Teater: Warisan Yunani yang Gagal Diadopsi Kebudayaan Islam dan Akibatnya -->
close
Pojok Seni
21 December 2023, 12/21/2023 01:41:00 PM WIB
Terbaru 2023-12-21T06:44:18Z
Artikel

Teater: Warisan Yunani yang Gagal Diadopsi Kebudayaan Islam dan Akibatnya

Advertisement
Teater yang tidak diadopsi ke kebudayaan islam


Oleh: Adhyra Irianto


Pojok Seni - Kebudayaan Islam, terutama di era kegemilangan Dinasti Abbasiah dan Ottoman, cukup banyak menyerap warisan peradaban material dari Yunani. Filsafat (falasifah), teologis sistematis (kalam), matematika, fisika, dan sebagainya. Tapi, seni teater adalah warisan peradaban Yunani yang gagal diadopsi ke budaya Islam. Kenapa menggunakan kata "gagal adopsi" bukan "tidak diadopsi"? Kemudian, memangnya apa yang terjadi karena teater gagal diadopsi dalam budaya Islam?


Kata "gagal adopsi" dipilih karena faktanya dunia Islam memang sempat "ingin" mengadopsinya. Bentuknya adalah wayang (permainan bayangan) yang hadir di Kairo, Mesir pada abad ke-13. Catatan Li Guo (2012) mencatat tentang seni pertunjukan di era pertengahan Islam, yakni puisi dan wayang. Tokoh yang tercatat adalah Ibn Dāniyāl, yang hingga saat ini dianggap sebagai salah satu dramawan legendaris Mesir, juga dunia Islam. Namun, teater menjadi suatu gerakan yang dicurigai oleh agamawan Timur Tengah era terdahulu. Mulai dari Yahudi, sampai Islam, semua mulai menjauhi teater.


Wayang Mesir, Pengaruh Nusantara pada Teater Arab


Wayang dibawa oleh pedagang-pedagang yang pulang dari Nusantara. Karena itu, karakteristik dari wayangnya tetap sama, yakni memainkan bayangan sebagai simbol hubungan antara manusia dengan "dunia tak terlihat". Hal itu ditulis oleh Metin A.N.D (1975) dalam Karagoz - Turkhish Shadow Theatre, dan juga dalam tulisan berjudul A History of Theater yang ditulis oleh J Reeves & Tueedleyand (1941). Di Mesir, Ibn Dāniyāl dikenal sebagai seorang yang merepresentasikan filsafat keimanan lewat lakon-lakon yang dimainkan. Naskah drama yang ditulisnya adalah sebuah trilogi kisah, yang dipercaya sebagai naskah drama berbahasa Arab tertua yang pernah ditulis.


Kisah pertama bertajuk Wisal penuh dengan lelucon, humor brutal, dan vulgar. Sampai akhirnya para tokoh dalam drama tersebut bertaubat, lalu beribadah ke Tanah Suci (Mekah). Nyatanya, teks tersebut ditulis Ibn Dāniyāl untuk mengkritik sultan yang kerap menghukum masyarakatnya dengan dalih menegakkan moralitas.


Kisah kedua bertajuk "Ajeeb wa Ghareb" yang menunjukkan kisah "sihir", "sirkus", dan pemandangan populer di Mesir era itu. Akhir ceritanya sama, para tokoh bertaubat dan pergi ke Mekah. Kisah ketiga lebih sadis lagi. Kisah yang bertajuk  “Al Mutayyam wa ad Da’i al Yatim” menceritakan seseorang yang melakukan segala cara untuk menyenangkan kekasihnya, walaupun itu tindakan jahat. Mulai dari berjudi, melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, dan sebagainya. Sampai akhirnya, suara keras datang sebagai pertanda malaikat maut menjemputnya. Tokoh tersebut (lagi-lagi) bertaubat dan pergi ke Mekah, setelah diberi kesempatan oleh malaikat untuk memperbaiki dirinya.


Teater yang tidak diadopsi ke kebudayaan islam


Kisah-kisah yang ditulis oleh dramawan (atau dalang) lainnya juga berisi kritik pada pemerintahan dengan cara yang satir. Sampai akhirnya, kritik itu juga datang pada pemuka agama. Muncul tokoh-tokoh teater bayangan dari berbagai negara sekitaran Mesir, seperti Suriah, Libanon, Aljazair, Tunisia, Libya, Arab, Maroko, Turki, dan sebagainya. Abad ke-19 adalah masa-masa terakhir teater bayangan ini masih terdengar. 


Para pemimpin agama (utamanya Yahudi dan Islam) pada akhirnya tidak menyetujui pertunjukan wayang Mesir ini. alasan utamanya adalah karena kontennya itu sendiri mendekati pornografi dan banyak humor yang mengarah ke mesum. Hasilnya, teater lainnya juga perlahan dijauhi dan menghilang dari peradaban Islam. Jadi, meski berada di era kegemilangannya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan, namun seni teater khas Yunani tidak menjadi hal yang sering ditemukan dalam peradaban Islam. Apalagi, ketika mulai keluar dari era kegemilangan tersebut.


Masyarakat Penonton Teater


Speech act adalah bagaimana kata-kata yang digunakan akan dilanjutkan dengan tindakan. Jadi, kata-kata tidak merupakan informasi belaka, tapi juga penanda sebuah tindakan. Speech act adalah bagian dari komunikasi manusia. Seseorang yang menyatakan dirinya gembira, mesti terlihat pula dari seluruh tubuhnya, bahwa ia gembira. Lebih lanjutnya, speech act diperlukan untuk mengetahui apakah yang disampaikan seseorang termasuk dalam; 

  • tindak lokusi (tindak tutur dan tindak proposisional)
  • tindak ilokusi (tindak tutur untuk mengarahkan atau punya urgensi tertentu)
  • tindak perlokusi (tindak tutur yang disebabkan/sebagai akibat dari sesuatu)

Speech act dipelajari sejak era filuf Yunani antik untuk memahami komunikasi manusia, tanpa lebih mudah tersinggung, atau mudah terpengaruh yang menyebabkan adanya gesekan tertentu. 

Budaya menonton teater, menjadikan seorang penonton mesti terbiasa untuk memelajari speech act. Apa yang dikatakan seorang aktor, lengkap dengan tindakannya, akan mengarahkan ke sesuatu tujuan. Selain itu, penonton teater juga akan terbiasa melihat sesuatu dari berbagai perspektif. Jadi, generasi "ambekan", atau generasi yang mudah tersinggung, bukan generasi yang lahir dari masyarakat yang terbiasa menonton teater. 

Seorang Quorawan, Himawan Pridityo, memiliki hipotesis bahwa teater adalah seni yang memiliki konsep speech acts. Bagi penonton, apa yang dikatakan oleh seorang aktor di atas panggung, bukanlah apa yang sebenarnya. Sehingga, penonton memiliki waktu untuk berpikir bahwa realita yang ada di atas panggung, bukanlah seperti realita yang ada di sekitarnya. Apa yang didapatkan masyarakat dengan kebiasaan ini?

Hipotesis Himawan, kondisi ini menjadikan masyarakat jauh lebih terbuka dengan apapun perbedaan pendapat. Karena itu, di wilayah yang teaternya hidup, perbedaan keyakinan dan pendapat tidak menjadikan gesekan yang bisa menimbulkan konflik. 

Nusantara sebagai Analogi


Di Eropa, kita mengenal nama Ahmed Aboutaleb seorang keturunan Belanda-Maroko beragama Islam yang menjadi walikota Rotterdam, Belanda (yang notebene mayoritas Kristen). Sedangkan Sadiq Khan yang merupakan keturunan Pakistan-Inggris menjadi walikota London, yang hampir separuhnya beragama Kristen. Daerah dengan penduduk yang terbiasa menonton teater lebih terbuka dengan perbedaan, juga terbiasa untuk melihat banyak "realita" juga "makna kata" dari setiap komunikasi.

Bagaimana dengan Nusantara? Sejak dulu, kita mengenal Nusantara sebagai wilayah yang menjadikan orang-orang dengan perbedaan pendapat, keyakinan, dan suku, bisa duduk berdampingan. Karena itu, kita mengenal istilah sinkretisme yang menjadikan adat istiadat setempat bisa berjalan berbarengan dengan agama. Bagaimana Hindu di Bali bisa berbeda jauh dengan Hindu di India, adalah karena sinkretisme budaya Bali dengan agama Hindu. 

Sedangkan untuk Islam, kalangan NU misalnya, juga melakukan banyak negosiasi terhadap Islam. Meski dilabeli dengan cukup negatif sebagai "Islam Nusantara", namun konsep inilah yang menjadikan Islam sebagai agama bisa tersebar luas di Indonesia (khususnya Jawa).

Hal-hal di atas disebabkan karena Nusantara adalah penggemar pentas teater sejak dulu kala. Wayang, yang akhirnya memengaruhi Mesir, adalah tontonan teater yang hingga hari ini masih bisa ditemui di Indonesia. Begitu juga jenis teater tradisional lainnya, seperti ludruk, longser, ketoprak, lenong, dul muluk, mamanda, dan sebagainya. Pertunjukan kesenian tersebut bahkan tidak bisa terpisahkan dari kultur Nusantara.

Karena itu, Nusantara masih jauh lebih fleksibel terhadap perbedaan. Nusantara yang sebenarnya, tidak "baperan" dan sangat mengerti konteks dari sebuah kalimat, baik itu berupa sindiran maupun pujian.

Lantas Hubungannya dengan Kebudayaan Islam?


Penolakan Bissu di Makassar, penendangan sesajen di puncak Bromo, pengeboman di Gereja, penolakan terhadap festival kuliner Babi di Semarang, pelarangan pengucapan selamat Natal dan sebagainya justru baru terjadi di era modern. Sebelumnya, penolakan-penolakan seperti itu tidak ada di kultur Nusantara. Pernah terjadi perang Paderi di Sumatera Barat, namun berakhir dengan jalan tengah "adat besendi syarak, syarak bersendi Kitabullah" yang menjadi pegangan masyarakat Minang hingga saat ini. Musyawarah untuk mencapai mufakat adalah kultur Nusantara sejak lama untuk menghadapi perbedaan. 

Dan semua ini terkait dengan seni teater. Teater tradisional yang sudah mengakar pada kultur masyarakat Nusantara sejak dulu, menjadikan sikap "nrimo" dan bermusyawarah adalah hal yang menjadi dasar bermasyarakat. Namun, hal itu tidak ada di kebudayaan Islam sejak era kegemilangannya. 

Namun, sinkretis antara agama dan budaya lokal tidak bisa diterima bila merunut pada pandangan kebudayaan Islam. Karena itu, ada gerakan "menyucikan" atau "mengembalikan Islam ke fitrah" dan sebagainya. Intinya, kebudayaan teater dan masyarakat teater akan membangun dialektika. Perbedaan dan keragaman akan selalu dianggap sebagai anugerah, bahkan harus dirayakan, ketimbang keseragaman.

(Bahasan ini akan diulas dengan lebih detail di Interogasi Nalar #2 dengan tema "Mengapa Kita Bersandiwara" di Youtube Pojok Seni)

Ads