Puisi Filosofis Melalui Metafora Hewan -->
close
Pojok Seni
13 December 2023, 12/13/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-12-13T01:00:00Z
Analisis Puisi

Puisi Filosofis Melalui Metafora Hewan

Advertisement
Nanang Ribut Supriyatin bersama para penyair
Nanang Ribut Supriyatin bersama para penyair

Oleh: Zackir L. Makmur


Nanang Ribut Supriyatin, menulis puisi, cerita pendek dan esai sastra sejak tahun 1980-an, serta beberapa kali menjuarai Lomba Cipta Puisi tingkat Nasional, yang dalam satu tahun belakangan ini menulis puisi-puisi begitu indah menggunakan simbolisme hewan. Ada sepuluh puisi yang telah dipublikasi di media sosial, antara lain berjudul Ular, Tikus, Semut, Rayap-Rayap, Kupu-Kupu,  Kepinding, Kecoa, Burung, Cacing, dan Cicak.


Penyair yang kerap menerima penghargaan mulai dari menerima Penghargaan Puputan Margarana Award dari Sanggar Minum Kopi, Bali (1998), Setya Sastra Nagari dari Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia (2021), sampai penerima Sastratama Nagari/ Sastrawan Utama Nagari dari Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia (2022), ini menggunakan simbolisme hewan dalam puisi untuk menyampaikan berbagai makna, mulai dari ekspresi emosi hingga pemikiran filosofis. 


Hewan dijadikan sebagai cara untuk melukiskan perasaan manusia dengan lebih gamblang dan kuat. Motif ini juga terkait dengan kehidupan alam dan siklus kehidupan. Hewan-hewan seperti burung, kupu-kupu, atau ular dijadikan simbol kehidupan, kematian, atau perubahan. Dengan menggunakan simbolisme hewan, penyair Nanang merenungkan siklus alam dan menggambarkan transformasi dalam kehidupan manusia, termasuk pula menciptakan makna yang dalam dan memperkaya pemahaman kita tentang hubungan antara manusia dan alam.


Maka pemilihan hewan dalam puisi bukan sekadar merujuk pada karakteristik fisik mereka, melainkan menciptakan dimensi emosional yang mendalam dalam karya sastra. Setiap hewan diangkat menjadi metafora yang kuat, menjadi sarana ekspresi untuk menyampaikan perasaan atau suasana hati tertentu. Dalam puisi Nanang R. Supriyatin, begini:


seekor ular yang kulihat videonya di youtube yang

berjalan perlahan di atas rumputan, mendekati

tubuh seorang gadis yang duduk di bangku panjang

yang kemudian melewati tubuh perempuan muda

dan polos itu – tiba-tiba hadir dalam mimpiku (Puisi Ular).


Simbolisme ular dalam puisi ini dapat melibatkan kontras antara kecantikan dan bahaya. Soalnya ular sering kali dianggap sebagai makhluk yang memikat dan mempesona dengan gerakannya yang lincah, tetapi juga penuh dengan potensi bahaya. Dalam konteks ini, puisi dapat menciptakan dualitas yang membingungkan antara daya tarik dan ancaman, mencerminkan kompleksitas hubungan antara keindahan dan risiko dalam kehidupan manusia.

 

Puisi tersebut mungkin mengajak pembaca untuk mengeksplorasi sisi gelap dan terang dari pengalaman manusia: andai bukan ular, umpamanya manusia (lelaki) mendekati tubuh seorang gadis yang duduk di bangku panjang, tentu akan menjadi pergolakan asmara yang panas (dan kadangkala berbisa). Sebuah perkara yang: “tiba-tiba hadir dalam mimpiku.” 


Oleh karenanya ular,  yang sering dianggap menakutkan, di sini sebagai representasi emosional membuka ruang untuk interpretasi yang lebih luas dan mendalam terhadap puisi. Dengan begitu simbolisme emosional melalui hewan dalam puisi memungkinkan pembaca untuk terhubung secara lebih mendalam dengan puisi tersebut. Sebagian besar orang dapat meresapi dan memahami perasaan yang terkandung dalam simbolisme hewan, lalu membuka pintu bagi identifikasi diri dan refleksi emosional. Dalam kasus burung sebagai simbol kebebasan, pembaca dapat membayangkan getaran keinginan untuk melepaskan diri dari pembatasan dan mewujudkan impian. Maka dituliskan begini:


suatu ketika kelak kau akan mencari jejak burung

di antara pohon kelapa, daun singkong yang rimbun

serta kulit jagung yang menghampar dalam kebun

dan diam-diam kau menangisi kepergiannya (Puisi Burung).


Filosofis Menghadirkan Pertanyaan Moral 


Nanang Ribut Suprihatin


Puisi Nanang lainnya juga menghadirkan pertanyaan moral yang mendalam melalui metafora hewan, menciptakan narasi yang mendorong pembaca untuk mempertimbangkan nilai-nilai etika yang mendasari tindakan manusia. Dalam Puisi Tikus, Nanang menorehkannya:  berhentilah menangis atau sesenggukan// di depan cermin hanya karena sepotong roti//yang kau simpan dalam lemari tercerai berai//dengan bau bangkai tikus menyengat hidung,//dan muntahan dari mulutmu itu terasa//lebih menjijikan dan amat memalukan.


Karakteristik hewan yang dipilih Nanang begitu cermat dapat mencerminkan dilema etis atau konflik moral dalam kehidupan manusia. Pemilihan “Tikus” sebagai simbol etika tidak hanya menciptakan lapisan makna tambahan, tetapi juga memperdalam pemahaman tentang etika dan moralitas dalam konteks kemanusiaan. Di sini, simbolisme “Tikus” dalam puisi menjadi jendela untuk memeriksa relasi kompleks antara manusia dan binatang. Pemilihan “Tikus” (dan hewan-hewan) lainnya sebagai simbol filosofis membuka dialog tentang moralitas, termasuk pula dalam interaksi manusia dengan dunia hewan.


Dengan menggali konsep etika melalui metafora hewan, puisi-puisi Nanang di di sini  tidak hanya menciptakan karya seni yang indah, tetapi juga menjadi sarana untuk merenungkan nilai-nilai filosofis yang mendasari kehidupan manusia. Hewan dalam puisi bukan hanya objek representasi, melainkan simbol yang mendalam untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang merangsang pemikiran, dan refleksi mendalam terhadap kehidupan dan eksistensi manusia. 


Pemilihan hewan sebagai simbol filosofis memungkinkan penyair untuk mengeksplorasi kompleksitas eksistensi manusia dengan cara yang unik dan menggugah pikiran. Simbolisme dan makna filosofis hewan dalam puisi-puisi Nanang lebih lanjut menawarkan kedalaman refleksi karsa dan rasa yang signifikan. 


Pemilihan hewan dalam puisi jadinya tidak hanya sekedar menggambarkan karakteristik fisik mereka, tetapi juga menciptakan representasi emosional yang mendalam. Setiap hewan berpotensi menjadi metafora untuk menyampaikan perasaan atau suasana hati tertentu. 


Aspek lain yang menarik dalam penggunaan hewan dalam puisi Nanang adalah makna kultural yang sering kali terkandung di dalamnya. Simbolisme hewan bisa merujuk pada mitologi, tradisi, atau kepercayaan budaya tertentu. Hal ini bersemayam dalam Puisi Semut: “seekor semut ngumpet dalam selimut//di atas ranjang yang kau tiduri//ketika datang bayang kematianmu!


Simbol Hewan Menjadi Jembatan Menuju Makna 


Sesungguhnya pilihan hewan bukan saja dalam puisi dapat menciptakan kontras atau analogi dengan situasi atau karakter manusia, juga dalam khasanah karya sastra lainnya, simbol hewan menjadi jembatan menuju makna filosofis yang mendalam. Setiap hewan, dengan karakteristiknya, membawa simbolisme kultural yang kuat. Sebagaimana diungkapkan oleh Joseph Campbell dalam 'The Power of Myth, bahwa; “Simbolisme hewan merentangkan jembatan antara dunia alam dan roh, memberikan makna dan kebijaksanaan yang tersembunyi dalam setiap makhluk."


Termasuk pula pemilihan hewan sebagai metafora memberikan dimensi filosofis pada karya sastra. Hewan-hewan ini mencerminkan perilaku atau sifat manusia, dan kritik sosial tercermin melalui pemilihan mereka untuk menggambarkan struktur masyarakat atau kelompok tertentu, sebagaimana dinyatakan oleh George Orwell, penulis 'Animal Farm, “Pemilihan hewan sebagai representasi manusia bukan hanya untuk menyajikan kisah, tetapi untuk menyampaikan pesan politik dan sosial yang mendalam."


Sementara itu filosofi di balik penggunaan simbol hewan merefleksikan sifat manusia itu sendiri, tersemai pula dalam puisi Nanang: kepinding dalam kasur//bagai monster liar//menjelma kapuk dan//benang-benang kasar//tubuh putih mulus jadi//sengketa kutu busuk, (Puisi Kepinding). Dan ini sekaligus memberitahukan bahwa simbolisme hewan membawa pesan moral dalam karya sastra.  Setidak-tidaknya pelajaran moral yang dapat memandu manusia dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.


Dengan demikian simbolisme hewan dalam puisi (karya sastra lainnya) tidak hanya memainkan peran sebagai alat untuk menciptakan kontras atau analogi dengan situasi atau karakter manusia, tetapi juga seringkali meluas ke dalam karya-karya sastra lainnya. Dalam prosa atau drama, misalnya, penggunaan simbolisme hewan dapat memberikan dimensi tambahan pada narasi atau karakter. 


Hewan dapat digunakan untuk menyimbolkan sifat-sifat khas atau emosi yang tidak mudah diungkapkan secara langsung oleh karakter manusia. Dengan begitu, simbolisme hewan menjadi alat yang kuat untuk menyampaikan makna lebih dalam dan mendalam dalam berbagai jenis sastra. Penggunaan simbolisme hewan juga dapat memberikan nuansa khusus pada karya sastra, menciptakan atmosfer atau tone tertentu yang mempengaruhi cara pembaca atau penonton meresapi cerita. 


Bersamaan pula bahwa simbolisme hewan dalam karya sastra seringkali mencerminkan nilai-nilai atau kepercayaan tertentu dalam budaya atau masyarakat penulis. Sebagai contoh, beberapa hewan memiliki makna khusus dalam mitologi atau simbolisme agama tertentu. Dengan memasukkan hewan-hewan ini ke dalam karya sastra, penulis dapat menggambarkan atau mengeksplorasi aspek-aspek budaya atau spiritual yang mendalam dan kompleks. 


Simbolisme hewan bukan hanya menjadi alat sastra yang serbaguna, tetapi juga menjadi jendela ke dalam pemahaman mendalam tentang manusia, budaya, dan dunia di sekitarnya. Sehingga secara keseluruhan, simbolisme hewan, khususnya dalam konteks puisi dan karya sastra lainnya, menawarkan dimensi tambahan pada pemahaman kita tentang kehidupan manusia dan lingkungan sekitar. 


Dalam puisi-puisi Nanang yang mengusung simbolisme hewan ini, di sini memperlihatkan hewan-hewan dapat menjadi katalisator untuk refleksi mendalam tentang pengalaman manusia, dengan menggambarkan aspek-aspek universal seperti perubahan, kebebasan, atau konflik emosional. Puisi Nanang menjadi karya sastra yang menggunakan simbolisme hewan sebagai alat ekspresi yang kuat untuk menyampaikan pesan dan makna tanpa harus mengandalkan kata-kata langsung. 


Hal ini memungkinkan penulis untuk mengeksplorasi kompleksitas manusia dan dunia di sekitarnya melalui bahasa metafora yang kaya. Maka simbolisme hewan jadi memperkaya makna dan nuansa karya sastra, menciptakan lapisan-lapisan interpretasi yang mendalam. Hewan-hewan dalam puisi (dan sastra) bukan sekadar elemen dekoratif atau perangkat retorika; mereka menjadi entitas yang hidup dengan makna-makna yang mendalam. 


Hal begitu terjadi pula pada puisi-puisi Nanang yang menggunakan simbolisme hewan tidak hanya membangun kontras atau analogi yang menarik, tetapi juga merentang batas imajinasi pembaca, membawa mereka ke dalam dunia simbol dan makna yang lebih luas. 


Dengan demikian, kesimpulan ini menegaskan bahwa simbolisme hewan merupakan aspek penting dari kekayaan dan kompleksitas sastra, yang terus memperkaya pengalaman kita dalam meresapi dan memahami karya-karya sastra. ***


Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), serta menulis beberapa buku antara lain buku fiksi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa” dan buku non fiksi “Manusia Dibedakan Demi Politik”.

Ads