Advertisement
Oleh : Luqman Wicaksono*
“Freude, schöner Götterfunken, Tochter aus Elysium, Wir betreten feuertrunken, Himmlische, dein Heiligtum!”
Pernahkah kalian membaca kutipan diatas? Tidak familiar? Kalau tidak familiar tidak mengapa, tapi apakah kalian pernah mendengar melodi Ode to Joy? Tentu pasti ada yang sedikit banyaknya tahu mengenai melodi lagu tersebut.
Tahun 1824, seorang komposer--bakal tersohor oleh karya ini--Ludwig van Beethoven--mengomposisi sebuah musik ke dalam sebuah bagian dari simfoni nomor 9, simfoni terakhir, dengan judul sama dan format untuk paduan suara ganda dan grand orchestra. Beethoven menciptakan simfoni ini dalam periode kekaryaan yang terakhir pada 1824, dua tahun sebelum sepeninggalnya, dengan kondisi tuli total akibat sklerosis dan tinnitus parah yang menyerang indera pendengarannya.
Orang-orang banyak mengenal Beethoven 9 ini terutama pada bagian keempatnya "Finale". Pada simfoni nomor 9 ini, Beethoven memberikan sub nama "Choral" atau paduan suara dan lebih khususnya bagian paduan suara tersebut berada pada bagian empat karya simfoni ini. Pada lirik bagian ini, Beethoven memakai karya puisi Friedrich Schiller dengan judul "Elysium". Elysium ini dalam mitologi Yunani merupakan surga bagi para dewa dan pahlawan yang gugur dalam peperangan--mereka menuju keabadian di Elysium.
Berikut kutipan bait kedua pada Ode to Joy :
Freude, schoner Gotterfunken
Tochter aus Elysium
Wir betreten feuertrunken
Himmlische, dein Heiligtum!
Deine Zauber binden wieder
Was die Mode streng geteilt
Alle Menschen werden Bruder
Wo dein sanfter Flügel weilt
(Terjemahan Indonesia)
Suka cita, kemilau para dewa,
Anak putri Elysium,
Dengan berapi-api kami memasuki,
Wahai dewi, tempat sucimu.
Kegaibanmu menyatukan kembali
Apa yang telah dipisahkan oleh kebiasaan yang kaku;
Semua manusia menjadi saudara
Di tempat sayap lembutmu terkembang.
Kesan kemanusiaan sangat jelas tergambar pada kutipan puisi dalam Ode to Joy tersebut, terutama pada bagian lirik pada bagian kedua "Semua manusia menjadi saudara"; musik dan lirik yang menyatukan die Menschen atau manusia yang sama dan setara hak dan kewajibannya, menjadi der Bruder atau saudara.
Kesan ini hampir mirip seperti konsep "gotong royong" di Indonesia, yakni suatu manusia yang berkumpul membentuk suatu kerja sama yang memberikan kekuatan positif untuk terciptanya suatu kedamaian, ketentraman atas dunia yang makin runyam ini. Manusia melepaskan ego nya yang kemudian melebur menjadi pikiran kolektif bernama kemanusiaan.
Pada abad ke-19, seorang pustakawan dan jurnalis musik Alexander Wheelock Thayer menulis sebuah biografi khusus mengenai komposer Ludwig van Beethoven. Ia menyebutkan mengenai karya ini, “Ide lain yang terlintas di benaknya adalah bahwa tentang bentuk awal puisi itu, ketika itu masih merupakan Ode to Freedom (bukan 'to Joy'), yang pertama kali membangkitkan kekaguman yang antusias terhadapnya di benak Beethoven.”
Penggantian istilah dalam judul karya Ode to Joy ini bukan menjadi masalah penting, namun justru memperkuat kesan atas Joy atau kesenangan manusiawi yang dimaksud adalah wujud kebebasan dari suatu belenggu yang menyiksa diri atau segolongan tertentu. Namun, sejatinya tetap semua itu ada batasannya, kebebasan disini sifatnya tetap terbatas, tidak lepas liar dan bahkan brutal terhadap lingkungan atau individual lainnya.
*Penulis adalah Mahasiswa S1 Seni Musik ISI Yogyakarta