Advertisement
Seni rupa bukan melulu sebuah suguhan bagi kalangan borjuis di balik dinding megah galeri ternama. Setidaknya, begitu yang coba digagas oleh beberapa seniman di Bengkulu dalam pameran bertajuk Next Level: Jurnal Visual II yang digelar di Bencoolen Mall Bengkulu, dari akhir Desember hingga awal Februari 2024 mendatang.
Lewat pameran ini, 13 kelompok seniman yang ikut andil dalam kegiatan ini mencoba memperkenalkan seni rupa yang lebih "ramah" dan dekat dengan masyarakat. Terutama, generasi milenial yang masih sangat perlu diperkenalkan dengan seni rupa. Perubahan dan semangat untuk menghidupkan ekosistem seni menjadi alasan utama, kenapa pameran seperti ini harus terus dilakukan di tanah Bengkulu.
Pengalaman Estetis Menikmati Pameran "Next Level"
Penulis mencoba menikmati setiap suguhan dalam pameran bertajuk besar Next Level ini dengan mengaitkan dengan judul besarnya. Next Level alias level berikutnya bisa diartikan sebagai cara penyuguhan dan menikmati seni rupa baik instalasi, lukisan, gravity, dan sebagainya, dalam "level berikutnya". Level berikutnya yang dimaksud, bisa diartikan sebagai apa persepsi visual yang ditangkap, juga siapa saja yang ditargetkan untuk menjadi audiennya.
Kunjungan penulis ke pameran tersebut pada tanggal 26 Desember 2023, melihat adanya pendekatan relasional dengan generasi milenial. Salah satu cara yang diambil adalah mengintegrasikan efek-efek tertentu, serta multimedia dengan bentuk-bentuk seni rupa. Penggunaan tata cahaya, infocus, lampu-lampu aneka warna, efek "glow in the dark", dan beberapa pendekatan lainnya digunakan sebagai daya tarik utama pameran ini. Sebagaimana proposisi pameran, tidak ada tema tertentu dalam pameran ini sehingga penonton diperkenankan untuk mempersepsi seluas-luasnya dari sejumlah karya yang disuguhkan.
Beberapa karya yang menarik perhatian, menurut penulis, pertama karya instalasi dari sejumlah kaleng cat semprot. Membahas tentang karya ini, maka kita akan sedikit membicarakan Euklides, seorang filsuf dari Alexandria yang hidup di abad ke-4 SM. Euklides memaparkan tentang teori pancaran visual yang dipostulasikan dari proses pancaran sinar yang dari "corong" mata. Pancaran sinar dari corong mata didapatkan dari cahaya dari luar yang dipantulkan ulang. Dengan cahaya yang bermunculan dari warna yang menempel di kaleng cat semprot, serta sekitarnya (yang didesain seperti tumpahan cat) menjadikan penyerapan citra visualnya langsung berkorespondensi dengan pikiran audiensnya. Ini pondasi dan prakondisi epistemik dari estetika yang dipaparkan di era Renaisans.
Distribusi bidang dari deretan kaleng semprot (dalam jumlah yang cukup banyak), dengan dukungan sejumlah faktor lain seperti cahaya, warna, "tubuh" kaleng, bentuk, ukuran, susunan, jumlahnya, bayangan, pencahayaan, dan lain-lain, memungkinkan deretan cat semprot ini menghadirkan persepsi berbeda bagi setiap mata audiens dalam jarak penglihatan tertentu. Keselarasan dari sejumlah aspek yang disebut sebelumnya, memberikan sifat partikular unik bagi deretan cat semprot penuh warna, yang berkilauan di tengah kegelapan ini. Mengutip pemikiran Al-Haytam (965-1041, dikenal dengan nama Alhazen dalam tradisi latin) seorang filsuf dan estetikawan dari Baghdad menyebut bahwa keindahan dan penafsiran tertentu hadir dari keselarasan sejumlah aspek dari sebuah objek estetis.
Ini yang menjadikan karya ini menarik dan unik. Baik secara "pancaran" maupun "penyerapan" dari objek tersebut, dengan mata audiensnya (dengan jarak tertentu) memberikan kesan yang mendalam dan berbeda-beda. Kesan yang didapatkan baik dengan pendekatan kausal, matematis, maupun anatomis, menurut penulis, adalah kekuatan dari karya ini yang menjadikannya tidak mudah dilupakan sepulang dari pameran.
Selain karya tersebut, masih ada beberapa karya lain yang menarik dan memanjakan mata. Sejumlah lukisan hitam putih yang berderet di dinding bagian belakang pameran juga menarik untuk disimak. Gravity dan sejumlah gambar menarik yang memberi kesan budaya tradisional sekaligus modernitas secara bersamaan. Namun, bila pembicaraan seni rupa tradisional (terutama di Eropa) akan selalu merujuk pada kaum bangsawan dan reliji. Di era modern, diskursus seni rupa lebih diarahkan pada wacana sebagai respon seorang pengkarya pada keadaan sekitarnya. Dalam konteks pameran ini, menurut saya, para pengkarya mencoba merespon bagaimana audiens seni rupa di Bengkulu. Karena itu, karya-karya yang dibuat didesain agar lebih dekat dengan generasi muda. Agar ekosistem seni rupa bisa dibangun dengan lebih masif, sebelum akhirnya memperkenalkan ruang galeri tematik pada masyarakat.
Saya merekomendasikan Anda untuk mencoba menikmati pameran ini. Pameran ini didesain untuk mengantarkan Anda ke level berikutnya dari "menikmati karya seni". Level berikutnya, di mana persepsi estetis akan terus bertumbuh seiring bertumbuhnya ekosistem seni pada umumnya di seluruh Provinsi Bengkulu.