Advertisement
Oleh: Adhyra Irianto
Pengantar
Sebelum Martin Esslin (1918-2002) merumuskan dan menteorisasikan teater absurd di tahun 1960-an, gerakan Franz Kafka (1883-1924) di tahun 1947 dianggap banyak pihak sebagai titik awal gerakan absurdisme di seni pertunjukan. Alih-alih menunjuk Waiting for Godot-nya Samuel Beckett sebagai tonggak kelahiran teater absurd (seperti yang dinyatakan Esslin), justru reportoar dramatik bertajuk The Trial (1915) karya Kafka yang dipentaskan sebagai pertunjukan teater di Paris tahun 1947 dianggap sebagai embrio kelahiran teater satu ini.
Beberapa jurnal internasional menyebut nama Alfred Jarry (1873-1907) yang menulis drama berjudul Ubu Roi tahun 1896 sebagai bapak teater absurd dunia. Alfred Jarry tidak hanya dikenal sebagai dramawan dan penyair, tapi juga filsuf postmodern dan tokoh absurdisme sastra. Karya-karyanya dipengaruhi kehidupannya yang berantakan, dari ayah seorang alkoholik dan saudaranya yang dilembagakan. Hasilnya, karya-karya Jarry mengusung tema yang kemudian menjadi corak dari teater absurd; penderitaan metafisik atas absurditas dari kondisi kehidupan manusia.
Tema tersebut selaras dengan apa yang diangkat oleh dramawan absurd berikutnya seperti Beckett, Ionesco, Pinter, hingga Jean Genet bahwa kehidupan manusia tidak memiliki koherensi, serta tidak juga memiliki makna yang berarti. Pertunjukan teater absurd menjadi sebuah refleksi kehidupan yang tulus, tanpa ilusi-ilusi yang menutupi kondisi absurditas dengan keindahan tertentu. Apa yang dihadirkan oleh pertunjukan teater absurd adalah ketidakbermaknaan, hal-hal yang tidak masuk akal, komunikasi yang tidak bermakna, serta plot yang tidak sintetis dan logis. Harus diakui bahwa tema-tema tersebut telah muncul dalam berbagai karya seni, utamanya sastra, di era-era sebelumnya.
Benang merah penyambung antara bentuk teater sebelumnya ke teater absurd, justru ada di diri Antonin Artaud (1896-1948). Karya-karya Artaud (diistilahkan sebagai teater kejam), disebut sebagai penghubung dari teater surealisme ke teater absurd. Bentuk teater yang dikenalkan oleh sejumlah penulis drama absurd justru bukan sebuah gerakan kolektif, apalagi gerakan terencana. Mereka bekerja di ruang kreatif sendiri, dan independen. Hanya saja, apa yang mereka sampaikan adalah hal yang sama; sebuah keganjilan, rasa kesia-siaan, dan kesedihan.
Hasilnya, teater absurd menjadi wajah dari para pemberontak. Kumpulan orang-orang yang memberontak dari perencanaan dan konspirasi yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mengubah perspektif, demi keuntungan pribadi. Penggunaan teater, film, dan media populer lainnya sebagai jalan konspirasi dan provokasi adalah bentuk yang harus dilawan, menurut para penulis teater absurd.
Teater Absurd dan kehidupan postmodern
Saya mengasumsikan bahwa teater absurd adalah teater yang mengutamakan situasi, ketimbang karakterisasi dan konflik. Dua hal yang disebut terakhir adalah aspek sekunder dalam teater absurd, padahal keduanya adalah aspek primer dalam drama konvensional. Karena dibangun untuk menampilkan situasi, maka teater absurd lebih didominasi untuk menghadirkan pola gambar yang memvisualkan (dan mengkomunikasikan) kebingungan dan kegelisahan manusia. Kebingungan dan kegelisahan tersebut disebabkan oleh keadaan manusia yang dikeliling oleh kosmos dan kehidupan yang tidak pernah bisa dipahami, acak, dan sulit untuk diperhitungkan.
Sekilas teater absurd tampak seperti tidak mengusung ideologi apapun. Hal ini juga terkait dengan sifat ikonoklastik dalam teater absurd. Apa yang dihadirkan di atas panggung adalah pola gambar yang direncanakan untuk menghadirkan apa tema yang diusung. Karena itu, tidak ada plot, karakter nyata, hingga peristiwa yang berurutan dengan resolusi sebagai akhirnya. Semua suasana atmosferal yang hadir di atas panggung hanyalah aktivitas semu manusia, mengisi dan menghindari hal-hal yang tidak logis di hidupnya dengan jawaban-jawaban semu.
Meski benar dipengaruhi kehancuran dan perasaan takut pada perang dunia, namun tujuan teater absurd lahir adalah cara dramawan absurd untuk mengevaluasi ulang (dengan serius) peran manusia sebagai spesies makhluk hidup di alam semesta, dengan menghancurkan terlebih dulu makna dan struktur yang telah paten. Penggambaran manusia sebagai salah satu spesies makhluk hidup (alih-alih raja atau pemimpin dunia), merujuk ke diskursus tentang ketidak berarti dan tanpa tujuannya hidup manusia. Situasi keterasingan, komunikasi tanpa makna, dan kewaspadaan permanen terhadap dunia menjadi pondasi pemikiran utama para filsuf, hingga penulis absurdisme.
Era postmodern diwarnai dengan pandemi penyakit berbahaya, komunikasi yang semakin tanpa makna, serta bencana di mana-mana hingga kewaspadaan meski semakin tinggi. Maka teater absurd lahir kembali dalam banyak bentuk dan gaya baru, untuk menggambarkan situasi tersebut dengan tulus dan tanpa ilusi yang menutupinya.
Teater absurd dan masyarakat strata rendah
Teater absurd hadir memberikan gambaran masyarakat kelas bawah. Anda bisa melihat gelandangan, pelacur, pengemis, disabilitas, buruh, fakir miskin, tunawisma, dan lapisan masyarakat lebih rendah berada di naskah-naskah yang ditulis Pinter, Beckett, Genet, dan para dramawan absurd lainnya. Hal itu juga bentuk perlawanan terhadap konsentrasi dramawan abad ke-20 yang fokus pada masyarakat borjuis. Padahal, masalah paling banyak muncul adalah dari lapisan masyarakat bawah. Karena itu, muncul pernyataan bahwa di atas tahun 1950-an, teater adalah milik segelintir orang, dan hanya membicarakan moral orang-orang lapisan atas.
Karena itu, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang kasar, humor yang brutal, plot yang aneh, hingga latar yang unik dan aneh. Realitas tampak seperti samar, kadang seperti mimpi. Pengalaman manusia yang absurd digambarkan dengan adegan plastik, sedangkan tragedi digambarkan dengan parodi sekaligus eksploitasi. Maka teater absurd terbentuk dari kombinasi;
- tragedi dan lelucon,
- keterasingan dan humor brutal,
- kesendirian dan komunikasi tanpa makna.
Hasilnya, sebuah bahasa baru untuk mengejawantahkan gagasan baru. Sebuah pendekatan baru untuk menggambarkan filosofi baru. Sebuah penghancuran atas makna dan struktur yang sudah mendominasi cara berpikir masyarakat luas, untuk memberikan dimensi berpikir yang baru.
Teater absurd menjadi sebuah gerakan lewat drama dan literatur yang menjadi titik balik perubahan seni drama di era postmodern. Namun, skenario global selalu berhasil menang di hati masyarakat. Skenario yang lebih besar dengan tujuan memenangkan pihak tertentu, masih terlalu lebih kuat untuk memenangkan hati banyak orang. Karena itu, sepertinya penulis drama yang mampu memproyeksikan kesia-siaan kehidupan manusia di era postmodern ini harus lebih banyak lahir kembali.