadi (bertugas penyelaras multi objek) melalui sesepuh Jarit lainnya seperti M. Sarman, Marfuah, Rahmi, Tamen, dan Abdul Mukti dalam menyoroti dari lanskap suara pada masa lalu; suara kerenceng kalung sapi, suara kambing pada dini hari buta, suara kokok ayam pada saat subuh atau sebelumnya, suara bayi lahir pada dini hari, suara azan setiap waktu, suara mesin motor pada malam hari yang terdengar lengang maupun suara jangkrik dari persawahan, dan suara hentakan sapi pada saat maling hendak masuk, bahwa itu semua merupakan puisi dari semesta Jarit.  


Kami melihat peluang “celah” ini juga berkorelasi dengan apa yang hendak dituju; melalui serangkaian kegiatan tersebut tidak bukan merupakan  deklarasi untuk terus memproduksi pengetahuan dalam mentransformasi kinerja yang berbeda nantinya, atau yang disebut Septian melalui informasi kelima sesepuh tersebut sebagai “pergantian performatif” yang “didefinisikan ulang hubungan antara materialitas dan semiotika elemen kinerja, antara penanda dan petanda.” Bagaimana mereka menyebut pergantian itu, dari “kerancuan budaya” sebagai dinamika kinerja seseorang dan jejaringnya (membuat ekosistem) yang rancu di masa kini yang mesti disikapi secara bijaksana, ditempuh oleh Septian yang menganggap minim literasi, coba berpikir untuk menangani performatif materialitas itu tidak langsung mau dipahami sebagai pelanggaran performatif, tetapi ingin dilihat bahwa mereka sedang mencari ‘maknanya’ dan mencari kemungkinan dalam dirinya untuk menemukan makna yang baru. 


Peristiwa yang disusun Septian bersama orang-orang Jarit bukanlah tujuan kegiatan yang bombastis untuk sebuah perkampungan, pada dasarnya menuju itu; ditegaskan oleh Septian bahwa suara-suara humanisme dan relegiusitas dapat dilihat dari banyaknya suara-suara dari media sosial, berita-berita di televisi, suara musik gerobak keliling atau teriakan para pedagang bantal kasur yang berjalan kaki, maupun lalu lintas jalan raya—tak ubahnya semua itu saling menempuh jalannya masing-masing, turut andil dalam persepsi untuk mengenali jiwa mereka sendiri. 


Kami kira apa yang diperbincangkan Septian, merupakan usaha mendapati diri orang-orang Jarit untuk tenggelam dalam hibrida yang provokatif dari suara yang membentuk puisi, audiovisual, instalasi, happening, dan pertunjukan/performans. “Pergantian performatif” yang digemakan bagi kami, produksi wacana yang sedang diambil sebagai potret diri, diubah menjadi pertunjukan itu sendiri, dan ditemukannya ekstroversi batin seseorang untuk menghasilkan geraman, erangan, dan hentakan yang mungkin tidak akan terkendali. 


Komunikasi kehadiran jasmani maupun rohani setiap orang yang terlibat adalam festival, justru diskusi itu mampu menghilangkan figural dan narasi prosedur sebelumnya. Karena dipenuhi atraksi-atraksi yang diselesaikan secara bersamaan dan bergantian, meliputi gestur, suara, objek, contoh-contoh seseorang, peragaan, dan nyanyian, diekspresikan dengan bahagia dalam menatap festival, hingga berlangsungnya festival yang diubah seratus delapan puluh derajat jelang dua hari; juga bagian bentuk performatif mereka sebagai orang-orang Jarit yang memiliki hak otonom, sehubungan dengan suara, objek, dan bahasa.


Materi, Suara, Objek, dan Gambar serta Kinetik Lingkungan Jarit


Gambar 3. Seni glipang yang dimainkan oleh orang-orang Jarit dalam festival

(Foto: Ida Faridah)


Poin-poin di atas, sebagai penutup catatan ini dari tiga bagian dimiliki dalam diskusinya tetaplah ekspresif yang terdapat pada materialitas bunyi. Peralihan ini memang tidak sepenuhnya terwujud dalam festival yang pertama kali di Jarit, tetapi interpolasi aural heterogen dan materi visual menjadi bayang-bayang yang terus ‘mengganggu’. Khususnya oleh Septian yang sering kali membayangkan konsep hibridisasi seni aural dan visual—yang selurus dengan catatan pengamatan Rossa dalam kegiatan ini, bahwa festival itu memiliki semangat ‘perlawanan’, ‘pendobrakan’, ‘penolakan’, ‘penyimpangan’, dan ‘pembatalan’. Keinginan untuk ‘menyimpang’ atau ‘mendobrak’ selalu terus digemakan. Rossa memahami sistem operasi suara yang ditawarkan Septian terletak pada tujuannya untuk mencapai ritme redundansi visual/suara yang tidak merata satu sama lainnya dan ketersebaran suara-suara itu, untuk memicu interpretasi suara yang akan terdengar hiruk pikuk. 


Catatan-catatan yang dielaborasi juga saling memperkaya pandangan, terutama bagi kami berdua—yang paling akhir menuliskan catatan. Jadi, Septian, dan orang-orang Jarit ingin mencapai sekaligus berkontribusi pada interdisipliner melalui festival ini, dengan membebaskan suara atas apa yang bisa dilakukan, atas apa yang bisa dipikirkan, dan atas apa yang bisa dikemukakan untuk mendapatkan masalah kompleks tentang performativitas yang ada di lingkungan Jarit berdasarkan kutipan catatan Rossa. Suara dan makna bagi kami, terletak pada idiom performatif melawan bahasa diskursif yang meletakkan fokus “pergerakan” ini menawarakan alternatif dari praktik seni yang ada sebelumnya di Lumajang. Kami justru mengganggap poin-poin di atas sebagai strategi Septian menghidupkan energi kehidupan melalui lingkungan Jarit (agraris dan hibrid) yang diharapkan dapat berguna untuk seni. 


Catatan Rossa lainnya, mengafirmasi bahwa Septian ingin awalnya menjadikan sebuah festival di Jarit yang sifatnya eksperimental. Harapannya demikian dengan “terorganisir” secara kacau. Karena pada diskusinya bagaimana suara-suara sapi, bebek, angsa, ayam, mesin penggilingan padi, bunyi-bunyi piring, kenongan, knalpot motor, mesin pembajak sawah, dan suara-suara lainnya yang dihasilkan atau dikontraskan dengan suara-suara pemikiran orang banyak ditambah dengan seperangkat alat karawitan kemungkinan besar dapat menghidupkan makna kolaborasi kegiatan—yang dianggap oleh kami sebagai bahasa yang berbeda untuk melepaskan bahasa dari pemikiran rasional, dengan memanen dari bahasa-bahasa Jawa kuno yang terlupakan, suara sengau sapi maupun kambing, praktik suara penderita skizofrenia, suara erangan penderita gangguan jiwa, mantra orang-orang Jarit, pembicaraan bayi, dan siul-siulan yang mengganggu gender tertentu. 


Suara, dan bahasa dalam makna diandalkan oleh para pencatat kegiatan ini, secara fonemik daripada sintaksis atau menandakan kualitas dari “kata itu sendiri” yang disajikan dari realitas sehari-hari, filsafat, dan psikologi, sebagaimana diungkapkan Septian dalam Rossa menganggap bahwa struktur itu dikerjakan dengan pola-pola yang ‘cacat pesan’, tanpa harus menciptakan tekstur semantik dengan membentuk hal-hal yang berhubungan dengan estetika. Ditanggapi oleh Rossa bahwa basis eksperimennya terletak pada stuktur diskusinya yang sangat menyimpang kesana kemari, membias kesana kemari, dalam mendengarkan setiap obsesi orang per orang di Jarit. Karena suara mereka mencakup segala hal yang dimulai dari suara jasmani saat menghirup dan menghembuskan nafas pada bangun tidur, dari dalam rumah hingga keluar rumah, maupun artikulasi unsur-unsur pernyataan basa-basi, guyonan standar, keplakan tangan ke kepala dan lainnya, menjadi produksi suara yang terus diperbincangkan.


Bahasa menjadi poin utama dalam penutup bagian ini, karena hal itu dapat diakses seluruh umat manusia berdasarkan struktur primordial yang dimiliki, dan diketahui secara luas. Sementara bahasa keseharian orang Jarit yang tidak diketahui secara luas, hendak didorong seacara intuitif pada festival ini dengan tidak mempermasalahkan soal sintaksis, tetapi pada kenyataannya selalu diributkan jika dihadapkan pada catatan yang tidak mempedulikan hal tersebut. Lantas disebutnya sesuatu yang berantakan; padahal kalau kata Rossa baginya semacam transfer energi suara yang melibatkan seluruh kemampuan atau ketidakmengertian tubuh semua yang terlibat untuk menghasilkan suara; yang muncul terhubung dari mulut, gigi, lidah, bibir, amandel, nafas, langit-langit mulut,  timbre, ritme, dan suara itu sendiri dapat dinikmati kompleksitasnya secara simultan satu sama lainnya.


Rossa mencatat: transfer energi—yang dapat diinginkan untuk memenuhi suatu kebutuhan; kemudian ujungnya memang kembali pada struktur semula; sesuai dengan kebiasaan mereka; dimunculkan oleh Septian dari suara-suara setiap orang dan objek-objek di Jarit, maupun teks-teks semesta—yang bisa disebut hal yang tidak jelas dan suara tersembunyi dari dalam diri masing-masing orang yang berkunjung menyaksikan festival—yang disusun dengan dikursus meluas tanpa arah, diakhiri dengan kegiatan yang struktur, dan dibuka ulang dengan diskusi melebar kemana-mana; kami bersepakat dengan pernyataan Rossa bahwa untuk menggali bahasa, suara, atau bunyi yang lebih terbuka nantinya, yang berdenyut di seluruh pemikiran dan pemahaman orang Jarit terutama, tantangannya terletak pada kemampuan orang Jarit keluar dari kebekuan sehari-hari untuk menghubungkan makna yang tepat dengan artikulasi teks yang diciptakan.


Festival nJarit mBois; bagi kami sebagiannya merupakan bahasa yang mesti dibebaskan dari fosil, tidak dikekang, dan diberikan penyelesaiannya yang tepat kalau hendak ingin mengubah tatanan di Jarit melalui basis seni yang berkelindan dengan agraris. Barangkali diperlukan dari poin-poin di atas, di mana bahasa sebagai penggerak utamanya untuk sebuah budaya, sistem denominasi dan ucapan sebagai tindakan ekspresi individu, yang dinilai Rossa kehadiran festival sebagai latihan suara untuk tata bahasa; membawa energi makhluk hidup dari semesta Jarit menjaga suatu ekosistem persilangan yang lebih sehat untuk memiliki jiwa yang sehat pula.

Ads