Roro Jonggrang: Karya Terakhir Nano Riantiarno Pentas di Benteng Inggris -->
close
Pojok Seni
02 December 2023, 12/02/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-12-02T01:00:00Z
teaterUlasan

Roro Jonggrang: Karya Terakhir Nano Riantiarno Pentas di Benteng Inggris

Advertisement
Pentas Roro Jonggrang oleh Teater Koma
Pentas Roro Jonggrang oleh Teater Koma (foto: Bengkulu Interaktif)


Oleh: Diah Irawati*


Peninggalan Inggris di Bengkulu, yakni Benteng Malborough, menjadi saksi pementasan karya terakhir yang ditulis dan disutradarai oleh maestro teater Indonesia, Nano Riantiarno. Grup teater legendaris, Teater Koma membawa pentas bertajuk Roro Jonggrang ke Bengkulu yang didukung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI. Roro Jonggrang merupakan karya yang ditulis oleh Nano Riantiarno, baik naskah maupun liriknya. Pentas ini menjadi lebih memukau dengan layar multimedia raksasa yang menjadi background pementasan ini.


Menariknya, Teater Koma yang telah menggelar ratusan pentas sejak berdiri 46 tahun lalu, hanya tercatat menggelar pentas di luar Jawa sebanyak 3 kali, dan ketiganya digelar di Pulau Sumatera. Dari pentas terakhir yang digelar 20 tahun lalu, sekarang Teater Koma datang ke Bengkulu dan menggelar pentas di bangunan bersejarah peninggalan Inggris, alih-alih di gedung pertunjukan. 


Sinopsis 


Roro Jonggrang pentas di Bengkulu
Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang dalam pentas Teater Koma (foto: Obsession News)


Legenda Roro Jonggrang yang terkait dengan candi Prambanan adalah kisah ikonik yang dikenal oleh seluruh Indonesia. Roro Jonggrang, seorang putri cantik dari Raja Kerajaan Boko, harus menerima pahitnya sebuah lamaran dari Bandung Bondowoso. Kenapa pahit? Karena sebagai putra mahkota Kerajaan Pengging, Bandung Bondowoso adalah orang yang paling bertanggung jawab pada serangan Pengging yang menghancurkan Boko, sekaligus membunuh dengan kejam Raja Boko beserta istrinya, yang merupakan orang tua dari Roro Jonggrang.


Maka dendam Roro Jonggrang pada Bandung Bondowoso begitu membara. Bagaimana bisa seorang yang paling berdosa dengan kematian orang tuanya, sekaligus kehancuran kerajaannya, bisa datang untuk menjadikannya seorang istri? Namun, untuk membuat keputusan, Roro Jonggrang merasa dilema.


Bila ia menolak, maka serangan paling mematikan dari Bandung Bondowoso akan kembali menghancurkan Pengging. Tentu, bukannya Roro Jonggrang takut mati. Tapi, bagaimana nasib rakyat Pengging yang tidak bersalah, namun akan jadi korban amukan Bandung Bondowoso?


Masalahnya, menerima lamaran itu juga bukan pilihan yang tepat. Siapa yang rela menjadi seorang istri, dan tidur bersama orang yang menghancurkan kerajaannya, dan membunuh orang tuanya dengan cara membakarnya hidup-hidup? Orang gila mana yang mau diperistri oleh manusia kejam seperti itu?


Maka Roro Jonggrang memilih untuk menerima dengan syarat yang tak masuk akal. Bandung Bondowoso harus membuat sebuah sumur di atas Gunung Boko tepat di pukul satu pagi. Keesokan malamnya, Bandung Bondowoso harus membangun seribu candi yang harus kelar sebelum matahari pagi terbit. Di luar dugaan Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso menerima syarat itu tanpa ragu.


Pembangunan sumur di puncak gunung Boko bisa berjalan dengan begitu cepat. Padahal, puncak gunung Boko sangat terjal, dan penggalian di gunung itu akan sangat sulit karena dipenuhi bebatuan. Masalahnya adalah, Bandung Bondowoso dibantu oleh ratusan siluman. 


Persyaratan pertama telah kelar dikerjakan. Sekarang, giliran  syarat kedua di malam kedua, yakni membangun seribu candi. Lagi-lagi, ratusan siluman datang membantu Bandung Bondowoso. Malam masih cukup panjang, tapi pembangunan seribu candi itu sepertinya akan dengan mudah diselesaikan oleh Bandung Bondowoso. Roro Jonggrang cemas, sekarang mulai memutar otaknya untuk menggagalkan pembangunan itu.


Roro Jonggrang yang sangat cantik itu hanya mendambakan cinta yang suci. Cinta yang suci adalah cinta yang datang dari orang biasa, bukan dari raja-raja. Namun, cinta Bandung Bondowoso sudah begitu besar, menggerakkan para siluman untuk membangun ratusan candi hanya dalam waktu beberapa jam saja. Pukul tiga, Roro Jonggrang menggunakan tipu muslihat untuk menipu Bandung Bondowoso. Ayam berkokok karena mengira hari sudah pagi, lantaran suara bertalu dari lesung penumbuk beras. Sebuah tipu muslihat, menjadikan para siluman melarikan diri, dan mengangkangi kesaktian Bandung Bondowoso. 


Seakan, sesakti apapun seseorang, akan tetap kalah dengan kecurangan. Bahkan cinta yang sangat besar sekalipun, akan tetap kalah dengan kecurangan. Kecurangan di Nusantara telah ada sejak zaman dulu. 


Pentas Roro Jonggrang dan Kemegahan Artistik


Para siluman dalam pentas Roro Jonggrang oleh Teater Koma
Para siluman dalam pentas Roro Jonggrang oleh Teater Koma (foto: Solopos)

Teater Koma tampil dengan cast terbaiknya untuk pentas di Bengkulu. Nama-nama seperti Rangga Riantiarno (sebagai Bandung Bondowoso), Sekar Dewantari (sebagai Roro Jonggrang), Rita Ratumona, Pandu Raka, Suntea Sisca, Dodi Gustaman, Perdana Hassan, Daisy Lantang, dan aktor-aktor Teater Koma lainnya menghadirkan karakter yang kuat, hingga mampu menjadi penggerak plot cerita, serta kesan yang menarik bagi penontonnya. 


Kesan pertama tentu dari make up dan kostum yang digunakan para aktor. Make up karakter yang baik tidak hanya akan mengubah seorang aktor menjadi karakter yang dibutuhkannya, tapi juga membangun kesan yang kuat untuk karakter maupun peristiwa yang dihadirkan. Make up yang digunakan Teater Koma begitu kompleks, dan menjadi aspek artistik yang sangat mendukung kebutuhan pertunjukan. 


Saya berpendapat bahwa make up yang digunakan untuk peran-peran dalam Roro Jonggrang adalah mix dari make up karakter dengan make up fantasi. Sebab, untuk menghadirkan para siluman (yang berasal dari alam entah apa), diperlukan kreativitas yang tinggi dari penata rias. 


Tampilan visual dari make up didukung dengan kepiawaian penata kostum. Kostum tidak melulu hanya bertugas sebagai penguat karakter. Namun, unsur artistik dan estetik dari sebuah kostum akan menjadikan sebuah peran menjadi sangat hidup. Pilihan bentuk dan warna yang memukau dari kostum yang digunakan Teater Koma, menarik perhatian penonton yang akhirnya terus memperhatikan setiap detail pertunjukan tanpa henti.


Layar multimedia yang menampilkan background (sebagai setting pertunjukan) memerlukan perhatian yang lebih, serta digarap dengan serius. Karena itu, perlu diberi pujian pada penata multimedia dan penata grafis, yang didukung pula dengan kerja menganggumkan dari penata cahaya. Fokus penonton tetap bisa "diarahkan dengan sengaja" ke spektakel yang paling dibutuhkan. Penuh warna, namun tidak berlebihan. Penuh cahaya, namun tidak menyilaukan.


Secara keaktoran, akting para aktor Teater Koma memang mengarah ke akting yang komikal dan "distilir". Bagian-bagian lirik yang dinyanyikan, serta adegan yang dihiasi dengan tarian, menjadi kekuatan dari Teater Koma di beberapa dekade terakhir. Maka, aktor di grup ini dituntut untuk mampu bernyanyi dengan baik, juga bisa menari dengan baik pula. Sebuah paket lengkap dari seorang aktor teater.


Satu yang paling saya kagumi adalah, Teater Koma tetap mampu menghadirkan pertunjukan yang kompleks selayaknya grup ini pentas di Taman Ismail Marzuki, ataupun di Gedung Kesenian Jakarta. Padahal, pentas kali ini digelar di Benteng Marlbourogh yang jelas-jelas tidak didesain untuk menggelar sebuah pertunjukan teater. Tim panggung mampu menghadirkan sebuah panggung mewah dengan semua peralatan yang dibutuhkan, sehingga penonton terasa lupa sedang berada di markas besar tentara kolonial Inggris, tempat sebuah perang berkecamuk dan menewaskan Thomas Parr selama pertunjukan berlangsung.


Pentas ini tentu menjadi sebuah persembahan yang manis, dan saya sangat beruntung menjadi saksi karya terakhir dari almarhum N. Riantiarno. Pesan yang disampaikan, digali lebih dalam dari sebuah cerita legenda yang ternama. Kecerdasan seorang begawan teater mampu membuat legenda yang biasa disebut di buku pelajaran siswa SD ini, menjadi sebuah kisah yang pesan-pesannya sangat relevan dengan era hari ini. 


Penutup


Pentas Roro Jonggrang oleh Teater Koma
Pentas Roro Jonggrang oleh Teater Koma (foto: Bengkulu Network)


Pimpinan produksi, Ratna Riantiarno, menuliskan bahwa pentas di Bengkulu menjadi begitu bermakna bagi Teater Koma karena pentas ini didedikasikan pada tiga orang ujung tombak kreatif Teater Koma yang terlebih dulu berpulang. Ketiga orang tersebut antara lain Ohan Adiputra, Idries Pulungan, dan terakhir pada 20 Januari 2023 lalu, giliran Nano Riantiarno yang berpulang. 


Meski sedang merasakan kehilangan, namun makna Teater Koma, yang berarti tidak berhenti (titik) tetap dipegang teguh oleh seluruh anggota Teater Koma. Terasa lebih emosional karena karya ini adalah karya terakhir yang disutradarai oleh N. Riantiarno.


*Penulis adalah dosen sastra Indonesia di salah satu perguruan tinggi di Rejang Lebong, juga anggota Teater Senyawa (Bengkulu).

Ads