Membaca Ulang Sejarah Korupsi di Indonesia -->
close
Pojok Seni
25 December 2023, 12/25/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-12-25T01:00:00Z
ArtikelOpini

Membaca Ulang Sejarah Korupsi di Indonesia

Advertisement
Sejarah korupsi di Indonesia


Oleh: Adhyra Irianto


Beberapa waktu terakhir, layar kaca dihiasi oleh debat para kandidat calon presiden, disusul oleh para calon wakil presiden. Tidak ada yang begitu menarik, semuanya sama saja seperti tahun-tahun lalu. Mereka saling serang, mencoba saling menjatuhkan, dan mencoba memberikan penawaran bahwa diri mereka layak dipilih. Selain itu, tidak ada yang berbeda. Program mereka juga begitu-begitu saja. Menggratiskan ini, menggratiskan itu, seakan-akan rakyat tidak mengerti bahwa tidak ada makan siang yang gratis. Menggratiskan A berarti menjadikan B lebih mahal. Karena, dana yang tadinya dialirkan ke B, sekarang dialihkan ke A agar bisa gratis. Seperti itu logikanya, bukan?


Tapi jawaban para kandidat adalah; tidak ada yang dialihkan, tidak ada yang dikurangi. Semua program untuk "rakyat" akan tetap diteruskan. Lalu, darimana uang untuk menggratiskan ini-itu seperti yang dijanjikan kandidat? Jawaban pamungkasnya adalah, semuanya didapat dengan menghentikan korupsi. Gara-gara korupsi, Indonesia rugi triliunan rupiah. Dana itu yang akan "direbut kembali" dan digunakan untuk menggratiskan ini-itu.


Maka sampailah kita ke kata ajaib ini; korupsi. Korupsi adalah bibit dari sebuah kehancuran besar. Kerusakan besar. Indonesia tidak maju-maju, juga tidak kunjung menjadi negara besar. Penyebabnya adalah korupsi. 


Dalam tulisan ini, mari kita mencoba hal yang masih jarang dilakukan. Mari kita menelusuri sejarah korupsi di Indonesia. Kemudian, baru kita menarik kesimpulan, apa sebenarnya korupsi itu?


Sejarah Korupsi di Indonesia dan Mengapa Sulit Sekali Dihilangkan


Kata korupsi dikenal rakyat Indonesia tidak begitu lama, mungkin tidak sampai 30 tahun yang lalu. Tahun 1999 ke atas, adalah saat istilah korupsi mulai dikenal di masyarakat. Dan saat itu, korupsi adalah salah satu dari tiga serangkai; "korupsi - kolusi - nepotisme" alias KKN.


Kolusi adalah sikap tidak jujur, ditandai dengan kesepakatan yang ilegal untuk memuluskan sesuatu. Sebelum disebut kolusi, dan sekarang juga sering disebut gratifikasi, kegiatan ini sering disebut "uang pelicin" atau istilah lainnya "kongkalikong". Istilah "kolusi" berasal dari bahasa Inggris, collusion yang berarti sebuah tindakan ilegal, rahasia, atau konspirasi, yang ditujukan untuk mendapatkan sesuatu secara curang.


Nepotisme berarti pemihakan atau perlakuan istimewa. Seseorang yang memiliki pengaruh, atau kekuasaan, akan memilih kerabat, teman, rekan kerja, atau orang dekatnya untuk mendapatkan sesuatu, seperti pekerjaan, posisi, dan jabatan. Sebelum istilah nepotisme dikenal, hal ini biasa disebut "pilih kasih".


Sedangkan yang akan kita bahas; Korupsi, berasal dari bahasa Inggris, corruption yang ditarik dari bahasa latin, corruptio. Arti kata corruptio ini adalah kerusakan. Tahun 2000, definisi corruption berubah menjadi "penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi". Keuntungan yang dimaksud jelas berupa material. Ini definisi yang disebutkan World Bank di tahun tersebut, yang kemudian menjadikan kata korupsi dipergunakan di seluruh dunia.


Di Indonesia, nama Soeharto, presiden kedua RI, disebut sebagai contoh paling nyata untuk ketiganya. Beliau melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme sekaligus. Sekaligus, pasca lengsernya beliau, istilah korupsi (dan dua paduannya) baru terdengar dan menjadi momok menakutkan dalam sejarah Indonesia. Tapi, mari kita merunut kembali ke belakang, bagaimana korupsi bisa lestari di negeri ini?


Kultur Nusantara sejak dulu adalah tolong menolong, balas budi, dan "nggak enakan". Bila Anda menjadi seorang kepala sekolah swasta, lalu ada keponakan yang mendaftar jadi guru baru, apa yang akan Anda lakukan? Yah, karena "nggak enakan", sekaligus ingin menolong keponakan, sekaligus ingin membalas budi dari kakak Anda (yang merupakan bapak dari si keponakan), maka Anda tidak ada pilihan lain selain menerimanya. 


Sejumlah Ilustrasi "Bukan" Korupsi


Bayangkan, bila pendaftar ada delapan orang dan yang diterima hanya dua orang. Satu mungkin Anda akan memilah yang paling baik di antara delapan pendaftar, dan satu lagi akan Anda berikan pada keponakan Anda. 


Bagaimana bila bukan itu yang Anda lakukan? Katakanlah, ketika diurutkan, keponakan Anda adalah urutan ke tujuh. Lalu, Anda memilih untuk mengambil rangking satu dan dua untuk menjadi guru di sekolah yang Anda pimpin. Setelah itu, bagaimana hubungan Anda dengan kakak dan keponakan Anda?


Ilustrasi di atas sudah terjadi sejak dulu. Dan tentu saja itu bukan "nepotisme", apalagi "korupsi". Itu adalah "menjaga silaturahmi".


Seorang pedagang kaki lima, menemui seorang kepala sekolah agar anaknya bisa dimasukkan ke sekolah tersebut. Tidak lupa, ia datang menemui panitia penerimaan siswa baru. Meski pedagang kaki lima, namun ternyata ia datang membawa amplop yang masing-masing berisi Rp 1 juta, sebagai uang terima kasih, pengganti bensin dan tinta printer, juga untuk lain-lain. Jelasnya, itu nyaris mirip seperti uang pelicin, tapi itu bukan "kolusi" apalagi "korupsi". Itu adalah "uang terima kasih".


Kondisi lainnya adalah, seorang pengendara sepeda motor menerobos lampu merah ketika sedang tidak ada orang (itu namanya "buru-buru"). Lalu, ditahan polisi lalu lintas yang kebetulan melihat pelanggaran itu. Lalu, daripada ribet karena harus ke pengadilan dan sebagainya, pengendara tersebut memilih membayar sejumlah uang pada oknum polisi, agar masalahnya cepat beres. Meski mirip dengan "sogokan", tapi itu bukanlah "kolusi" (apalagi korupsi), itu disebut "damai di tempat".


Atau, ada seorang lain yang sedang membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena antri dan proses pemasukan data ke pusat, KTP tersebut baru akan jadi dua minggu lagi. Dengan "uang pelicin" sekitar Rp200 ribuan, KTP bisa diterbitkan di hari yang sama. Agar KTP bisa terbit di hari yang sama, tentunya pegawai yang mengerjakannya harus bekerja keras. Dan lagi-lagi itu bukan disebut "korupsi", itu adalah "uang lelah".


Seorang mahasiswa, sudah terlalu capek dengan revisi skripsi, kemudian mengumpulkan uang. Uang itu digunakan untuk membayar seorang "joki" untuk mengerjakan skripsinya sampai kelar. Begitu juga jurnal ilmiah, dan tugas-tugas lainnya. Tapi itu bukan "kolusi" apalagi "korupsi", itu hanya "jalan keluar dari masalah akademik".


Masih banyak contoh tindak yang "mirip" KKN dilakukan di skala kecil. Tentunya, nyaris segala urusan di setiap lini kehidupan masyarakat membutuhkan itu. Uang tersebut seakan menjadi bahan bakar, atau pelicin segala urusan. Tapi, mereka yang melakukan hal itu, tidak merasa sedang korupsi. Bagi kita, hal tersebut mungkin hanya menjaga silaturahmi, uang terima kasih, damai di tempat, uang lelah, uang rokok, dan entah apa lagi istilah yang bisa disematkan pada tindakan tersebut.


Jadi, siapakah sebenarnya koruptor di negeri ini? Yah, koruptor adalah orang yang apes, atau mungkin terlalu polos (sehingga dimanfaatkan orang lain). Suatu hal baru masuk kategori korupsi ketika angkanya mencapai miliaran rupiah, diliput media besar, dan pelaku menggunakan rompi oranye di KPK (komisi pemberantasan korupsi). Selain itu bukan korupsi.


Bayangkan, bila semua hal yang disebut di atas (yang kita kategorikan sebagai menjaga silaturahmi, uang terima kasih, damai di tempat, uang lelah, uang rokok, dan sebagainya) berikutnya justru disebut sebagai "korupsi"? Jangan-jangan banyak di antara kita yang tidak bisa tidur dengan nyenyak karena membayangkan kita adalah seorang koruptor kelas teri.


Bayar uang pelicin ke sana sini agar masalah cepat kelar adalah bentuk "tenggang rasa". Tidak dimasukkan dalam kategori "korupsi", "kolusi", dan "nepotisme". Jadi, tetap tenang dan silahkan tidur dengan nyenyak, karena yang masuk kategori koruptor adalah pejabat dengan rompi oranye dan diliput media. 


Budaya kita adalah menjaga silaturahmi, tenggang rasa, gotong royong, nggak enakan. Karena itu, korupsi akan sangat sulit diberantas, karena sudah mengakar dengan kuat dalam budaya.

Ads