Advertisement
Oleh: Zackir L Makmur*
Penyair Nuyang Jaimee begitu gigih dan penuh keberanian melakukan olah pikir dan olah rasa terhadap pendoa yang lupa nama Tuhan-Nya. Di mana puisi, sebagai bentuk ekspresi sastra yang sarat emosi, justru dari olahan batiniah Nuyang itu menjelma menjadi medium yang efektif untuk merangkum dan mengolah kompleksitas spiritualitas dalam konteks sosial.
Dari itu, di dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Pendoa yang Lupa Nama Tuhan-Nya, penyair Nuyang Jaimee menggeledah anasir-anasir spiritual dan sosial. Bahwa spiritualitas, sebagai dimensi esensial manusia, di buku ini tidak lagi diduduki sebagai posisi sentral dalam refleksi karena ada kehancuran sosial. “Surau roboh, Gereja terbakar, atas nama agama keberagaman di negeriku tamat,” tandas Nuyang dalam buku ini pada puisi Para Penggilas Kemanusiaan.
Dalam diksi yang runcing dan tajam, ditusukan pula ke jantung pemahaman bahwa kehancuran tersebut tidak hanya membuka ruang bagi pertanyaan mendalam tentang arti kemanusiaan. Tetapi juga mengundang pemikiran mendalam terkait nilai-nilai spiritual yang membimbing individu dan masyarakat. Maka diksi yang runcing dan tajam, ditusukan bahwa: “Para penipu bertopeng kebajikan berebut kehormatan di ruang-ruang kelam. Di atas panggung-panggung pertunjukan, para pendengki bertabur arogansi kemunafikan saling menikmati, menjatuhkan. Berteriak tentang kebenaran dan dosa-dosa tak tahu makna sebenarnya” (Puisi Para Penggilas Kemanusiaan).
Kehancuran sosial itu juga yang pernah diungkapkan oleh Arthur Schopenhauer, di mana filsuf ini mengajukan pandangan bahwa kehancuran sosial bisa dianggap sebagai manifestasi penderitaan kolektif. Dan Nuyang menjadikan puisi sebagai wadah untuk menggambarkan perjalanan tersebut. Akan tetapi dalam konteks spiritualitas, tidak berani seperti halnya Friedrich Nietzsche yang mengetukkan palu persidangan bahwa Tuhan telah mati. Maka untuk berani ke hal ini, saran saya, rajin-rajinlah menggeledah gudang filsafat di pojok kesunyian intuisi.
Kendati demikian buku yang judulnya seram dan penuh belantara filosofis ini, menghimpun 20 puisi memberikan semiotika pula bahwa ada transformasi nilai-nilai justru timbul di tengah kekacauan. Dan sejumlah puisi di buku ini tandas pula menemukan nilai-nilai baru yang mencerminkan keadilan dan empati di tengah perubahan nilai yang merusak struktur.
Mengekspresikan Rasa Sakit
Pemberian buku kumpulan puisi dari Nuyang Jaimee kepada Diki Lukman Hakim selaku Kepala PDS HB Jassin. (foto.dok.zackir) |
Dengan begitu puisi, yang bahasanya penuh simbolis, di sini jadi menciptakan ruang untuk merenungkan esensi hidup –serta memberikan arti baru pada pengalaman-pengalaman sulit. Maka konsep penderitaan yang menyentuh dimensi spiritualitas dalam kehancuran sosial, di mana muncul pemahaman bahwa penderitaan adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan manusia diungkapkan melalui puisi.
Di sinilah pula puisi bisa menjadi wadah untuk mengekspresikan rasa sakit dan kebingungan, sambil membuka jendela untuk memahami esensi spiritualitas dalam menerima realitas. Lalu spiritualitas dalam kehancuran sosial, terutama dalam ekspresi puisi di buku ini, membentuk narasi puitis yang mengeksplorasi kebijaksanaan dan kebingungan, perjuangan dan harapan, serta penderitaan dan pemulihan. Dalam perjalanan ini, puisi-puisi Nuyang bisa menjadi cermin kemanusiaan, menangkap esensi manusia yang teruji dalam cobaan dan menawarkan jejak menuju makna yang lebih dalam di tengah-tengah kehancuran sosial.
Maka dalam konteks kompleksitas kehidupan sosial, konsep itu pun menyiratkan eksplorasi mendalam tentang bagaimana dimensi spiritualitas dapat bertahan dan bertransformasi dalam menghadapi situasi kehancuran sosial. Karena itu, “Kami hanya seonggok pikiran yang sakral,//dengan bau busuk bangkai berjejal di rumah//kami. Apa yang kami sembelih hari ini adalah//kepala yang dipenuhi ludah basi para binatang//dengan kerah tinggi dan manset berdasi” (Puisi Pendoa yang Lupa Nama Tuhannya). Ini menjadi spiritualitas dalam kehancuran sosial, ketika masyarakat mengalami krisis, keruntuhan nilai, dan ketidaksetaraan yang mendalam.
Struktur sosial pun rapuh atau nilai-nilai masyarakat terkoyak, maka “Di Negeri ini penindasan masih terjadi//Kepentingan, rasa rakus dan ketidakikhlasan//Para pemimpin tuli tak berhati nurani//Pencinta tahta, harta dan kuasa//Pemuja wanita-wanita bordil kelas dunia” (Puisi Indonesia di Persimpangan Sejarah), memperjelas bahwa spiritualitas dalam konteks kehancuran sosial dapat mencerminkan perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan.
Individu yang merasa terhubung dengan dimensi spiritual mungkin merasa panggilan untuk berdiri bersama melawan sistem yang merusak hak asasi manusia dan memiskinkan kelompok tertentu. Dalam sejarah, banyak gerakan sosial yang didorong oleh nilai-nilai spiritual dan moral. Spiritualitas dalam konteks kehancuran sosial juga dapat menciptakan solidaritas di antara kelompok yang tertindas, memperkuat tekad untuk memperjuangkan perubahan sosial positif.
Refleksi Terhadap Pertanyaan Keadilan Sosial
Refleksi mendalam terhadap pertanyaan akan keadilan sosial sebagai pertimbangan yang krusial dalam pemahaman, muncul pula dalam kumpulan puisi Nuyang ini. Sehingga sejumlah puisi mencuatkan nilai-nilai etika dan kebenaran. Sehingga keadilan sosial yang mencakup distribusi sumber daya dan peluang secara adil, serta perlakuan setara terhadap semua individu tanpa memandang latar belakang, begitu tandas disampaikan tanpa pembungkus.
Pertanyaan akan keadilan sosial di buku ini juga membangkitkan kesadaran yang mempertanyakan terhadap peran lembaga dan struktur sosial, karena anasir peradaban ini bisa mengabaikan lingkungan yang adil. Dari itu ada semacam refleksi yang mencakup evaluasi terhadap kebijakan pemerintah, sistem nilai, dan norma-norma sosial yang dapat mempengaruhi distribusi keadilan dalam masyarakat.
Lebih dalam, refleksi terhadap pertanyaan akan keadilan sosial itu juga dapat memperjuangkan perubahan positif. Kesadaran akan ketidaksetaraan dapat menjadi dorongan untuk beraksi, baik melalui advokasi, partisipasi dalam gerakan sosial, atau kontribusi positif lainnya untuk membangun masyarakat yang lebih adil. Dengan demikian, refleksi ini bukan hanya menjadi introspeksi, tetapi juga panggilan untuk bertindak guna menciptakan perubahan yang positif dalam upaya mencapai keadilan sosial yang lebih inklusif.
Maka dalam refleksi mendalam terhadap pertanyaan akan keadilan sosial, puisi-puisi Nuyang di buku ini juga menggali pemikiran dan pandangan yang kaya akan nilai-nilai kemanusiaan. Di sini terasa sekali berbau pemikiran John Rawls tentang keadilan sebagai kesetaraan, dan perspektif Amartya Sen tentang pentingnya menciptakan kondisi untuk perkembangan penuh potensi individu. Dalam puisi Rempang Tanah Melayu, anasir-anasir pemikiran itu terserap.
Dan hari ini bukan akhir dari perlawanan//saat kalian cungkil mata kami akan kalian temukan//bukan hanya airmata, tapi disana ada bah menelaga,//airnya mengalir ke muara, sampai ke ke laut,//dan laut kami mengombak, ombaknya menghancurkan//segala sistem, perangkat dan kebijakan sesat//kefakiran nurani para pejabat dengan kepentingan membunuh hak rakyat (Puisi Rempang Tanah Melayu)
Puisi ini melangsungkan pula sorotan kompleksitas dan urgensi keadilan sosial. Puisi ini juga menghadirkan dimensi etika dan moral, menegaskan bahwa keadilan juga mencakup hak-hak kemanusiaan.
Melalui perspektif ini, bahwa keadilan sosial melibatkan penghargaan terhadap hak-hak dasar setiap individu, penciptaan kondisi yang mendukung perkembangan penuh potensi manusia, dan komitmen kolektif untuk mengatasi ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Dalam memandang masa depan, maka pertanyaan akan keadilan sosial begitu pedas disampaikan puisi-puisi di dalam buku yang diterbitkan Teras Budaya Jakarta (November 2023) ini. Sehingga ada refleksi mendalam tentang prinsip-prinsip moral dan etika yang membentuk struktur masyarakat.
Filsuf John Rawls, dalam teorinya tentang keadilan sebagai kesetaraan, menyatakan, "Setiap orang harus memiliki hak penuh yang sama untuk dasar yang paling kaya, yang merupakan suatu hak yang melibatkan tanggung jawab sosial,” setarikan nafas dengan puisi Panjang Umur Perjuangan (2) yang menorehkan: “Selamat malam kawan//Sekian malam kita gelar pesta perayaan//malam ini terakhir kita meretak dalam pesta perlawanan//Marilah kita pulang dan rehatkan badan//karena perjalanan kita masih panjang.”
Torehan ini menggarisbawahi pula bahwa pentingnya melibatkan tanggung jawab sosial bagian dari “pesta perlawanan” yang menjadi prinsip dasar yang membentuk landasan keadilan sosial.***