Catatan Rudolf Puspa Tahun Baru 2024: Menggelorakan (Lagi) Kesenian -->
close
Pojok Seni
02 January 2024, 1/02/2024 01:50:00 PM WIB
Terbaru 2024-01-02T06:50:00Z
ArtikelOpini

Catatan Rudolf Puspa Tahun Baru 2024: Menggelorakan (Lagi) Kesenian

Advertisement


Pojok Seni - Kalimat kedua ajaran Ki Hajar Dewantara “ing madyo mangun karso” terasa menjadi ajaran yang perlu disebarkan bukan saja melalui bangku sekolah namun juga dimanapun memiliki ruang untuk menyampaikan kabar sangat penting ini. Kusebut kabar penting karena menyangkut gerakkan “revolusi” mental yang masih belum terasa keberhasilannya dalam sepuluh tahun belakangan ini.  Padahal ketika seorang presiden terpilih tahun 2014 mencanangkan revolusi mental tentulah sangat diharapkan terjadi perubahan besar  karakter bangsa.


Perubahan besar yang diharapkan adalah menyangkut tata nilai karakter bangsa yang pernah dimiliki dan sebenarnya memang sudah menjadi ajaran utama sehari2 terutama lewat keluarga. Para orang tua mewarisi ajaran lama dari orang tuanya yang kemudian sadar atau tidak terwariskan ke anak cucunya. Tersebutlah apa yang bernama nilai etika, budi pekerti, sopan santun yang terbangun sejak masih hidup bersama orang tuanya dan kemudian diperkuat ketika memasuki jenjang pendidikan. Masih teringat dengan jelas zaman dimana guru-guru masih sangat dihormati murid2nya. Guru yang dalam bahasa Jawa sering diterjemahkan “yang digugu dan ditiru”. Artinya pendidikan karakter yang menyangkut etika dan budi pekerti diutamakan lewat keteladanan. Siapa pemeran yang tepat untuk itu adalah orang tua dan selebihnya guru.


Sebagai seniman saya menemukan banyak ajaran untuk menggelorakan tata nilai yang menyangkut mental, moral. Khususnya seni teater sudah dipahami bahwa karya seni teater adalah hasil kerja kolektif. Artinya ada semangat gotong royong yang merupakan nilai yang sudah ada sejak zaman belum ada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bisa dilihat bagaimana pembangunan candi Borobudur misalnya. Tanpa ada semangat gotong royong tentu mustahil bangunan dari tumpukkan batu2 yang bukan ringan bisa ditata mengerucut ke atas. Tak bisa dibayangkan bagaimana membawa ke puncak padahal belum ada crane seperti zaman modern. Bagaimana merekatkan batu dengan batu sehingga ratusan tahun kuat terekat tanpa ada semen. Berapa ribu tenaga rakyat dengan keiklasannya melaksanakan pembangunan candi yang besar itu.


Di panggung teater para pemeran berada bersama dengan memainkan masing2 perannya. Ia tidak menjadi dirinya namun menjadi peran yang diberikan oleh sutradara. Mereka harus mampu menjalin kerjasama karena sebuah pertunjukkan dibutuhkan kemampuan secara bersama sama melahirkan “irama” yang tepat dan memiliki daya sentuh kepada penikmatnya.Dalam hal ini maka yang melakukan adalah sang pemain dan bukan sang peran.  Irama pertunjukkan memiliki gradasi yang sejak awal hingga akhir akan menciptakan perubahan2 terus menerus sehingga tidak terasa monoton yang membosankan. Lewat pengucapan dan gerak serta bunyi penonton akan mendengar sekaligus melihat dan merasakan sesuatu yang mengusik batinnya, mengetuk otaknya sehingga merasa ada gelitikkan atau pukulan2 yang menyakitkan. Maka bisa tertawa namun juga bisa menangis karena perasaan atau emosinya terbawa alur jalannya cerita. Tentu pemain dibutuhkan kemampuannya untuk “menjadi”. Kemampuan tersebut akan menuntun pemain punya “isi” dari setiap pengucapan, gerak dan bunyi yang muncul dari tubuhnya. Isi tersebut ada dalam batinnya dan menjadi jiwa yang mengusik emosi penonton.


Jika setuju dengan pemahaman seperti tersebut diatas maka akan ketemu bahwa ajaran Ki Hajar Dewantara yang dalam bahasa Indonesia “ketika berada di tengah orang2 maka mampu menggelorakan semangat perubahan irama kehidupan.”  Di panggung para pemain akan bertindak saling menggelorakan semangat kerjasama untuk terjadinya alunan simponi orchestra yang terdengar membawa musik atau lagu, nyanyian, tarian atau dialog yang terus menerus berubah menuju titik klimaks jalannya cerita.  Lebih hebatnya lagi yang namanya kesenian memiliki unsur keindahan.  Maka karya seni apapun bentuknya atau genrenya akan membawa keindahan yang berisi daya dobrak atau kritik yang bisa berawal menyakitkan atau menggelikan dan berakhir dengan pesan kemanusiaan akan tata nilai budaya yang selalu dimiliki setiap etnis, suku yang selanjutnya disebut kearifan lokal. Karena kritik yang dilontarkan dibawa oleh keindahan maka gemuruhlah tawa karena kena gelitikkan atau menangis karena kena pukulan telak. Namun apapun hasilnya akan menjadi sebuah pembelajaran yang akan direnungkan ketika pulang dari ruang pertunjukkan. 


Ketika berkesenian sudah terus menerus bergelora dalam kehidupan sehari2 tentunya ajaran Ki Hajar Dewantara bukan lagi merupakan sebuah ajaran namun sudah meresap menjadi tingkah laku sehari2. Ketika mulai terasa mengering maka akan mencari air minum yang menyejukkan kembali dan air minum itu tersedia di gedung2 teater. Maka kebutuhan akan tontonan kesenian adalah salah satu kebutuhan hidup selain makan dan minum secara fisik. Sehat fisik dan rohani akan menjadi satu kekuatan baru secara terus menerus. Jamu yang merupakan asupan vitamin ini karena semakin dikenal manjur tentunya akan dengan mudah menular kekanan kiri muka belakang atas bawah. Selanjutnya bukan hanya sekelompok kecil yang akan datang ke ruang2 pertunjukkan kesenian namun berikut tetangga satu kampung, desa, kecamatan, kota, kabupaten hingga propinsi dan jadilah sebuah kebutuhan bangsa.


Menuliskan catatan ini terasa lega namun juga kecut mengingat cita2 kemerdekaan untuk mencerdaskan bangsa harus terkendala selama 30 tahun akibat rezim yang entah sadar atau tidak telah menggeser gelora berkesenian yang berakibat hilangnya pendidikkan nilai nilai seperti mental, moral, etika, budi pekerti tergerus hilang entah kemana. Tentu tak ada yang bersedia menerima kesalahan dan lalu membalikkan tangan memperbaiki.   Untuk itu lebih baik bersama bergandengan tangan dan hati mencari jalan keluar dari tembok2 baja yang mengepung bangsa. Diperlukan peran pembaharu yang berada di tengah tengah orang banyak untuk kembali menggelorakan berkesenian karena ada kekuatan tersembunyi disana bagi memperbaiki kerusakkan nilai budaya atau kearifan lokal bangsa yang sangat beragam.    


Menjadi sangat menarik ketika bincang2 dengan Dindon yang memiliki gagasan untuk mendukung usaha agar keluar rumah maka gelora berkesenian sudah tersedia ruang dan waktunya. Untuk itu diperlukan kehadiran pemerintah yakni memberikan dukungan finansiil misalnya memberi gaji tetap atau kehormatan kepada seniman yang ada ditengah masyarakat untuk berbuat nyata memberikan pelatihan2 seni yang dia kuasai kepada anak anak, remaja atau ibu ibu bila ada keinginan. Dengan adanya kegiatan berkesenian semacam ini maka jika tiap RW dapat terwujut maka menggelorakan berkesenian di seluruh Nusantara bukan hal yang sulit. Dari segi dana pertahunnya tentu juga mampu disediakan pemerintah sebagai fasilitator seperti yang terkandung didalam UU no 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan. Ide gagasan brilyan walau terasa absurd sehingga sepertinya sulit terlaksana di negeri yang memiliki “sejuta” kearifan lokal dibidang seni pastilah bisa terwujut dengan hadirnya pemerintah.


Tidak perlu seniman harus jadi pemimpin bangsa atau negara karena presiden yang diperlukan adalah yang mampu melihat pakar2 dari berbagai bidang yang ada lalu mendengarnya sekaligus mendengar suara rakyat. Selanjutnya mengorkestrasinya sehingga terbentuk kabinet yang mumpuni dalam melaksanakan apa yang sering didengungkan tuntutan hidup rakyat. Akan terasa bahwa daulat rakyat tetap kuat sehingga tujuan kemerdekaan yakni mensejahterakan rakyat pasti terwujut secara adil. Akan terasa nyatal lembaga resmi dewan perwakilan rakyat serta majelis permusyawaratan rakyat memang bukan lembaga abstrak. Kadang bisa terlihat bahwa rakyat sudah sejahtera nmun sayangnya belum adil. Yang merasakan sejahtera masih di lingkaran satu sebuah bangsa yang sudah memproklamirkan diri sebanga bangsa yang merdeka.


“Ing madyo mangun karso”  bisa dikatakan sebagai kata kunci yang bisa membuka pintu2 betapapun sudah berkarat. Hanya diperlukan minyak pelumas agar sang kunci dengan mudah masuk dan membuka pintu. Maka terbukalah didalam diri tiap anak bangsa menjadi penggelora2 gerakkan bersama yang disebut dengan “gotong royong”. Masing2 adalah pemimpin2 yang mampu menata dirinya untuk bertemu pemimpin2 yang ada ditetangganya lalu menyatu menjalani jalanan panjang sehingga tujuan akhir yakni keadilan sosial akan tercapai dan sekali lagi bangsa yang sejahtera terwujut. Tahun 2024 telah hadir dan mampukah kita menjalankan roda-roda revolusi mental yang sudah dicanangkan sejak awal berdirinya pemerintahan Republik Indonesia 18 Agustus 1945, dimana Ki Hajar Dewantara adalah Menteri pendidikkan dan kebudayaan yang pertama.


Sengaja saya tak mau menggunakan kata “semoga” yang justru terasa sebagai harapan kosong. Lebih senang menjadi anak bangsa yang selalu optimis akan tercapai target terbesar yakni mengisi kemerdekaan hingga menjadi bangsa maju yang mampu bergelora di tengah peradaban dunia yang terus menerus berputar bergerak dengan perubahan2 yang sangat cepat.  Ingatlah keyakinan para pendiri bangsa memerlukan perjuangan 17 tahun jika dihitung dari 1928-1945. Padahal kenyataannya secara sendiri2 barangkali para raja atau sultan telah bergerak sendiri untuk merdeka dari penjajahan Belanda, Portugis, Jepang, Inggris. Maka hitungannya bisa menjadi ratusan tahun berjuang dan dengan bekal optimis yang realistik maka tercapailah kemerdekaan bangsa 17 Agustus 1945.


Optimis dan realistik melalui kedaultan rakyat pastilah apa yang sudah dicanangkan 2045 akan menjadi bangsa maju di tahun 2045 dimana umur bangsa ini 100 tahun bisa terwujud.


Bojongsari Depok 1 Januari 2024.


Rudolf Puspa

Email: pusparudolf29@gmail.com

Ads