Bagaimana Mengubah Pengalaman Sehari-hari Menjadi Naskah Drama -->
close
Pojok Seni
20 January 2024, 1/20/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-01-20T01:00:00Z
Ulasan

Bagaimana Mengubah Pengalaman Sehari-hari Menjadi Naskah Drama

Advertisement

Oleh: Adhyra Irianto* & Diah Irawati**


Pojok Seni - Dalam pertunjukan teater modern, ide ceritanya berasal dari kehidupan sehari-hari yang didramatisir. Apa maksudnya "didramatisir"?


Didramatisir atau dramatisasi adalah proses penyesuaian sebuah cerita untuk keperluan pertunjukan drama. Proses ini ditujukan untuk membuat sebuah cerita menjadi lebih mengesankan, atau menyentuh hati pembaca/penonton.


Misalnya, proses dramatisasi puisi berarti proses penyesuaian teks puisi menjadi teks pertunjukan. Lebih jelasnya, baca di apa itu dramatisasi puisi?


Terkadang untuk proses ini, penulis cerita akan membangun kisah fiksi agar jalinan cerita bisa lebih rapat dan dapat membangun klimaks dengan lebih baik. Mungkin ada tokoh yang ciptakan, atau tambahan adegan tertentu.


Film Titanic misalnya, berasal dari kejadian nyata tenggelamnya kapal Titanic di tahun 1912 dan merenggut lebih dari 3/4 jumlah penumpang di kapal raksasa tersebut (total jumlah penumpang adalah 2.234 orang dan korban jiwa 1500 orang).


Namun, agar lebih berkesan, maka diciptakanlah dua orang tokoh bernama Jack Dawson yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio dan Rose DeWitt yang diperankan oleh Kate Winslet. Keduanya merupakan tokoh fiksi yang tidak ada saat kejadian asli Titanic itu terjadi.


Yah, kalau diceritakan sebagaimana aslinya, maka tidak ada bedanya menonton film Titanic dengan menonton berita atau dokumenter tentang tenggelamnya kapal tersebut, bukan? Itu yang membedakan penulisan cerita untuk drama dengan penulisan laporan kejadian.


Dalam film berjudul A Taxi Driver yang dibuat oleh Korea Selatan misalnya, mengangkat cerita asli kejadian Tragedi Gwangju di tahun 1980 yang menewaskan 3.500 penduduk Gwangju. Semua tokoh yang dimunculkan adalah tokoh nyata, berbeda dengan Titanic.


Tapi, salah satu tokoh (yang bahkan tokoh utama)  yang bernama Kim Man Seob (diduga bukan nama aslinya, diperankan oleh Song Kang-ho) adalah seorang supir taksi yang mengantarkan Jurgen Hinzpeter, seorang jurnalis asal Jerman untuk merekam kejadian di Gwangju.


Rekaman itulah yang membuka mata dunia tentang apa yang terjadi di Gwangju. Selama ini, apa yang terjadi di Gwangju ditutup-tutupi oleh pemerintah setempat, sehingga para demonstran dianggap sebagai gangster yang membuat ulah.


Nah, tokoh Kim Man Seob ini (yang asli) tidak terdeteksi hingga saat ini. Sedangkan Jurgen Hinzpeter mendapatkan penghargaan dari pemerintah negara Korea Selatan, serta dibuatkan patung di Gwangju. Jurgen Hinzpeter berkali-kali mencari Kim Man Seob dan membuat video agar sahabatnya yang merupakan supir taksi tersebut mau menemuinya. 


Hasilnya, ketika film tersebut dibuat pada tahun 2017, pembuat film tidak punya data sama sekali tentang tokoh Kim Man Seob selain satu-satunya fakta bahwa ia warga Seoul dan berprofesi sebagai supir taksi. 


Jadi, tokoh yang Anda lihat di film tersebut adalah tokoh rekaan dengan sejumlah rekayasa untuk kehidupan pribadi Kim Man Seob.

 

Itu beberapa contoh bagaimana sebuah proses dramatisasi agar cerita yang dibuat (baik untuk pertunjukan maupun film) bisa lebih berkesan dan menyentuh perasaan penontonnya.


Sekarang, bagaimana cara agar cerita kehidupan sehari-hari Anda, atau mungkin kejadian di sekitar Anda, bisa menjadi sebuah cerita yang memukau untuk diangkat ke atas panggung pertunjukan?


Mencari Premis


Premis adalah pondasi utama sebuah cerita. Sebelum mengonstruksi sebuah cerita utuh, maka semua proses dimulai dengan membangun sebuah pondasi. Sebuah cerita yang baik, dibangun dari sebuah pondasi yang baik, ungkap Lajos Egri.


Premis adalah apa yang paling dipercayai oleh seorang penulis. Saran dari Egri adalah membangun premis dari sebuah proses dialektika. Bila apa yang Anda percayai adalah sebuah tesis, maka carilah apa antitesisnya. Pertemuan antara kedua "kubu" yang berlawanan ini akan membuka cakrawala dan perspektif baru di kepala Anda. Hasilnya adalah sebuah sintesis, dan inilah premis Anda.


Misalnya, Anda sangat percaya bahwa "menikah adalah bukti keberhasilan seorang perempuan". Namun, di banyak kasus, Anda justru menemukan lebih banyak perempuan menjadi terkekang setelah menikah, dan tidak bisa melanjutkan apa yang ia cita-citakan. Maka, Anda bertemu dengan antitesis "kebanyakan pernikahan justru menghambat keberhasilan seorang perempuan menggapai cita-citanya".


Pertemuan dua ide yang berlawanan ini, pada akhirnya mempertemukan satu sintesis. Anda justru memiliki premis baru, yakni "pernikahan yang baik adalah pernikahan yang mendukung karir kedua belah pihak". Lalu, berdasarkan premis tersebut, Anda membangun sebuah cerita.


Namun, bisa dilihat dari ilustrasi di atas, menciptakan sebuah premis dilakukan untuk membangun sebuah cerita. Bagaimana bila ceritanya sudah ada? Maksudnya, cerita yang Anda angkat adalah kisah sehari-hari yang pernah terjadi dan berkesan bagi Anda. Sehingga Anda ingin mengangkatnya menjadi sebuah cerita.


Misalnya, katakanlah Anda ingin menceritakan perjuangan orang tua Anda membesarkan Anda. Orang tua Anda adalah pekerja keras, berpenghasilan menengah ke bawah, hidup sederhana, namun mendukung apapun yang Anda cita-citakan. Berkat dukungan mereka, Anda berhasil kuliah di universitas terbaik dunia.


Dengan cerita yang "sudah ada" tersebut, apakah perlu menciptakan premis? Jawabannya, tidak!


Anda tidak perlu "menciptakan" premis. Tapi, Anda perlu "mencari" premis. Anda perlu premis dari cerita Anda, karena berikutnya penciptaan dan perekaan cerita berdasar dari premis yang Anda temukan.


Lajos Egri memberikan contoh, premis untuk kisah Romeo dan Juliet yang ditulis William Shakespeare adalah "cinta sejati tidak akan pernah terhalang dan dikalahkan dengan apapun kecuali maut".


Shakespeare mungkin sangat percaya dengan premis tersebut sehingga membangun ceritanya dari awal hingga akhir untuk mendukung premis tersebut.


Untuk penjelasan lebih lanjut tentang premis, silahkan baca Apa Itu Premis dalam Sebuah Karya dan Seberapa Pentingnya.


Detail dalam Cerita


Langkah berikutnya adalah menciptakan detail-detail dalam cerita. Detail yang dimaksud antara lain;


  • tokoh
  • setting/latar tempat
  • latar waktu kejadian
  • motif dari setiap tokoh
  • alur cerita
  • dan lain-lain


Untuk detail yang perlu Anda pertimbangkan sebelum menulis cerita, lebih lengkapnya Anda bisa membaca di sini: Detail yang Harus Diperhatikan Seorang Penulis Naskah Drama Menurut Lajos Egri


Maka, setelah detail-detail selesai Anda perhatikan, Anda baru saja menyelesaikan fase pertama dalam menulis karya Anda. Untuk lebih jelas tentang fase pertama dalam menulis karya, Anda bisa membaca ini: Premis: Fase Pertama Sebelum Menulis Karya dan Apa Pentingnya Premis?


Membangun Aransemen Cerita


Sekarang, waktunya Anda menulis "aransemen" cerita. Aransemen cerita yang dimaksud adalah cerita dari awal sampai akhir namun berupa "lintasan" atau sinopsis.


Sebuah novel setebal 300 halaman, ketika diajukan ke penerbit, justru diminta untuk mengirim "sinopsis cerita" yang hanya maksimal setebal 3-4 halaman saja. 


Dari proses aransemen cerita, akan menghasilkan sebuah intisari cerita dari awal hingga akhir. Ini adalah fase kedua dari menulis karya.


Apakah hal ini cukup sulit bagi Anda? Itu berarti Anda masih belum tahu bagaimana ending cerita Anda, bukan? 


Bila Anda menulis tanpa mengetahui ending ceritanya, maka cerita Anda justru akan mengambang kemana-mana. Mungkin para penulis novel banyak yang menulis tanpa mempertimbangkan bagaimana endingnya. 


Tapi, untuk menulis naskah drama, Anda mesti sudah tahu terlebih dulu bagaimana ending cerita Anda. Ketika Anda sudah mengetahui bagaimana akhir dari cerita yang akan Anda tulis, maka tahap dua ini akan menjadi cukup mudah.


Bahkan, menjadi lebih mudah karena Anda tahu persis bagaimana tokoh-tokohnya (baik tokoh nyata, maupun rekaan).


Bila Anda menulis tanpa mengetahui ending ceritanya, maka cerita Anda akan mengambang kemana-mana.


Membagi Adegan


Setelah aransemen cerita sudah terbentuk, maka proses penulisan cerita sudah bisa dimulai. Sebelum benar-benar memulai, Anda akan mulai membagi adegan berdasarkan aransemen cerita Anda tersebut.


Mana yang bagian pengenalan tokoh, pengenalan konflik, konflik hingga klimaks, serta resolusi. Setidaknya, itu adalah alur "minimal" yang harus dipenuhi dari "cerita utama".


Lihat diagram berikut ini. 



Dari diagram tersebut, bisa Anda lihat dari mulai dari pengenalan hingga "pengenalan konflik" masih dibangun cukup datar. Namun, setelah itu rangkaian kejadian terus meninggi intensitasnya, hingga menuju klimaks.


Setiap titik-titik tersebut dibangun untuk membantu Anda menciptakan adegan yang saling mendukung satu sama lainnya. Sekaligus, adegan tersebut dapat dibedakan intensitasnya, agar bisa mencapai "puncak" klimaks.


Katakanlah, setiap jarak antara satu titik ke titik yang lain di diagram tersebut mewakili satu adegan.


Sementara, ini dulu yang bisa dijelaskan dalam artikel kali ini. Silahkan baca-baca artikel lainnya di Pojok Seni untuk keterangan lebih lengkap tentang bagaimana menulis naskah drama.


  • * Adhyra Irianto adalah penulis naskah, sutradara, dan aktor di Teater Senyawa Bengkulu. 
  • ** Diah Irawati adalah dosen sastra di Jurusan Bahasa Indonesia, IAIN Curup.
  • *** Konsultasi dan komunikasi dengan kedua orang ini bisa Anda lakukan lewat email adhyra.irianto@gmail.com dan diahirawati59@gmail.com

Ads