Alasan Kenapa Banyak Sarjana Tak Cakap Kerja -->
close
Pojok Seni
03 January 2024, 1/03/2024 07:52:00 AM WIB
Terbaru 2024-01-03T00:52:38Z
Opini

Alasan Kenapa Banyak Sarjana Tak Cakap Kerja

Advertisement
Definisi universitas, institut, dan sekolah tinggi

Pojok Seni - Apakah Anda setuju bahwa tamatan S1 di Indonesia hari ini lebih banyak pengangguran ketimbang yang bekerja? Semakin tinggi pendidikan, maka akan semakin sulit mereka mencari pekerjaan. Apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia?


Tapi sebelumnya, pertanyaan pertama, kenapa situs seperti Pojok Seni (yang membiasanya membahas seni dan estetika) malah membahas masalah ini? Karena, sepertinya "ada yang salah" dengan sistem pendidikan kita sehingga banyak sarjana menganggur, juga yang tidak bekerja sesuai gelarnya. Nanti jawabannya akan kita kaitkan ke institusi pendidikan yang mencetak "seniman".


Pembicaraan kita mulai dengan premis ini: sejauh saya mengikuti informasi lowongan kerja dari suatu perusahaan, maka sebagian besar kualifikasi minimal yang dibutuhkan perusahaan adalah lulusan S-1. 


Ataupun, mereka akan meletakkan kualifikasi  minimal D-3/S-1, dan seandainya di posisi yang sama ada pendaftar dari D3 dan S1 maka yang diprioritaskan adalah yang S1 untuk posisi tersebut. 


Apakah Anda menyetujui ini? Bila Anda setuju, maka kita lanjutkan lagi diskursus ini.


Apakah Anda setuju, bahwa sebenarnya posisi yang ditawarkan tersebut bisa dikerjakan oleh lulusan D-3 dari pendidikan tinggi kejuruan/vokasi. Entah menjadi admin, marketing, atau tenaga teknis lainnya.  Sebenarnya, pekerjaan tersebut justru harusnya diberikan pada lulusan D-3. Kenapa? Karena D-3 sebagai tamatan pendidikan tinggi kejuruan memang dicetak menjadi tenaga kerja.


Satu-satunya yang kita ketahui, meski ingin bekerja sebagai pekerja teknis, seseorang tersebut akan memilih untuk kuliah di "universitas" alih-alih institut atau politeknik atau sekolah tinggi. Apa yang dikejar? Apalagi kalau bukan "akreditasi kampus".


Darimana sumber masalahnya?


Mari kita lihat dari historisnya. Universitas diambil dari bahasa latin yang berarti komunitas. Awalnya, nomenklatur universitas lebih panjang (berdasar bahasa aslinya) yakni "universitat magistrorum et scholarium" (komunitas guru dan akademisi).


Bila Anda melihat data, maka Anda akan menemukan bahwa universitas yang paling pertama di dunia adalah University of Al Qarawiyyin yang terletak di Maroko. Tapi, sebenarnya universitas yang dimaksud berdiri di tahun 795 M sebagai "madrasah" alias "sekolah", baru berkembang menjadi universitas setelah lahirnya universitas lain di dunia.


Tiga tempat yang "diduga" lahir sebagai universitas pertama di dunia adalah University of Bologna (Italia), University of Oxford (Inggris), dan University of Salamanca (Spanyol). Ketiga universitas ini lahir di abad ke-11 hingga abad ke-12. Pertanyaannya, apa tujuan didirikannya universitas dan "apa" yang dicetak oleh "universitas" ini?


Jawabannya adalah menciptakan "akademisi/cendikiawan". Karena itu, lahir banyak filsuf, pemikir, teoritikus, dan ilmuwan dari sebuah universitas.


Definisi Institut, Politeknik, dan Sekolah Tinggi


Hal yang dijelaskan di atas secara umum adalah hal yang membedakan universitas dari politeknik, institut, dan sekolah tinggi. Mari kita bahas "definisi" dari politeknik, institut, dan sekolah tinggi.


Politeknik berarti "banyak teknik" (poli berarti banyak). Perbedaan utama dengan universitas adalah; universitas mengajarkan teori, politeknik mengajak mahasiswanya untuk praktik lapangan.


Insitut juga menawarkan program pendidikan praktis alias fokus pada "penerapan" ilmu. Tentunya, pendidikan di institut memberikan program pendidikan yang mencetak tenaga kerja ahli yang menerapkan ilmunya di industri tertentu. 


Bagaimana dengan sekolah tinggi? Yah, sekolah tinggi adalah "universitas dalam versi kurikulum lebih terfokus pada satu rumpun ilmu". 


Sekali lagi, apa yang membedakan antara keempat jenis perguruan tinggi ini? Fokusnya, kah? Bila melihat dari apa yang terjadi di lapangan, memang perbedaan utama hanya ada di fokus keilmuan


Semakin kecil dan sempit fokus yang ditawarkan dalam program pendidikan, maka kampus tersebut biasanya berbentuk sekolah tinggi. Bila lebih fokus pada penerapan ilmu praktis, maka akan berbentuk institut. Bila fokus pada penerapan ilmu yang bersifat "teknik" maka berbentuk politeknik. 


Sedangkan, kalau palugada alias apa lu mau gua ada, maka bentuknya universitas. Tapi apa benar, universitas semacam itu?


Yah, faktanya memang seperti itu. Jurusan seni tidak perlu kuliah di institut seni, karena jurusan tersebut juga ada di universitas. Begitu juga jurusan khas politeknik, seperti teknik sipil, teknik elektro, dan sebagainya.


Untuk seni, di beberapa universitas, fakultas seni (biasanya digabungkan menjadi fakultas seni budaya) letaknya berdampingan dengan fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Bayangkan, keguruan yang membutuhkan disiplin tinggi, ketenangan, dan keteraturan berdampingan dengan fakultas seni yang biasanya akan berlawanan dengan kebutuhan tersebut.


Sarjana Tidak Cakap Kerja?


Ada banyak yang berpendapat, ketika seorang sarjana masuk ke dunia kerja, maka semua ilmu yang didapatkan di kuliahnya tidak akan digunakan sama sekali. Atau, lebih parah status sarjana sering tidak dianggap perlu karena "hidup ini tidak sebatas teori".


Masalahnya adalah sarjana jebolan universitas adalah orang-orang yang sebenarnya diarahkan ke ranah akademik, lintas disiplinnya terfokus dan komprehensif. Ciri khasnya adalah, syarat tamat kuliah adalah sebuah karya tulis ilmiah. Isinya adalah sebuah kajian, atau pengujian terhadap sebuah teori.


Bukan masalah S-1 tidak bisa atau tidak cakap kerja. Tapi, selama mereka kuliah, fokus mereka memang riset dan hal-hal akademik. Maka, tadinya universitas mencetak cendikiawan, peneliti, dan seseorang yang melakukan studi based on riset.


S-2 diarahkan menjadi dosen, peneliti, dan pengambil kebijakan. Risetnya lebih dalam dari S-1, dan jauh lebih terfokus.


Sedangkan S-2 untuk pendidikan vokasi ditujukan untuk skala yang lebih tinggi, misalnya skala manajerial untuk perusahaan. Katakanlah menjadi manajer, sampai direktur. 


Tapi masalahnya, perusahaan di Indonesia cuma terdiri dari dua jenis: 


  • milik negara yang sangat terafliasi politik praktis
  • milik keluarga, yang posisi di skala tersebut adalah keluarga pemilik perusahaan


Lalu, bagaimana dengan D-3? Seharusnya, D-3 adalah tenaga-tenaga ahli di bidangnya. Mereka tamatan perguruan tinggi kejuruan atau vokasi. Kemampuan kerja mereka di lapangan jangan diragukan, tapi mereka tidak perlu harus melakukan riset teori-teori tertentu untuk menunjang pekerjaan tersebut. Riset tadi adalah urusan sarjana. Begitu seharusnya, bukan?


Dengan kata lain, seorang yang belajar di politeknik misalnya, akan langsung berhadapan dengan lapangan pekerjaan dan segala kemungkinannya. Mereka akan dibekali keahlian teknis, operasional, dan administratif. Sedangkan seorang yang belajar di universitas, akan dibekali dengan kemampuan akademis. Tujuannya, untuk menunjang ekosistem yang diperlukan bagi dunia industri.


Bagaimana dengan perguruan tinggi seni?


Dengan kondisi seperti di atas, seharusnya institut seni "bertugas" untuk mencetak seniman dengan titel D-3. Sedangkan universitas bertugas untuk mencetak kritikus, kurator, dan sejenisnya dengan titel S-1 hingga S-2.


Universitas (sebagai lembaga pendidikan tersier) mestinya tetap berada di jalur akademik, dengan kerja-kerja berbasis riset. Sedangkan yang mencetak tenaga kerja ahli semestinya berada di ranah pendidikan tinggi vokasi.


Perbedaannya semakin kentara di akhir kuliah. Jebolan pendidikan vokasi atau kejuruan akan melakukan magang di tempat-tempat "calon penerima" mereka. Sedangkan tugas akhir mereka adalah pelaporan pekerjaan tersebut.


Sedangkan di universitas, akan melakukan riset dan penelitian, atau pengkajian dan pengujian pada sebuah teori dalam bentuk karya tulis ilmiah (tesis).


Simpelnya, D-3 berarti praktisi, S-1 berarti akademisi. S-2 melakukan kerja manajerial hingga pembuat kebijakan (atau menjadi dosen). Dan S3 akan membuat postulasi hingga teori baru yang akan mengembangkan kerja-kerja yang dilakukan di lapangan. 


Tapi yang terjadi di lapangan adalah, universitas ditujukan untuk mencetak tenaga kerja. Namun, kerja yang dilakukan tetap kerja akademik dan riset. Hasilnya adalah tamatan yang punya kemampuan setengah-setengah (setengah akademik dan setengah tenaga ahli). 


Sedangkan hal-hal yang terkait dengan sistem dan kebijakan, juga sekarang diambil oleh institut dan politeknik, yang seharusnya mencetak tenaga kerja ahli. Hasilnya pun setengah-setengah, sama seperti jebolan universitas.


Sangat jarang ada penelitian yang sangat bermanfaat bagi masyarakat luas dilakukan mahasiswa S-1, karena rata-rata membuat karya tulis akhir untuk gelar saja. Penelitian tereduksi menjadi semacam syarat agar tamat saja. Maka tidak sedikit "penelitian asal jadi" bisa kita temukan di negara ini.


Sedangkan D-3 yang mestinya spesifik (ahli) dan sangat teknis, juga diambil oleh universitas. Meski seseorang harus benar-benar terlibat dengan sebuah proyek atau pekerjaan untuk tamat, tapi tetap mengikuti "syarat khas universitas", seperti mencari "gap pengetahuan", "state of the art" dan sebagainya.


Sedikit Saran


Bila universitas mau jujur, seharusnya program D-3 sudah tidak ada lagi, dan jurusan yang ada mestinya dikurangi menjadi "hanya" jurusan yang terkait dengan sistem dan kebijakan. Misalnya ilmu kedokteran, hukum, filsafat, politik, ekonomi, dan setipenya. 


Sedangkan jurusan yang terkait dengan kerja lapangan yang spesifik dan teknis, semestinya tetap milik institut dan politeknik. 


Dengan kata lain, seorang yang mau menjadi seniman akan mendaftar ke institut seni. Bukan ke jurusan seni di universitas. Seorang yang ingin kuliah di jurusan teknik elektro akan datang ke politeknik, bukan ke universitas. 


Tapi, seseorang yang punya kelebihan di intelektual, serta mampu melakukan kerja-kerja yang mendukung sistem, kebijakan, serta teori-teori yang mendukung pengembangan dunia kerja yang dimaksud, maka ia akan kuliah di universitas.


Untuk dunia seni misalnya, seorang kritikus, tidak perlu dituntut untuk membuat karya. Tapi, dia dituntut untuk melakukan kritik dengan tepat, serta landasan argumen yang kuat, agar mampu membantu seniman tersebut memperbaiki kualitas karyanya. 


Seorang manajer seni, juga tidak dituntut untuk mengetahui teori dan metode penciptaan karya seni, atau menguasai teknik tertentu untuk menciptakan sebuah karya seni. Tapi, ia tahu standar estetika, dan mendesain sebuah acara/event seni yang bermutu.


Orang-orang di atas adalah sarjana, baik S-1 hingga S-2.  Mereka akan kuliah di universitas.


Tapi untuk seorang seniman yang perlu kemampuan teknis, dan hal-hal terkait itu untuk kerja praktis di lapangan, maka tempat kuliah yang tepat adalah di institut seni. Terlepas apapun akreditas dan rangkingnya, karena memang bukan itu yang mereka perlukan.


Bukankah, seharusnya begitu?

Ads